Endorsment Parabel Cervantes dan Don Quixote

Borges“Borges melebihi siapa pun yang merenovasi bahasa fiksi dan karenanya ia telah membuka jalan bagi suatu generasi luar biasa dari para novelis Spanyol-Amerika. Gabriel García Márquez, Carlos Fuentes, José Donoso, dan Mario Vargas Llosa, semuanya mengakui bahwa mereka berhutang kepadanya.” — J.M. Coetzee

“Dengan kemungkinan memasuki ketakterbatasan serta mendistorsi imajinasinya, [Borges] telah mengangkat fiksi jauh dari muka bumi, tempat sebagian besar novel dan cerita pendek kita masih menjejakkan kaki.” — John Updike

“Borges adalah penulis berbahasa Spanyol paling penting sejak Cervantes …. menolak untuk menganugerahkan Hadiah Nobel kepadanya adalah sebuah keputusan yang buruk sebagaimana yang telah terjadi kepada Joyce, Proust, dan Kafka.” — Mario Vargas Llosa

“Tanpa Borges novel Amerika Latin modern sama sekali takkan pernah ada.” — Carlos Fuentes

Endorsment Badriyah

Ada seni menulis, ada seni membaca. Adalah seni membaca yang menentukan makna tulisan. Menghadapi cerita-cerita Ayu Weda, saya menerima cerita-ceritanya sebagai cerita berdasarkan pengalaman, penghayatan, dan pengamatan seorang perempuan Indonesia dalam perjuangan eksistensialnya—yakni mengada dengan cara menyatakannya.

Cerita-cerita ini menunjukkan bagaimana subjek keluar-masuk dunia objektif yang diungkapnya, antara dingin dan emosional, terharu dan bingung, kritis dan lebur silih berganti, dalam pergulatan untuk mendapatkan kejernihan dan pencerahan di dunia yang amburadul.

Subjek beredar di antara para menteri, kiai, pengusaha, intelektual, dan seniman, semuanya dari kelas atas, yang memberi janji tersingkapnya berbagai dunia yang selama ini hanya terpandang dari kejauhan. Pada saat yang sama, kepedulian kepada mereka yang tidak mendapat tempat dan tidak tercatat, memberikan keseimbangan yang membuatnya patut dipercaya: bahwa buku ini layak dibaca.
(Seno Gumira Ajidarma)
Read more

Yopi, Puisi, dan Multisiplitas Waktu

mjnmwSEPANJANG jalan, ia mencatat sebuah kalimat. Kemudian memungut diksi, mencium aroma kematian dan menjadikannya bait-bait ingatan. Itulah hakikat seorang pejalan yang digambarkan Yopi Setia Umbara dalam kumpulan puisi Mengukur Jalan, Mengulur Waktu (2015). Bisa dipastikan keseluruhan puisinya bertaut antara diri (aku), perjalanan, dan ingatan tentang perjumpaan.

Untung saja, Yopi memaknai itu semua dengan mata seorang penyair. Ia bergerak dari ruang material hingga ke ruang batin paling intim. Seperti sebuah renungan ikhwal perjalanan mencari diri. Menariknya, seorang penyair ketika merumuskan, memaknai dan mengingat waktu akan berbeda dengan seorang fisikawan dan pebisnis. Misalnya, dalam teori relativitas ala Eintens bahwa “duduk di tungku api lebih lama dari duduk di dekat seorang perempuan cantik”. Seorang pebisnis (entreprener) akan merumuskan “waktu adalah uang”. Apakah Yopi mirip pemain sepakbola (Indonesia) yang melulu mengulur waktu ketika berada dalam sebuah pertandingan? Read more