“Galodo: Antara Dua Sungai” Syarifuddin Arifin

RUPA-rupa yang mengemuka usai saya membaca antologi puisi “GALODO: Antara Dua Sungai” Syarifuddin Arifin. Pertama, saya bak mendapat bisikan: “Lama berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak termaknai.” Saya tahu SyarifuddinArifin memang tak remaja lagi, sudah lama hidup –ia 3 tahun lebih kemudian dari saya hadir di dunia fana ciptaan Tuhan ini. Saya juga tahu sudah berpuluh tahun ia menulis puisi –tersebar di berbagai media cetak dalam dan luar negeri, di berbagai antologi bersama serta kumpulan puisi dia sendiri.

Nah. “Lama berjalan banyak dilihat lama hidup banyak termaknai” itu mewujud di dalam puisi-puisinya di kumpulan ini. Terlihat misalnya di puisi “Gelisah Ombak”, “Gerimis Mengajakku Pulang”, “Setangkai Bunga di Musim Kemarau”, “Padamu; Aku”, “Mengikuti Arus”, “Jika Jadi, Janganlah Jadi”, “Air Menggerus”, “Membuka Jendela” serta sejumlah puisi lain. Dan karena wujudnya puisi, isi yang dipetik dari pemaknaan hidup atau “lama berjalan banyak dilihat lama hidup banyak termaknai” itu tentu ia selaraskan dengan gaya/bentuk ucap atau penyampaian –di sini pulalah “sudah berpuluh tahun menulis puisi” yang ia jalani memainkan perannya.

Alhasil, berikut contoh puisi terkait pemaknaan hidup itu:

TENTANG CINTA

cinta itu adalah nafas kita
yang menyengak bila lupa menghirupnya

cinta itu adalah makan dan minum
yang kita keluh-rindukan kala lapar dan haus

cinta itu adalah istri atau ibu
yang ingat bila sengsara dan bermasalah
dan melupakannya ketika senang
atau berbahagia di luar rumah

cinta itu adalah siang yang menyengat
yang kita tunggu bila usai subuh dan siap merenanginya

cinta itu adalah intan berduri dalam genggaman
tak akan dilepas meski darah berceceran

(Padang, 2013)

Lainnya yang mengemuka ke saya, atau agaknya tetap terkait dengan yang pertama itu yaitu: lebih banyak/intensnya puisi bernuansa religius di antologi ini –dibanding kumpulan puisi dia terdahulu, yakni “Ngarai” (KolaseKliq, 1980) dan “Maling Kondang” (TerasBudaya, 2012). Puisi-puisi yang demikian itu misalnya kelihatan di “Menanti Janji”, “Selamat UlangTahun”, “Magrib Bersitegang”, “Kembali dari Sekejap Pergi”, “Merayap Dalam”, “Menjelang Kurban”, “Malam Kelam”, “Memburu Babi”, “Kembali pada Fitrah”, “ Antara Dua Sungai”, “Mencurah Darah” dan sejumlah puisi lainnya pula.

Berikutnya lagi yang mengemuka ke saya, idiom-idiomnya –terkesan pula berakar jauh ke belakang, ke hal-hal yang akrab dengan nenek-moyang kita, masyarakat agraris itu. Contoh: “punggung belut”, “dasar lunau”, “menguak lukah”, “pematang sawah” (puisi “Di Lincinnya Punggung Belut”); “tanah gembur”, “tanah berbatu”, “dengung kumbang” (puisi “Tentang Bunga”); “gunung menjulang”, “limbubu”, “putingbeliung” (puisi “Langit yang Hilang”); “selajang kuda berlari”, “meradang petang”, “putri malu” (puisi “Selajang Kuda Berlari”) dan di sejumlah puisi lainnya lagi.

Nenek-moyang kita yang masyarakat agraris itu, kita tahu, adalah pencipta pantun–yang idiomnya mereka angkat dari segala sesuatu yang dilihat serta pelajari dari alam. Misalnya ini: Berakit-rakit ke hulu/ Berenang-renang ke tepian/ Bersakit-sakit dahulu/ Bersenang-senang kemudian//. Satu lagi: Anak nyamuk dalam padi/ Cupak dalam perberasan/ Walau remuk dalam hati/ Di muka tiada kelihatan//.

Pada etnik Minangkabau, asal-muasal Syarifuddin Arifin, nenek-moyang yang agraris itu pulalah yang menciptakan sastra lisan/tutur yang disebut “kaba”. Nah, dua warisan nenek-moyang itu saya cium aromanya di puisi-puisi Syarifuddin Arifin –paling tidak ritmenya, di samping idiom-idiomnya tadi. Berikut contohnya:

BAGAIKAN EMBUN

Di ujung daun kau teteskan dendam
racun pun menari mengatur langkah
menyelimuti embun diam-diam
meninggalkan dingin terkapar pasrah

lalu mengering
sebelum fajar menyingsing

kau menjelma bagaikan embun
ulat meninggalkan bisa pada jejaknya
dendam itu berapi-api
menguapkan embun

(Padang, 240115)

Atau, tambahlah satu puisi lagi. Begini:

AIR MENGGERUS

menahan air pematang runtuh
arus menderas mengubah seluruh

airmata tak mampu menghanyutkan resahku
tepian menangis membujuk rindu ibu

tak ada yang mampu menahan arus
yang menggerus jejak terus menerus

angin barat bertiup di kala malam
memupuk gabak yang kian melebam

bulan mengalahkan mentari
seterik siang melingkari pelangi

(Depok, 2015)

Ada beberapa hal lagi yang mengemuka ke saya, tetapi catatan ini saya cukupkan hingga di sini. Sebab dengan semua yang telah disampaikan di atas, beberapa perkara telah dapat pula saya catat. Satu, karena kumpulan puisi ini tak tematis dalam arti tidak satu tema saja, sehingga ada pula beberapa puisi bernada kritik sosial, namun tampilan puisi bernada kritik sosial itu tak menjadi luapan emosi semata. Kehadiran puisi-puisi itu di tangan Syarifuddin Arifin tetap lewat seleksi pemaknaan hidup jua, atau “lama berjalan banyak dilihat lama hidup banyak dimaknai” –hasilnya tampil lebih arif, serta menyentuh, sehingga pesannya sampai/menggugah.

Dua, kiranya tak keliru menulis puisi jadi pilihan Syarifuddin Arifin, menjalaninya dengan intens berpuluh-puluh tahun, sebab dengan puisi ia mengenali diri, mengenali/memaknai hidup ini.

Tiga, hidup yang berpuluh tahun itu tentu telah membawanya pula ke mana-mana, baik fisik mau pun lewat bacaan, namun menakjubkan akar tradisi dalam berpuisi tetap membayang di puisi-puisinya.

Empat, selaku orang yang mengenal dia, mengikuti perjalanan kepenyairannya sejak lama, sudah barang tentu saya ikut diciprati rasa gembira menyaksikan semua itu.

Akhirnya ingin pula saya katakan bahwa karya sastra termasuk puisi tentulah bersifat terbuka, dalam arti lumrah saja jika ada pemaknaan atas puisi-puisi dalam antologi ini berbeda dengan yang saya maknai.

LA, 21 Maret 2015

*) Adek Alwi, sastrawan dan wartawan, pengamat sastra, staf pengajar pada IISIP

Narasi Melayu dalam Puisi Syarifuddin Arifin

Oleh Tengsoe Tjahjono* 

Melayu mengingatkan saya akan dendang dan pantun, mengingatkan saya pada irama dan kata-kata bijak. Sebuah pesan selalu didendangkan serta disampaikan secara lisan pada pelbagai kesempatan dan kepada pelbagai kalangan. Nah, ketika saya membaca puisi-puisi Syarifuddin Arifin, seorang penyair Padang, saya seakan dibawa dalam suasana Melayu tersebut.

Suasana Melayu, baik dalam puisi dan lagu, dibangun oleh dua hal penting, yaitu isi dan ekspresi. Isi teks Melayu itu selalu berupa pengejewantahan hidup sehari-hari dan mengandung pesan moral yang berupa tunjuk ajar. Kita tentu ingat Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji dan puisi-puisi Amir Hamzah. Sedangkan dari segi ekspresi teks Melayu kuat pada irama, repetisi, diksi yang mengangkat fenomena alam dan budaya Melayu. Akibatnya, teks Melayu terkesan rancak dan penuh gerak.

Mari kita perhatikan Gurindam Pasal Kelima karya Raja Ali Haji berikut ini.

Jika hendak mengenal orang berbangsa,
lihat kepada budi dan bahasa,
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia,
sangat memeliharakan yang sia-sia./
Jika hendak mengenal orang mulia,
lihatlah kepada kelakuan dia.
Jika hendak mengenal orang yang berilmu,
bertanya dan belajar tiadalah jemu.
Jika hendak mengenal orang yang berakal,
di dalam dunia mengambil bekal.
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai,
lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.

Gurindam selalu berisi petuah atau nasihat kepada setiap orang agar menjalani hidup sesuai dengan yang diridhoi oleh Allah. Sangat bersifat didaktis. Sedangkan dari segi ekspresi gurindam selalu mengedepankan irama. Perhatikan bentuk rima yang terdapat dalam gurindam. Selalu berpola a-a-a-a. Repetisi kata dan frase sering dilakukan. Akibatnya, membaca gurindam seperti mendendangkan syair yang penuh irama. Bagaikan menyanyi, atau memang sungguh-sungguh bernyanyi. Itulah karakter Melayu dalam gurindam.

Karakter Melayu juga terdapat dalam puisi Amir Hamzah. Perhatikan puisi Amir Hamzah berikut ini.

TURUN KEMBALI 

 Kalau aku dalam engkau
 dan kau dalam aku
adakah begini jadinya
daku hamba engkau penghulu ?

Aku dan engkau berlainan
engkau raja, maha raya
cahaya halus tinggi mengawang
pohon rindang menaung dunia. 

 Di bawah teduh engkau kembangkan
 taku berdiri memati hari
 pada bayang engkau mainkan
 aku melipur meriang hati 

Diterangi cahaya engkau sinarkan
aku menaiki tangga, mengawan
 kecapi firdausi melena telinga
menyentuh gambuh dalam hatiku

Terlihat ke bawah
kandil kemerlap
melambai cempaka ramai tertawa
hati duniawi melambung tinggi
berpaling aku turun kembali.

Jika Raja Ali Haji tadi sangat kuat pada pesan, Amir Hamzah berusaha mewadahi pesan itu dalam bingkai teks yang indah. Lagi-lagi repetisi dan rima masih menjadi pilihan untuk membuat puisi ini menjadi sebuah dendang riang yang rancak. Perbedaannya dengan gurindam Raja Ali Haji adalah upaya Amir Hamzah untuk memilih diksi yang tidak lazim, misalnya mengawang, menaung, memati, meriang, melipur, kecapi, melena, gambuh, kandil, kemerlap, cempaka, dan lain-lain. Kata secara morfologis dibangun oleh Amir Hamzah demi kepentingan irama. Kata menaung, memati, melena  dan sebagainya sebenarnya kurang gramatikal, namun sengaja dikonstruksi demi kepentingan irama. Dan, hal itu menjadi warna pribadi Amir Hamzah. Kemelayuan Amir Hamzah diperbaharui dengan menghadirkan diksi yang demikian.

Sebagai penyair Padang, walaupun Syarifuddin Arifin dilahirkan di Jakarta, warna Melayu terasa sangat kuat. Tentu, saya tidak dalam pretensi untuk mengait-ngaitkan antara Raja Ali Haji, Amir Hamzah, dan Syarifuddin Arifin. Mereka berada pada ruang dan saat yang jauh berbeda. Hanya, sebagai pribadi yang tak bisa dilepaskan dari Andalas, kemelayuan penyair ini tak bisa ditolak begitu saja.

Coba perhatikan puisi Syarifuddin Arifin berikut ini.

MENANTI  JANJI 

rindu ini,  menikam jantungku
lalu bagai agar-agar, hatiku diremas
rintihan yang tak tuntas membuku
lailatulqadar semakin di batas 

terbanglah ruh menuju langit
zarah aku bagai debu mengubur sajadah ini
mengiang di telinga, mendayu dan mendayu
lalu angin pun bertiup, mengurai pelangi 

suara itu makin merdu, berdentang-dentang
memalu gendrang telinga ini
kusantap juga semuanya, tanpa baris penanda
mengalirkan bah dari hulu
menyesak buku-buku persendian ini 

aku kan tetap menanam rindu
menggunggung seluruh
membenamkan semua 

di sini aku menanti
kunanti dan selalu kunanti
pada menit dan detik lailatulqadar
yang Kau janjikan
sejak meringkuk dalam rahim
sampai mati! 

(Padang, 13 Ramadan 1433/ 3Agustus 2012)

Dalam bait pertama puisi Menanti Janji tersebut gaya pantun jelas terpancar. Puisi ini sudah dibuka dengan idiom teks Melayu. Perhatikan pula bentuk morfologi membuku, mendayu, menyesak, menggunggung, dan sebagainya mengingatkan saya akan puisi Amir Hamzah. Perbedaannya terletak pada diksi. Syarifuddin Arifin justru memilih kata-kata sehari-hari. Nah, ini merupakan kekuatan yang membedakannya dengan karakter teks Melayu sebelumnya.

Membaca puisi Menanti Janji tersebut saya diajak mengikuti tapak alur peziarahan rohani si aku lirik. Aku lirik sedang menanti janji. Janji itu melahirkan rindu. Rindu apa? Rindu pada Lailatul Qadar. Mengapa Lailatul Qadar dirindukan? Karena Lailatul Qadar merupakan malam pelimpahan keutamaan yang dijanjikan oleh Allah kepada umat Islam untuk ikut mendapatkan bagian dari pelimpahan keutamaan itu. Keutamaan tersebut didasarkan pada nilai Lailatul Qadar sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Janji itulah yang akhirnya menggerakkan alur perjalanan rohani si aku lirik. Rentetan peristiwa itu adalah rindu menikam jantung — ruh yang rindu terbang menuju langit — semakin dekat semakin terasa kemerduan suara yang dirindukan — kerinduan semakin memuncak — dan ternyata masih harus lebih lama menanti. Rentetan peristiwa itu merupakan bagian dari sebuah narasi.

Kesukaan terhadap kisah atau narasi sebenarnya tak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Mengapa demikian? Sebab manusia itu sendiri bergerak dalam sebuah ruang narasi. Setiap manusia memiliki narasinya yang tak akan berkesudahan. Narasi menurut Marcel Danesi (2011) merupakan teks yang telah dikonstruksikan dengan cara tertentu sehingga merepresentasikan rangkaian peristiwa atau tindakan yang dirasa saling berhubungan satu sama lain secara logis. Esensi narasi adalah alur, karakter, dan latar. Ketiga hal itu merupakan unsur-unsur pembangun narasi. Puisi-puisi Syarifuddin Arifin sangat terlihat format narasinya. Dalam puisi Menanti Janji penampakan alur sudah sangat jelas seperti yang saya gambarkan di atas. Lalu siapa karakter dalam puisi tersebut. Karakternya adalah si aku lirik, pribadi yang sangat merindukan pemenuhan janji Lailatul Qadar. Latar apa yang tergambar dalam puisi itu? Tampaknya aku lirik berada dalam sebuah ruang doa: zarah aku bagai debu mengubur sajadah ini. Kata sajadah membawa kita terhadap pemahaman mengenai ruang tertentu, yaitu ruang tempat manusia bertemu dengan Allah. Dengan mengikuti seluruh unsur yang membangun narasi tersebut, kita bisa sampai kepada makna yang hendak diusung oleh sang penyair bahwa kerinduan akan Lailatul  Qadar akan terpuasi jika seseorang sungguh-sungguh berjalan dalam garis yang telah diamanahkan oleh Allah. Jika tidak, manusia memerlukan waktu lebih lama lagi untuk menanti saat yang indah itu. Jelas sudah bagaimana bingkai puisi Syariffudin Arifin, yaitu: narasi Melayu. Dan, inilah yang membedakannya dengan para penyair pendahulu, seperti Raja Ali Haji dan Amir Hamzah. Kemelayuan Syarifuddin Arifin dikuatkan dengan konsep narasi yang tergambar jelas dalam puisi-puisinya.

Yang menarik lagi ialah betapa tajam Syarifuddin Arifin mengais peristiwa atau fenomena sederhana yang terjadi di sekitarnya. Kemudian peristiwa tersebut diberi makna baru sesuai dengan persoalan yang sedang marak dewasa ini. Apa yang terjadi di kesadaran penyair saat melihat semut berbaris di dinding? Tentu jangan dibayangkan menjadi semut merah dalam lagu Obbie Mesakh. Perhatikan puisi berikut ini.

TAK SEMUT BERMANIS-MANIS

ia berbaris, melengkung di dinding
menggaris mendengung melengking
bersalaman cipika-cipiki jua
ludahnya menyatukan gula
bertelur di reranting kayu
liurnya manis membeking madu

menari bulan di kedipan bintang
semut api memerah meradang

semut berbaris berderap maju
mendaki puncak demi sang ratu

tak semut bermanis-manis
menghisap madu menahan tangis
gula menumpuk mendekam empedu

(Padang, 2015)

Judul Tak Semut Bermanis-manis merupakan judul yang medorong orang bertanya-tanya, baik dari segi sintaksis maupun secara semantis. Ada yang ganjil dalam judul itu. Biasanya kata “tak” dirangkai dengan verba, bukan nomina, misalnya tak tidur, tak berjalan, tak bertempur, dan lain-lain. Sedangkan pernyataan ingkar untuk nomina biasanya memakai kata “bukan”, misalnya bukan semut, bukan saya, bukan batu, dan lain-lain. Nah, oleh karena itu menurut pemikiran saya yang dimaksud oleh penyair memang bukan “tak semut”nya, tetapi “tak ada semut” bermanis-manis. Artinya, apa yang dikerjakan semut dengan berbondong-bondong menggotong makanan sebenarnya bukan karya yang menggembirakan hati mereka. Mereka bekerja dengan amat terpaksa demi sang ratu mereka, demi pemimpin mereka. Kejutan terjadi pada akhir baris ” gula menumpuk mendekam empedu”. Tumpukan gula yang semestinya menggembirakan mereka, justru membuat nasib buruk pada empedunya. Sekali lagi hanya karena demi sang ratu.

Puisi tersebut sebenarnya hanya merupakan deskripsi atas perilaku para semut. Jamak diketahui oleh kita. Namun, dengan gaya rancak narasi Melayunya, Syarifuddin Arifin justru mengangkat fenomena semut sebagai metafora atas segala hal yang terjadi saat ini, terutama masalah yang berkaitan dengan relasi pemimpin dan rakyatnya. Bukan relasi personal dan sosial yang indah yang mengemuka, tetapi justru relasi hierarki kekuasaan antara penguasa dan yang dikuasai, antara pemerintah dan yang diperintah, antara yang berdaya dan yang diperdayai.

Syarifuddin Arifin yang wartawan itu kepekaan jurnalisme patut diapresiasi. Mungkin dia tak hendak berpolitik, tetapi karya-karyanya justru banyak bersinggungan dengan politik, dengan penyelenggaraan negara dan keadilan sosial. Perhatikan puisinya berikut ini.

TENTANG BUNGA

sebaris bunga berharap, bakal ada angin
dan angin akan memilih tanah gembur
bagi persemaiannya

bunga-bunga itu menunduk
melirik ke tanah berbatu
ada kumbang menggamit
mentari jadi pucat tiba-tiba
lalu mengintip di selembar daun

‘bagaimana mungkin bisa hidup di batu
sedang sari anjlok harganya?’

terdengar dengung kumbang
mematahkan ranting tak berdaun
sebaris bunga masih berharap bersama aroma
yang tersemai dari airmata

(Padang, 2013 )

Puisi Tentang Bunga di atas juga sebuah narasi. Siapa karakternya? Tentu sekuntum bunga. Di mana latarnya? Bisa jadi di taman, di halaman, atau di pot bunga. Di tempat yang ranting-ranting pohonnya tak berdaun.  Bagaimana pula alurnya? Bunga berharap angin datang menggemburkan tanah, namun angin justru membawanya ke tanah berbatu. Jadilah semua ragu, mungkinkah bisa hidup? Akhir alur si bunga berharap aroma yang tersemai bersama air mata. Sebuah kisah yang lagi-lagi amat sederhana. Mungkin prinsip Syarifuddin Arifin jika dengan sederhana saja sudah sampai kepada makna, mengapa harus memilih jalan yang rumit.

Pernyataan kunci yang terdapat dalam puisi ini adalah: ‘bagaimana mungkin bisa hidup di batu/ sedang sari anjlok harganya?’. Kejutan puisi ini tidak terletak pada akhir puisi, namun justru pada bait ke-3 dari 4 bait yang ada. Ketika penyair menyebut “anjlok harganya” kita diajak untuk berkelana ke ranah sosio-ekonomi. Dan, memang itulah yang sedang dihadapi bangsa ini. Bunga, entah saya atau Anda, berada dalam situasi ekonomi yang serba sulit dan berdampak pada lahirnya berbagai macam persoalan sosial.

Ada dua kesulitan yang dihadapi bunga yaitu hidup di batu dan sari anjlok harganya. Batu sebagai tempat, lingkung sosial tempat bunga hidup, tentu bukanlah tempat yang ideal. Tempat seperti itu tidak akan pernah membawa kesuburan, kecuali kita dengan sabar melakukan rekayasa terhadapnya. Batu juga melukiskan “kekerasan”, “kecongkakan”, “ketulian”, dan sebagainya dari para pemangku pemerintahan terhadap kebijakan yang dilahirkannya. Lebih-lebih kebijakan di sektor ekonomi. Sifat “batu yang keras kepala itu” berdampak pada lahirnya kebijakan harga yang tak bertoleransi terhadap kondisi masyarakat. Itulah yang menyebabkan bunga hanya menunduk dan berharap belas kasih dari mereka yang terpanggil untuk peduli. Tapi, mungkinkah?

Dengan narasi Melayunya Syarifuddin Arifin tampaknya memang tak mengajak orang bernyanyi atau menari begitu saja. Sebab sebenarnya puisi-puisinya merupakan puisi geram dan marah. Tentu, marah dan geram model penyair. Bukan kejumawaan yang dihadirkan, namun kesederhanaan dan kerendahhatian, bahkan mungkin melalui pendekatan komedi yang mengundang gelak tawa. Perhatikan puisi satire yang sangat halus berikut ini.

MENYAKSIKAN IJAB KABUL

dia mengucapkan ijab yang dikabulkan calon menantu
para saksi berucap, mengesahkan pernikahan itu
hati siapa yang berbunga?

dia menebarkan senyum pada setiap konstituen
orang-orang berucap, perampok tujuh turunan
rahim siapa yang tersiksa?

Kisah ijab kabul merupakan kisah para calon wakil rakyat atau para pemimpin bangsa yang dilantik secara resmi menduduki jabatannya. Kisah yang sering kita tonton di televisi. Namun, di tangan seorang Syarifuddin Arifin lahirlah sebuah puisi yang satire yang sangat paradoksal. Ijab kabul yang sakral ditutup dengan baris: rahim siapa yang tersiksa? Karena baris terakhir itu sebuah pertanyaan, silakan Anda mencoba menjawabnya sendiri.

Kiranya saya tak harus tuntas membicarakan puisi-puisi Syarifuddin Arifin dalam tulisan singkat ini. Sebab, semakin panjang saya menulis, Anda semakin terganggu untuk secara dekat-akrab berbincang dengan puisi-puisi ini. Puisi-puisi ini mempunyai ketahanan terus-menerus andaikan diajak berbincang empat-mata. Lebih-lebih jika ditemani segelas kopi. Sebab puisi-puisi Syarifuddin Arifin ini daya pesonanya luar biasa. Saya menamai puisi Syarifuddin Arifin sebagai sebuah narasi Melayu. Silahkan Anda memberi nama lain. Sebab itu akan semakin memperkaya dan memperluas cakrawala makna yang ditebarkan oleh sang penyair. Siapkan kopi Anda.

Seoul, 19 Maret 2015

*)Tengsoe Tjahjono, sastrawan, staf pengajar Unesa Surabaya dan dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies Seoul,  Korea Selatan.