SEPANJANG jalan, ia mencatat sebuah kalimat. Kemudian memungut diksi, mencium aroma kematian dan menjadikannya bait-bait ingatan. Itulah hakikat seorang pejalan yang digambarkan Yopi Setia Umbara dalam kumpulan puisi Mengukur Jalan, Mengulur Waktu (2015). Bisa dipastikan keseluruhan puisinya bertaut antara diri (aku), perjalanan, dan ingatan tentang perjumpaan.
Untung saja, Yopi memaknai itu semua dengan mata seorang penyair. Ia bergerak dari ruang material hingga ke ruang batin paling intim. Seperti sebuah renungan ikhwal perjalanan mencari diri. Menariknya, seorang penyair ketika merumuskan, memaknai dan mengingat waktu akan berbeda dengan seorang fisikawan dan pebisnis. Misalnya, dalam teori relativitas ala Eintens bahwa “duduk di tungku api lebih lama dari duduk di dekat seorang perempuan cantik”. Seorang pebisnis (entreprener) akan merumuskan “waktu adalah uang”. Apakah Yopi mirip pemain sepakbola (Indonesia) yang melulu mengulur waktu ketika berada dalam sebuah pertandingan? Selengkapnya