Sebelum Telepon Berdering: Cerpen Kita dan Ihwal Korupsi Itu

“Tidak ada buku yang sempurna, bahkan sejak dalam rancangan, namun ada banyak karya yang menggembirakan pembaca, meningkatkan pengetahuan dan membesarkan hatinya.’’ (Robert Luis Stevenson, esais Skotlandia)

DI tengah kecamuk dunia politik masyarakat Indonesia, kita perlu membicarakan hal-hal yang dapat menghibur diri. Kejenuhan kehidupan, serta jejalan bualan-bualan calon pemimpin di sepanjang jalan, membuat pekak rasa telinga kita. Atau, boleh saja orang-orang bergembira dengan sepak bola idamannya di Piala Dunia kali ini.

Tetapi, hidup tanpa fiksi akan menderita pada suatu hari nanti.

Kenapa harus fiksi? Fiksi adalah karya kreatif seorang pengarang. Sebagai karya kreatif, fiksi juga didasari oleh kehidupan nyata. Terkadang kita tidak bisa membedakan mana karya fiksi dan nyata. Tidak bisa dihindari, tulisan

sejarah pun kelak pada waktunya akan diketahui sebagai karya yang fiktif, atau dengan ungkapan lainnya, ada banyak tulisan sejarah mengalami penyensoran. Bergantung atas siapa yang menulisnya, maka dialah penunjuk sejarah saat itu.

Terutama dalam karya fiksi, banyak kontroversi terkait dengan penulisan novel sejarah atau biografi. Mau tidak mau, selain harus melakukan eufemisme-eufemisme, seorang pengarang novel sejarah atau biografi juga membuat kisah tambahan. Selain itu akan ada juga kisah nyata yang dilompati. Upaya ini tidak bisa diampuni sebagai bagian dari kekhilafan seorang pengarang. Sebab, pengarang saat ini telah berdiri di bawah bayang-bayang kaum kapitalis. Tentu tidak semuanya.

Dengan begitu, baiknya kita bicara fiksi saja. Sebelum Telepon Berdering (2014) terbitan Gambangbook tiba di tangan saya. Buku kumpulan cerpen ini ditulis oleh Kun Andyan Anindito, seorang sarjana sastra lulusan Universitas Negeri Yogyakarta. Nama cerpenis asal Klaten, Jateng ini tidak terlalu banyak menghiasi media massa. Tetapi, sekali karyanya nyantol di sebuah media massa, daya tawarnya tinggi. Saya membayangkan, sirkulasi koran yang memuat karya Dito, sapaan akrabnya, saat itu sedang sibuksibuknya melayani para loper. Saya juga  membayangkan, bagaimana kalau semua pengarang ide ceritanya seperti cerpen-cerpen yang ditulis oleh Dito?

Saya menaruh optimisme kepada cerpen berjudul ‘’Kamera Poladodo’’. Cerpen ini idenya unik, melampaui batas-batas kehidupan sehari-hari. Seorang profesor bernama Dodo Karedo memiliki karya berupa kamera yang mampu mendeteksi para pelaku korupsi setelah dilakukan pemotretan. Ide cerpen ini pun tidak serta merta menjadi absurd ketika didasari oleh logika bahwa pembuatan kamera poladodo merupakan pengembangan dari polaroidnya Edwin Land.

Disadari atau tidak, usaha Dito dalam cerpen ‘’Kamera Poladodo’’ merupakan sebentuk katarsis, sebuah upaya penyadaran yang harus ditanam di kepala para koruptor dan siapa saja. Bahwa benar suatu saat nanti peristiwa ini akan terjadi. Lewat tokoh Prof Dodo Karedo gagasan sosial berupa kritik muncul. Dalam cerpen jenis ini gagasan tidak terlalu tampak kelihatan karena sudah menyatu dengan tokoh-tokohnya.

Gagasan sebagai Tokoh
Selanjutnya, lewat cerpen dengan judul ‘’Kata Busuk’’ yang memunculkan gagasan sebagai tokoh. Pak Kades, tokoh utama cerpen ini, adalah tokoh yang sebenarnya bertindak sebagai gagasan pengarang tentang profil seorang koruptor dalam masyarakat. Tokoh Pak Kades mencerminkan sosok pemimpin tidak wajar di kalangan rekan kerjanya, keluarga dan tetangga. Disebabkan oleh bau busuk itulah kemudian membuat posisi Pak Kades semakin nyata bahwa pengarang cerpen ini, Dito, tengah membuat analogi kreatif penciptaan karya.

Perincian tentang cara-cara gagasan ini dilakukan oleh Raymond Williams dalam tulisannya mengenai novel-novel Charles Dickens. Diungkapkan terdapat tujuh cara memasukkan gagasan sosial ke dalam novel itu didasarkan pada pembacaan Williams atas karya sastra Barat. Sementara itu, Sapardi Djoko Damono juga mengakui bahwa contoh- contoh yang disebutkannya itu (baca di bab Sastra, Politik dan Ideologi, 2013: 51-61) mungkin saja tidak sejajar. Di sini saya harus mengatakan pula, upaya penyejajaran dari cara gagasan sosial yang disampaikan Williams lebih tepatnya sebagai sebuah dugaan ‘’sementara’’ atas karya-karya Dito dalam Sebelum Telepon Berdering. Syukur-syukur, apa yang ditulis oleh Dito dalam kumpulan cerpen ini senada dengan ungkapan Edgar Allan Poe bahwa, ‘’Sastra itu menghibur, sekaligus mengajarkan sesuatu.’’

Pernyataan Poe ini perlu kita ambil. Bahkan, signifikan untuk dibicarakan lebih jauh. Apalagi jika ada hubungannya dengan krisis moral yang melanda bangsa kita. Sesungguhnya benar, sastra besar adalah yang mengangkat fenomena besar di negara yang memilikinya. Pembelaan atas orang-orang yang telah menjadi korban orang-orang korup dan mau ambil menang sendiri.

Saya harus menyebut sebuah buku kumpulan cerpen Kakek dan Cerita-cerita Lainnya (2013) karya Eko Triono yang lebih dulu terbit. Saya curiga, dalam Sebelum Telepon Berdering terdapat keterpengaruhan Dito dari cerpen-cerpen Eko Triono, terutama dalam buku itu. Ini tidak banyak terjadi dalam cerpen-cerpennya yang individualitas-romantis. Tetapi pada ide cerita soal korupsi, Dito belum bisa sepenuhnya melepaskan itu. Juga, gaya yang dimiliki Dito dalam cerpennya berjudul ‘’Mestinya Dia Tak Mengidam Tikus”, “Narator, Perempuan, dan Lelaki di Sampingnya’’ masih berasa bukan miliknya. Tetapi, ini tidak jadi persoalan bagi seorang pengarang genre apapun. Sebab, keterpengaruhan pasti terjadi. Apalagi dalam sastra. Bagi saya, itu tak mengganggu gagasan-gagasan cerita Dito dalam bukunya yang pas dibaca dalam situasi kondisi politik masa kini.

Irving Howe berpendapat (lihat Damono, 2013: 53) bahwa, ‘’Novelis politik harus melibatkan diri sebaik-baiknya dalam pergolakan politik; tanpa hal itu, karyanya akan mentah.’’ Pernyataan Howe ini mengandung keberatan sekaligus tantangan. Baik pengarang novel ataupun cerpen, yang keduanya merupakan karya prosa, sama-sama punya tuntutan lebih ketika sedang melaksanakan tugasnya menuliskan kondisi sosial politik di suatu masa tertentu. Bagaimanapun pengarang semacam Dito perlu diapresiasi yang menaruh perhatian kepada budaya korupsi negeri ini. Dito telah menjadikan karyanya sebagai pamflet perdamaian.

Perilaku korupsi merupakan masalah moral yang harus ditangani dengan segera. Barangkali inilah yang menggerakkan tangan pengarang semacam Dito untuk menuliskan gagasannya sebagai anggota masyarakat. Berdasarkan pandangan ini, Damono mengatakan bahwa, ‘’Kegiatan kreatif seorang pengarang, sebagai anggota masyarakat, ada hubungannya dengan kehidupannya sebagai manusia tindakan (man of action).’’ (62) []

Sumber: Suara Merdeka 6 Juli 2014

Cerita-cerita yang Berdering

Esai: Hasta Indriyana*

(Catatan atas Kumpulan Cerpen “Sebelum Telepon Berdering”)

Ulasan atau kritik sastra, sesederhana apapun diperlukan. Tujuannya untuk mengapresiasi sekaligus mendedah hal-hal yang terkandung di dalam karya. Buku kumpulan cerpen “Sebelum Telepon Berdering” (STB) karya Kun Andyan Anindito penting untuk dikaji karena keunikannya, ciri khas gaya yang disampaikannya. Dalam sebelas cerpen, penataan alur beragam; sudut pandang beragam; tema beragam; dan disajikan dalam kesegaran bahasa.

Sebagian besar cerpen yang ada dihabiskan dengan narasi. Gaya ini banyak muncul di tahun-tahun 2005 ketika Puthut EA, Eka Kurniawan, Gunawan Maryanto (ketiga penulis aktif di Akademi Kebudayaan Yogyakarta), dan cerpenis seangkatan itu beramai-ramai mengharu biru media massa. Salah satu cirinya adalah keruntutan dan kedetilan bercerita. Sederhananya, menceritakan kejadian kecil dengan teliti dan menghabiskan larik-larik kalimat.

Cerpen memiliki ruang terbatas tetapi bagi Anindito, cerpen bisa dipenuhi deskripsi dan narasi yang “sepertinya” tidak mendukung inti cerita. Orang akan mengatakannya sebagai “akrobat” atau “kembang kalimat” atau “berbusa-busa”. Tampak kentara jika kita membandingkannya dengan cerpen-cerpen karya Ahmad Tohari, Umar Kayam, Hamsad Rangkuti, Joni Ariadinata, dll. yang padat karena kuatnya perwatakan tokoh, pola pengaluran, dan bahasa yang cenderung ringkas (sebagian orang menyebutnya sebagai cerpen konvensional).

Akan tetapi, ada hal yang tidak disadari pembaca bahwa dengan narasi detil dan berhati-hati, saat itulah tak terasa bahwa pencerita telah menciptakan “alur bahasa”. Apakah alur bahasa itu? Pembaca dengan patuh dan hati-hati mengikuti irama kata-kata, warna kata yang dipilih, dan semua itu adalah bangunan rasa ingin tahu (suspense). Salah satu ciri cerita yang demikian adalah menulis cerita dengan kalimat-kalimat panjang.

Di dalamnya sering ditemui gaya bahasa interupsi, yang menyela dan menerangkan satu hal agar lebih jelas dan rinci. Ciri lain kalimat ini adalah penggunaan kata sambung (konjungsi) yang melimpah dalam satu kalimat. Misalnya cuplikan berikut, Salah seorang mahasiswanya, yang saat itu diberi tugas menulis cerita pendek, menulis tentang seorang laki-laki yang tidak bisa melupakan cerita cinta pertamanya dan rela menunggu selama 51 tahun, 9 bulan, dan 4 hari untuk mendapatkannya lagi. (hlm. 23)

Kalimat-kalimat yang dipakai dalam cerpen-cerpen STB mengacu novelis Gabriel Garcia Marquez. Marilah kita cermati kalimat berikut. Ia menjelajah dari rumah ke rumah sambil menyeret dua batang besi, dan tiap orang tampak terheran-heran melihat pot-pot, panci-panci, dan kompor-kompor berhembalang dari tempatnya, dan percikan cahaya yang terpancar dari paku-paku yang terus bergesekan dan sekrup-sekrup yang terus bermunculan; bahkan benda-benda yang telah hilang untuk jangka waktu lama, yang sudah dicari tempat semula tapi tidak ditemukan, kini tampak ikut terseret dalam suasana hiruk-pikuk di belakang besi-besi ajaib yang dibawa Melquiadez. (“Seratus Tahun Kesunyian”, Bentang, 2003)

Gaya kalimat seperti itu sangat berbeda jika kita membandingkannya dengan cerpen-cerpen karya Joni Ariadinata. Misalnya, nukilan cerpen “Prabu” berikut ini. Aspal. Sedikit lembar sampah terserak di tepi. Sirine, raungan polisi, memandang asap knalpot pagi tadi membentuk sejumlah partikel dan lama lenyap. Menunggu. Tak ada kendaraan. Jam Sembilan. Mestinya lalu-lintas macet. Ada tragedi nampaknya. (“Kastil Angin Menderu”, Indonesia Tera, 2000)

Cerpen-cerpen Anindito adalah produk bahasa tuturan rinci dengan kalimat panjang sebagaimana Marquez, sementara Joni adalah pengguna bahasa padat, yang terkadang menabrak gramatika: mampat dan ringkas.

Hal menarik buku STB adalah sudut pandang tuturan yang sebagian besar dengan kaca mata perempuan. Di antara 11 cerpen, tiga saja cerpen yang memakai sudut pandang laki-laki, yaitu “Kamera Poladodo”, “Kata Busuk”, dan “Pensiun dan Rencana yang Lain”. Membaca kecemasan-kecemasan tokoh perempuan dalam STB, menunjukkan pengarangnya memiliki empati pada permasalahan perempuan. Kekalahan demi kekalahan yang dialami kaum perempuan miskin dideskripsikan dalam sebuah konflik batin yang alami. Simak nukilan “Kue-kue Ampunan” berikut.

Lagi-lagi, perasaan aneh menyergap tubuhnya. Ia senang karena menjadi perempuan sutuhnya, namun ia juga sedih. Kehamilan ini diluar kemauannya, sedangkan majikannya tidak mau bertanggung jawab. (“Kue-kue Ampunan”, hlm. 32). Atau dalam cerpen “Sebelum dan Sesudah Aku Mati”, Setelah kuputuskan untuk menunda kuliah, aku bekerja sebagai pegawai di salah satu toko Swalayan. Ini semata-mata kulakukan karena aku tak tega melihat ibu yang susah payah mencari uang, dan tentu saja agar aku bisa menabung untuk persiapan kuliah nantinya. (hlm. 72)

Kesegaran STB ditunjukkan pemilihan tema sosial yang beragam. Tema korupsi dan busuknya perilaku pejabat dimunculkan dalam “Mestinya Dia Tak Menyidam Tikus” dan “Kamera Poladodo”. Dua cerpen pembuka ini memiliki peluang menjadi cerpen mengagumkan jika Anindito mampu menjaga kehati-hatian dalam menata alur dan suspense. Karena kurang hati-hati, dua cerpen ini tampak klise, ending dan arah pembicaraan bisa ditebak.

Dalam cerpen “Kue-kue Ampunan”, Anindito berhasil menciptakan cerita utuh yang berkesan, yaitu tema duka tenaga kerja wanita dalam balutan tradisi nyebar apem di Klaten, Jawa Tengah. Tema etnis Cina dalam tragedi 1998 digarap dalam cerpen “Sebelum Telepon Berdering”. Meskipun isi cerpen adalah tempelan, namun tidak merusak keutuhan cerita. Alur dalam cerpen “Sebelum Telepon Berdering” digarap dengan apik dengan menampilkannya menjadi sketsa-sketsa per tema atau per tokoh seperti dalam pengaluran cerpen “Kamera Poladodo”, dan “Narator, Perempuan, dan Lelaki di Sampingnya”.

Tema tentang mitos digarap dalam dua cerpen, yaitu “Kata Busuk” dan “Sebelum dan Sesudah Aku Mati”. Tema korban tragedi 1965 digarap dalam cerpen “Narator, Perempuan, dan Lelaki di Sampingnya”. Sementara, dua cerpen pamungkas bercerita tentang kehidupan keluarga, yaitu “Perempuan yang Menunggu” dan “Pensiun dan Rencana yang Lain”.

Anindito adalah cerpenis muda yang belum banyak mempublikasikan karya-karyanya. Tercatat dalam biodata, cerpen-cerpen yang ada di dalam STB adalah cerpen pemenang sayembara menulis cerpen, dan beberapa dimuat di media massa. Meskipun demikian, ada kelebihan yang dimilikinya, selain yang saya sebutkan di atas, yaitu penggarapan suspense yang kuat; surprise yang baik (hlm. 26, 35, 55, 75, 83, 91, 97); dan pengaluran yang kaya (narator, cerita berbingkai, sketsa-sketsa).

Modal baca cerpenis STB adalah gaya kelas menengah ke atas. Referen yang dijumputnya material yang melingkupi kelas tersebut. Misalnya, ia mengutip nama-nama tokoh musik klasik Eropa seperti Mozart, Beethoven; tokoh sastra dunia seperti Murakami, Kawabata, Neruda; pemain bola seperti Conte, Zidan, Del Piero. Penulis belum menemukan referen persoalan sosial kelas bawah, misalnya mengutip lirik lagu dangdut koplo, nama-nama bandar judi di Klaten, pisuhan, dan lain-lain.

Anindito adalah pencerita yang baik. Salah satu kelebihan pencerita, dalam hal ini Anindito, adalah kesadaran dirinya bahwa ia menguasai teknik bercerita. Harapan penulis, Anindito bisa mengembangkan kemampuannya, paling tidak memperbanyak publikasi di media massa, karena cerpenis muda ini adalah aset bagi perkembangan sastra Indonesia.

*Penulis, pekerja seni tinggal di Sleman

Sumber: Koran Merapi, 22 Februari 2015