Bagian pertama buku ini mengulas tentang komposisi, transmisi, dan fungsi sastra lisan. Teori kelisanan yang dikemukakan Finnegan (1992) menyebut perihal komposisi, transmisi, pertunjukan, dan penonton. Komposisi, meminjam istilah dari Parry dan Lord (1974), terbentuk saat pertunjukan berlangsung dengan memanfaatkan formula yang dipelajari dari serangkaian latihan dan berbagai pertunjukan yang dilakukan pelantun lainnya. Melengkapi pernyataan Parry dan Lord, Finnegan (1977) mengatakan bahwa proses komposisi juga bisa terbentuk sebelum dan sedikit terpisah dari pertunjukan. Dengan kata lain, komposisi dilihat tidak hanya yang terjadi saat pertunjukan berlangsung, tetapi juga dapat dilihat terpisah dari pertunjukan, seperti yang berupa persiapan sebelum pertunjukan dimulai.
Bagian kedua buku ini mengungkap tentang religiositas dalam sastra lisan. Glock dan Stark (1965, 1969) mengemukakan bahwa terdapat lima dimensi religiositas, yakni (1) dimensi kepercayaan, (2) dimensi praktis, (3) dimensi pengalaman, (4) dimensi pengetahuan, dan (5) dimensi konsekuensi. Dalam sastra lisan, biasanya terkandung satu atau lebih dimensi religiositas. Dengan demikian, sastra lisan memiliki fungsi religi.
Bagian ketiga, membahas tentang posisi perempuan dalam sastra lisan. Gender yang dipahami sebagai konstruksi sosial tentang relasi antara perempuan dan laki-laki tidak dengan sendirinya terhapus dari kehidupan masyarakat yang patriarkis. Konstruksi sosial tersebut sering memunculkan ketidakadilan gender dan relasi yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki. Kaum perempuan banyak yang mengalami marjinalisasi, subordinasi, stereotip, tindakan kekerasan, dan beban kerja lebih. Masalah-masalah tersebut kemudian menjadi inspirasi untuk diangkat dalam sastra lisan, bahkan permasalahan yang berkaitan dengan relasi gender tersebut ditemukan dalam beberapa sastra lisan. Terkait dengan hal tersebut, Norton (dalam Bunanta, 1998: 53) mengatakan bahwa ada anggapan dari kaum feminis bahwa cerita rakyat bersifat seksis, yakni memiliki gambaran stereotip pada tokoh-tokoh perempuan
Bagian keempat, “Jejak Kolonial dalam Sastra Lisan” merefleksikan rekam jejak peristiwa pada masa penjajahan Belanda dan Jepang dalam sastra lisan di Indonesia. Sastra lisan merupakan bagian dari tradisi lisan. Menurut Kuntowijoyo (2003), tradisi lisan merupakan salah satu sumber sejarah yang merekam masa lampau kehidupan manusia. Vansina (1985) menyatakan bahwa tradisi lisan, seperti tuturan rakyat, hikayat, dan cerita rakyat berpotensi menjadi sejarah. Sastra lisan berkaitan erat dengan sejarah karena sastra lisan dapat dijadikan sebagai sarana utama dalam penyampaian fakta-fakta sejarah (Muslimin dan Utami, 2020). Oleh karena itu, pelacakan tehadap fakta-fakta sejarah yang terkandung dalam sastra lisan perlu dilakukan untuk mengungkapkan jejak-jejak sejarah dalam masyarakat pada masa lampau, termasuk jejak-jejak kolonial di Indonesia pada zaman dahulu.