Bermula Tanpa Nama Hingga Ketika Aku Memilih Namaku

Banyak cara orang ketika membaca puisi. Cara-cara itu tidak lain untuk mengetahui isi puisi yang ditulis oleh seorang penyair. Semisal saya, membaca kumpulan puisi Pinara Pitu karya Mira MM Astra ini di dalam kereta, travel, bus Trans Jakarta, hingga di kamar tidur. Pembacaan yang saya lakukan hanya ingin bertemu dengan puisi-puisi Mira.

Namun semuanya sia-sia. Saya tidak tidak bisa bertemu dengan puisi-puisi Mira. Mungkin saya terlalu naïf dalam memandang puisi, atau saya mempunyai perspektif sendiri terhadap puisi, atau bahkan puisi Mira ini terlalu tertutup. Sehingga saya susah untuk masuk dan merasakan pengalaman yang penyair tuliskan. Semua anggapan saya sangat memungkinkan.

Mira MM Astra memiliki latar belakang pendidikan filsafat juga sosial politik. Mira menyelesaikan studinya di Eropa. Kita tahu bahwa Eropa kiblat pendidikan modern. Namun yang menjadi unik, Mira tidak membawa salju, sunset, atau lain-lainnya yang berbau Eropa. Mira lebih memilih budaya ibu, budaya tanah kelahirannya.

Budaya Ibu Pada Puisi Mira
Budaya ibu yang saya maksudkan adalah budaya pertama Mira. Budaya yang ditumbuhkan dari mulai kecil, yaitu budaya Bali.

Saya tidak paham dengan budaya Bali, mungkin ini yang menyebabkan saya susah bertemu dengan puisi-puisi Mira. Akhirnya saya hanya dapat meraba serta menerka apa yang ingin disampaikan buku kumpulan puisi Pinara Pitu ini.

Puisi dalam hemat saya dapat menyampaikan suatu gagasan, curahan hati, hingga gambaran fenomena yang ditemui oleh aku lirik. Mira melakukan itu semua.

Mira menulis dengan dasar kebudayaan ibu, kebudayaan yang ia rasakan, kebudayaan yang menyatu dengan darah. Ditambah Mira banyak bersentuhan dengan para penulis Bali. Baik secara langsung maupun lewat karya. Oleh karena itu, Mira semakin mantap untuk mengolah kebudayaan ibu.

Bali sebagai realitas sosial dan magis digali serta dipahami olehnya untuk kemudian ditulis ulang dalam perspektif aku lirik. Sehingga muncul autokritik pada puisi-puisinya.

Autokritik seringkali muncul dalam puisi-puisi Mira yang kelam. Penyair berkerja menyampaikan gagasan dengan cara yang susah dipahami. Atau barangkali Mira sangat memperhatikan estetika pada puisi-puisinya. Sehingga yang muncul pada puisi-puisinya adalah permainan bahasa serta bunyi yang indah. Gagasan yang semula ingin mira sampaikan pada pembaca menjadi obscure bahkan mengarah pada utopia. Sebab yang penyair kritik adalah tatanan budaya yang mapan.

Gagasan-gagasan dari makna yang terselubung ini, hanya akan dipahami oleh sebagian kecil masyarakat semata. Terlebih autokritik yang disampaikan oleh Mira lewat puisi, dan kita semua tahu berapa gelintir orang yang membaca puisi.

Namun karena Mira telah memilih jalan puisi, maka saya sangat mengapresiasi terhadap karya-karyanya.

Batu-MimpiPuisi “Batu Mimpi” bagi saya puisi yang cukup kuat mewakili kebudayaan ibu yang tadi saya sampaikan di atas. Penyair menjelaskan bagaimana prosesi beribadah. Penyampaian yang dilakukan oleh penyair tidak secara langsung, lebih memilih jalan yang meliuk serta memutar. Hal ini dilakukan oleh penyair karena selain ingin menyampaikan gagasan, penyair juga ingin memberikan citra keindahan lewat bahasa yang digunakannya (estetika).

Mira tidak ingin kekhusyukan dalam mencapai nilai rasa terganggau, oleh karena itu sebagai penyair ia memiliki ketaatan terhadap diksi-diksi lokal. Dan memang beberapa diksi-diksi lokal pada puisi-puisi Mira memperkuat puisinya.

Mira Menjaga Puisinya Begitu Ketat
Dari berbagai segi saya memandang puisi-puisi Mira, akhirnya saya dapat bertemu juga dengan puisinya. Namun hanya sebentar, puisinya kembali lagi pada keakuan penyairnya.

Mira MM Astra yang saya tidak tahu-menahu tentang riwayat dan asal usulnya, tiba-tiba muncul serta dibukukan oleh Penerbit Gambang. Mengejutkan, sangat mengejutkan bagi saya. Perjalanan penyair yang saya baca lewat epilog yang ditulis oleh Komang Ira Puspitaningsih memberi sedikit penerangan.

Ira sangat cermat memilih puisi-puisi dalam kumpulan puisi Pinara Pitu ini. Yang pertama, mungkin sama-sama berasal dari Bali serta yang kedua sama-sama perempuan. Saya sedikit menuduh bahwa Ira sebenarnya lebih paham terhadap puisi-puisi Mira, tinimbang penulisnya sendiri.

Tuduhan saya dilandasi dari bagaimana cara Mira memperlakukan puisinya. Mira menuntun puisinya sampai ke tempat yang ia inginkan. Puisi-puisinya dijaga begitu ketat, sehingga tidak diberikan keleluasaan pada puisinya untuk berkembang sendiri. Memilih jalannya sendiri. Sehingga teks puisi yang dihasilkan tidak otonom.

Berbeda dengan Ira yang berangkat dari luar tubuh puisi, Ia bijak dalam memperlakukan puisi. Ira memperhatikan napas demi napas setiap puisi yang dibacanya. Sehingga tersusun Pinara Pitu dengan napas puisi seorang Bali.

Posisi saya di sini sama dengan Ira, saya berangkat dari luar tubuh puisi. Bahkan dari luar budaya. Namun saya tidak sebijak Ira dalam memperlakukan puisi Mira.

Pada puisi pertama yang berjudul “Bermula Tanpa Nama”, aku lirik sekan terasing dan mencari sandaran dalam pelukan teguh. Ia mengembara ke dalam, mencari jati diri. Sehingga semua yang ia hadapi menjadi cerminan untuk introspeksi serta kontemplasi. Aku lirik seakan kehilangan tubuh, ia hampir tidak mengetahui siapa dirinya.

Kontemplasi seperti ini begitu lazim dilakukan oleh para penyair. Namun yang menjadi lain adalah komposisi penempatan puisi dalam Pinara Pitu seakan memberi alur petualangan seorang penyairnya. Buku ini diawali dengan puisi yang berjudul “Bermula Tanpa Nama” dengan diakhiri oleh puisi “Ketika Aku Memilih Namaku”.

Oleh karena itu, puisi Mira memiliki spirit napas yang saling berkaitan satu dan yang lainnya. Membaca puisi Mira harus keseluruhan, sehingga dapat menemukan apa yang disampaikan oleh aku lirik tentang realitas budaya, realitas sosial, serta realitas keakuan.

Buku kumpulan puisi Pinara Pitu yang saya tangkap adalah perjalanan menemukan ego keakuan seorang penyair dalam realitas yang besar. Seperti pada puisinya “Bermula Tanpa Nama” hingga “Ketika Aku Memilih Namaku”.

Salam.[]

 

Heri Maja Kelana

Sekretaris Redaksi buruan.co. Lahir di Majalengka 14 Januari 1986. Kumpulan puisinya yang telah terbit “Lambung Padi” (2013). Pengelola Rumah Baca Taman Sekar Bandung.

 

Sumber: buruan.co

Hantuologi Pedro Paramo

Oleh: Tia Setiadi

 

Sumber asali dan purba bukanlah rahim, tapi kuburan

(Octavio Paz)

/1/

Saat muda, Juan Rulfo lebih banyak menghabiskan waktunya mengurung diri di rumah membaca buku-buku dan sangat jarang berkeliaran ke luar rumah lantaran dia takut tertembak. Dia hidup sebagai yatim sebab ayahnya (dan juga pamannya) mati dibunuh setelah Perang Cristeros (1926-1929). Kebiasaan mengurung diri bersama buku-bukunya terbawa sampai Rulfo tua, sehingga dia pernah berkata: “Aku bepergian bersama buku-buku.”

Seumur hidupnya Rulfo hanya menerbitkan dua buah buku: kumpulan cerpen The Burning Plain and Other Stories (1953) dan novel Pedro Paramo (1955), sehingga jika Nabokov pernah mengatakan bahwa seseorang harus membaca seluruh buku yang ditulis oleh seorang pengarang sebelum memberikan pendapat terhadapnya maka kita cukup membaca dua buah buku itu saja untuk menilai Rulfo. Buku pertama Rulfo ditulis saat usianya menjelang empat puluh tahun, suatu kasus yang langka bahkan dalam sejarah sastra dunia, seperti disinyalir Susan Sontag.

Tapi yang lebih langka lagi adalah kenyataan bahwa hanya dengan dua buku itu saja Rulfo tampil menjulang sebagai salah satu penulis terbesar Amerika Latin. Pedro Paramo, novel kecil yang edisi indonesianya hanya 183 halaman ini disebut-sebut sebagai salah satu karya puncak Amerika Latin dan diakui sangat memengaruhi para pengarang besar yang datang sesudahnya seperti Mario Vargas Llosa, Gabriel Garcia Marquez, Fuentes, Paz, dan lain-lain.

/2/

Pedro Paramo mula-mula mengilaskan sebuah kisah sederhana; seorang ibu menjelang kematiannya mengamanatkan kepada anak lelakinya (Juan Preciado) agar mencari ayahnya (Pedro Paramo) di sebuah tempat jauh bernama Comala. Perjalanan Juan Preciado ini adalah perjalanan mencari asal-usul, sumber asali, sesuatu yang biasa kita dapati dalam sebuah epos. Tapi itu keliru. Pedro Paramo bukanlah epos, melainkan parodi terhadapnya, antipodanya, di tiap-tiap seginya.

Epos biasanya menghadirkan hero yang—setelah bergulat-gumul dengan monster-monster jahat dan raksasa dan roh jahat—kembali ke masyarakatnya membawa obor pencerahan dan kemenangan yang gilang-gemilang. Kisahnya bersitumpu pada kaki-kaki narasi yang logis, linier, kronologis, dengan struktur yang formulaik, dengan penemuan kembali masa lalu yang agung.

Epos memang bertujuan menautkan kembali hubungan antara manusia dengan alam semesta, sehingga absurditas dan ambiguitas yang murup dari mitologi-mitologinya tetap tak merusak fokus sentralnya. Epos memang diciptakan sebagai cahaya inspirasi bagi masyarakat senyampang mereka bergerak dalam galur-galur sejarah, untuk dituturkan kepada generasi demi generasi sesudahnya.

Pedro Paramo sebaliknya dari itu. Tak ada hero di sini, dalam arti hero seperti yang kita dapati dalam karya-karya Homer misalnya, atau seperti dalam Sang Alkemis karya Paulo Coelho. Juan Preciado, yang menginisiasi kisah ini, bukan hanya gagal menemukan Pedro Paramo tapi ternyata dia sendiri sebetulnya sudah mati, bahkan sejak kisah dimulai. Awal novel dibuka dengan kematian ibunya dan akhir novel ditutup dengan kematian ayahnya.

Di tengah-tengahnya, tak ada perspektif tunggal, melainkan sarat dengan teater suara-suara dan galeri-galeri gema dari arwah-arwah yang mengambang dan gentayangan, sebagaimana terwedar dalam percikan permenungan Juan Preciado: di sini di mana udara terasa begitu ganjil, suara-suara itu kudengar jauh lebih jelas. Suara-suara itu ada dalam diriku, begitu nyaring dan bising (hal 9). Dengan kata lain, bukan hanya anti-hero, novel ini pun “anti-tokoh”: jika dikatakan bahwa karakter dalam sebuah novel yang bagus haruslah berdarah daging maka novel ini menampiknya: di sini tak ada raut karakter-karakter seperti itu, yang ada hanya hantu-hantu.

Karibnya novel Rulfo dengan kematian, hanya bisa dipahami dalam konteks budaya Meksiko. Seturut Paz: “Orang-orang Meksiko…karib dengan kematian, bercanda tentangnya, memeluknya, tidur bersamanya, merayakannya; kematian adalah permainan kesayangan dan cintanya yang paling keras kepala.”

Novel ini juga anti-struktur: tiap-tiap kali rancangan struktur itu akan terbentuk, ia merobohkan serta mendistorsi dirinya sendiri dengan terlalu banyaknya lanskap kesunyian yang akut, celah dan retakan-retakan, adegan yang bergonta-ganti dengan cepat, citraan-citraan yang retak, benang-benang cerita yang berpilinan atau berjejeran atau bahkan terputus sama sekali di tengah jalan, pemandangan yang muncul lalu meluputkan diri begitu saja, tanpa pernah kembali lagi.

Arus waktu pun tak linier: ada waktu kini yang ditempati Juan Preciado di Comala yang ditujunya, dan waktu lampau, yakni desa Comala yang dihuni ingatan-ingatan ibunya. Keduanya, waktu kini dan waktu lampau itu, tak selamanya melaju beriringan, melainkan kadang berlabrakan, atau bersilangan, atau bergantian, sedemikian rupa sehingga kita tak bisa membedakan lagi keduanya. Alhasil, pengertian waktu pun hilang, kita merasa berada di sini dan di sana, kadang secara simultan.

/3/

Banyak yang bertanya-tanya, juga kepada Juan Rulfo sendiri, mengapa dia hanya menulis dua buah buku selama hidupnya, padahal dia berusia panjang (1917/1918-1986). Saya tak tahu jawaban Rulfo. Namun dalam tulisan ringkas tentang Pedro Paramo di buku esai Where the Stress Falls, Sontag menyatakan bahwa tujuan hidup seorang penulis bukan untuk menulis dan memublikasikannya akan tetapi untuk menghasilkan karya besar—yakni buku yang akan tak lekang oleh waktu—dan Rulfo sudah melakukan itu.

Saya sendiri berpendapat pernyataan Sontag tak sepenuhnya benar. Saya cenderung setuju pada spekulasi Tony McKibbin. Begini: Pedro Paramo bisa dibaca sebagai alegori dari lanskap Meksiko itu sendiri, kematian, korupsi, kekejaman dan kesewenangan di dalam novel Pedro Paramo terjadi juga di dalam kenyataan negeri Meksiko setelah meletusnya Revolusi.

Jadi sementara Pedro Paramo menunjukkan perfeksinya sebagai novel, perfeksi itu sendiri berpijak kepada kecacatan umat manusia itu sendiri. Dengan demikian, kita menduga bahwa Rulfo memang tak bisa lagi menulis novel karena seluruh tokohnya sudah mati di dalam Pedro Paramo. Jika Rulfo memaksa menulis, kemungkinan besar dia akan menulis novel pamflet.

Rulfo sadar itu. Maka alih-alih menulis novel lagi, dia memilih mendedikasikan hidupnya untuk membantu mereka yang tertindas: dari 1954 sampai 1957 dia aktif di  La comission del rio Papaloapan, sebuah organisasi pemerintah yang membantu masyarakat miskin di sepanjang Sungai Papaloapan, dari 1962 sampai 1986 dia bekerja sebagai editor untuk National Institute for Indigenous People.

Rulfo rupa-rupanya menyadari bahwa tugas sebuah karya sastra bukan untuk mengubah dunia tapi menyingkap dan memperluas kesadaran tentangnya, menyibak suara-suara yang tak terkatakan, yang tertekan, yang terhempas dan yang putus, sedangkan urusan mengubah dunia ada dalam kerja nyata dalam hidupnya sehari-hari, sebagaimana sudah ditunjukkannya sendiri.

 

Sumber: basabasi.co

 

Tia Setiadi 
lahir di Subang, 7 November 1980. Menulis sajak dan esai-esai bertema budaya, sastra dan filsafat pada pelbagai media di antaranya; Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Jurnas, Suara Merdeka, Suara Karya, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Horison, Mata Baca, Jurnal Cipta, Jurnal Diskursus, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Puisi Rumah Lebah, Ruang Puisi, Jurnal Sastra Digital, Jurnal Sajak, Jurnal Poetika, Jurnal Kritik. Ia juga telah memperoleh sejumlah penghargaan, di antaranya; pemenang dalam lomba kritik sastra Dewan Kesenian Jakarta (2007), Pemenang terbaik dalam lomba esai Majalah Horison (2008), Pemenang kedua lomba kritik sastra Dewan Kesenian Jakarta (2009), Pemenang terbaik dalam lomba kritik seni yang diselenggarakan Dirjen Kesenian RI (2011), Pemenang Utama Sayembara Esai Pena Kencana Awards (2012), Pemenang Hadiah Sastra MASTERA (Majelis Sastra Asia Tenggara) 2013, untuk kumpulan puisi Tangan Yang Lain. Buku ini terpilih juga untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diikutkan dalam Frankfurt Book Fair 2015. Kini tinggal di Yogyakarta. Email: tiasetiadi@yahoo.com

mBongkar Yogya, Membongkar Ironi Budaya

Oleh: Wahjudi Djaja*

 

Yogyakarta merupakan entitas budaya yang melegenda. Pengaruhnya melintasi batas-batas geografis. Keberadaannya senantiasa diperbincangkan beragam kalangan dalam skala yang luas dari waktu ke waktu. Energi kreatifnya seolah tiada pernah hilang dari lembaran sejarah, selalu menginspirasi orang dari generasi ke generasi hingga melahirkan karya yang fenomenal dan monumental. Sebagai ruh, Yogyakarta tak pernah runtuh. Ia masuk dan menjelma dalam diri siapa saja terutama yang mengedepankan rasa, baik yang kesejarahan maupun kenangan. Peran kota ini bisa dilihat dari predikat yang melekat, mulai kota budaya sampai kota wisata, dari kota perjuangan sampai kota pendidikan.

Yogyakarta tentu bukan hanya tentang masa lalu dengan peran sejarah yang mengharu biru. Yogyakarta juga masa kini dan masa depan yang bergerak mengikuti irama dan semangat zaman. Perubahan dan dinamikanya tak mungkin terelakkan sebagaimana diteliti secara mendetail oleh Selo Sumarjan, Abdurrachman Surjomohardjo, Kahin, dan Anderson yang merekam dinamika kehidupan Yogyakarta pada masa silam. Bagaimana perubahan lanskap budaya kota ini apabila ditatap dari beragam sisi?

mBongkar Yogya

Pusat Studi Kebudayaan (PSK) UGM memfasilitasi penerbitan serial buku sebagai tanggung jawab moral dan intelektual dalam koridor pengabdian masyarakat. Buku “mBongkar Yogya” ini merupakan kumpulan tulisan 17 orang yang selama ini konsern melakukan kerja budaya. Selain pengamat, mereka yang juga pelaku sekaligus saksi hidup atas detak kehidupan kebudayaan kota ini antara lain Iman Budi Santosa, Hamdy Salad, Achmad Charis Zubair, Mustofa W Hasyim, Budhi Wirjawan, Kris Budiman, Otto Sukatno CR, Ons Untoro, Tia Pamungkas, Wening Udasmoro, Budi Sardjono, Aprinus Salam, dll. Ada tiga tema besar yang disodorkan: aspek kesejarahan, narasi kebudayaan, dan Yogyakarta dalam ruang-ruang.
Aspek kesejarahan membentuk identitas sebuah kota, melahirkan narasi-narasi budaya, sekaligus menciptakan ruang-ruang kepentingan. Identitas Yogyakarta dengan segala predikat yang melekat, lahir dan terbentuk dari dinamika sejarah. Sebagai sebuah kerajaan, Yogyakarta lahir dan berkembang diantara himpitan liberalisme Barat dan primordialisme Mataram, yang dengan cerdas diramu oleh Pangeran Mangkubumi (HB I). Sebagai sebuah entitas budaya dan sejarah yang ideal dan inspiratif, Yogyakarta dibumikan secara demokratis oleh HB IX dalam konteks keindonesiaan. Ngarsa Dalem IX berhasil mendesain Yogyakarta sebagai tamansari keanekaragaman Indonesia. Kesediaan dan tanggung jawab beliau yang menawarkan Yogyakarta sebagai ibukota negara meneguhkan visi nasionalisme seorang pemimpin sejati untuk memberi. Itulah kenapa Yogyakarta istimewa.

Oleh karena identitas itu penting, maka konsekuensi logisnya adalah nama, penanda, dan peran kesejarahan yang menyertainya harus mencerminkan keyogyakartaan. Dibalik identitas itu terkandung watak demokratis dan karakter egaliter yang—mestinya—mempribadi pada setiap warga dan ruang-ruang yang tercipta. Mungkinkah identitas itu berubah? Yogyakarta kini seolah hanya memiliki gambar tunggal, tulis Aprinus Salam dalam catatan pengantarnya. Kota ini dipenuhsesaki dengan himpitan beton dan kuda besi yang bersiap menghadang manusia. Kemacetan jadi teman, banjir meluap dari hulu sampai hilir, dan panas kian mengganas.

Membangun dan Membongkar Yogyakarta

Pembangunan didesain untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Itu amanat UUD 1945 dan UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Teramat disayangkan bahwa pembangunan hanya dimaknai sebagai sesuatu yang fisik berupa bangunan semata. Kota penuh dengan mal, hotel, kondominium, apartemen, supermarket, dan beragam bentuk simbol modernitas. Sedang ruang-ruang budaya tempat reriungan beragam kalangan lintas kelas penuh kamardikan tanpa diintai ketakutan untuk membayar, nyaris tak ada. Hiruk pikuk menghimpit, meneror kedamaian dan kebersamaan.
Filosofi pembangunan kota dengan tata ruang yang matang buah karya Pangeran Mangkubumi—dengan sumbu imajiner—seolah tak lagi menemukan konteks historisnya. Kota menjadi sedemikian gegap gempita, gemerlap, dan digdaya. Dibalik itu semua, ada fenomena sosial yang mencemaskan. Semua menjadi seperti terburu-buru. Beragam kasus yang menelan korban jiwa bermunculan, mulai konflik antarsuporter sampai yang berbau SARA. Cukup mencengangkan pula bahwa kota ini sempat berpredikat kota dengan intoleransi yang tinggi.

Itulah sebagian ironi kebudayaan yang terjadi di sebuah kota yang berjuluk kota budaya. Fenomena itu bisa terjadi karena pembangunan berjalan tanpa strategi yang jelas dan visioner. Perda Keistimewaan yang menjadi induk pembangunan kebudayaan juga belum juga sempurna. Wajar apabila Sri Sultan HB X heran dengan rendahnya usulan danais di Kota Yogyakarta tahun 2017 (Kedaulatan Rakyat, 3/8/2016). Perlu dicari titik temu antara pemkot/pemkab, pelaku budaya, dan akademisi agar pemanfaatan danais tepat sasaran. Maka, mari ingat kembali pesan Bung Karno, ”Yogyakarta termasyhur karena jiwa-jiwa kemerdekaannya, hidupkanlah terus jiwa-jiwa kemerdekaan itu”.

*Wahjudi Djaja, Dosen Sekolah Vokasi UGM

(Sumber: Harian Kedaulatan Rakyat, Minggu, 7 Agustus 2016)

Kredo-Ruang Pertarungan Bahasa

Oleh Arif Fitra Kurniawan

 

Mira MM Astra menulis apa yang intim bagi tubuh, pikiran, laku, dan pirasanya: Bali serta nilai-nilai spiritual Hindu. Baginya, puisi itu harus bunyi, harus mampu meyakinkan.

Bolehlah sementara kita menahan peribahasa lama, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, untuk menggambarkan lebih banyak jerih yang mesti ditanggung seorang pembaca. Yakni, ketika berhadapan, mencebur, tenggelam, sekuat tenaga tetap mengapung sampai garis pinggir, lantas mentas dari teks-teks puisi Pinara Pitu.

Sebanyak 33 judul puisi termaktub di dalamnya. Buku tersebut dianggit Mira MM Astra, nama pena dari dari Mira Novianti. Penyair kelahiran Denpasar, Bali, ini sempat bertahun-tahun melanglang ke berbagai daerah di Indonesia dan bahkan bermukim di Cekoslovakia demi menyelesaikan proses belajarnya.

Bertahun-tahun tangan tualang menyeret, Mira MM Astra keluar dari kampung kelahiran. Bertahun-tahun tempat-tempat “asing”  mengajarinya banyak hal. Bertahun-tahun banyak hal tersebut pada akhirnya harus ia akui mengajarinya satu hal; bahwa hidup harus ditulis. Dan Mira memutuskan laku spiritual-literernya dengan menganggit puisi. Puisi bagi Mira tiada lain adalah kitab hidup.

Lewat kata pengantarnya, belum-belum penyair kita, dengan bayang gerak tangan mengepal ke atas, sudah mewanti-wanti para pemirsa sekaligus dirinya sendiri: “Puisi itu harus bunyi! Puisi harus dari dalam diri! Harus mampu meyakinkan.”

Ya. Jika penyair selalu bisa membuat kredonya sendiri, para pembaca sebaiknya jadi penguji setegak dan sekukuh apa kredo itu mampu muncul dalam teks-teks puisinya. Agar kredo tak sekadar omong kosong belaka.

Ada yang menarik dari kecenderungan beberapa penyair beberapa tahun terakhir ini. Yaitu, kepercayaan diri mereka dalam mengolah puisi menggunakan bahasa dari perkakas parole.

Mereka menggunakan ujaran lisan serta bahasa ibu mereka untuk menyusu bait-demi bait. Pun Mira. Simaklah: Majene, Majene di paras sasiq-mu/siapa bisa menduga bijak cuaca/ angin tanjung berliku menentang rahasia/tempaan terik bulan dan derai hujan (Majene, hal 58).

Bagi pengguna bahasa Indonesia sebagai lingu franca, bait tersebut tentunya tak akan habis sekali kunyah. Bait alot yang memaksa geraham kita dengan segala kehati-hatian ataupun sikap jengkel akan mengeram-eram dugaan, apa itu Majene, apa itu sasiq.

Belum lagi ketika kata-kata “asing” tersebut sudah lebur juga dalam susunan-susunan metafora antropomorfik yang dimiliki puisi. Meskipun dalam sikap cengengesan dan keisengan menduga, kita tak bisa begitu saja seenaknya mengubah kata Majene dengan kata Batagor. Atau dengan kata Mengamuk atau Kotoran Hidung. Sementara kata sasiq kita artikan sebagai Lapar atau Bola Pingpong atau Sumbu Kompor. Kredo penyair yang mengharuskan puisi harus dari dalam diri dan berhadapan dengan hasrat pembaca yang sepenuhnya ingin memiliki sesuatu yang asing pada akhirnya menciptakan ruang pertarungan bagi bahasa.

Situasi macam ini akan kita jumpai pula ketika melakukan pembacaan teks-teks puisi, misal ambil saja dari beberapa generasi penyair dari Madura setelah D. Zawawi imron.

Ada Mahwi Air Tawar dengan antologi puisinya Tanéyan (Komodo Books, 2015) atau Shohifur Ridho Ilahi dalam Masègit (Kendi Aksara, 2013). Pun puisi-puisi Mario F. Lawi yang liat dengan kisah-kisah biblikal serta kepercayaan adat yang salah satu baitnya begini: Aku menjumpai kau seusai Sabat, Sahabat/Kucucukkan tangan tempayanmu yang pasrah/Ke dalam lambungku sebagaimana Thomas/Senantiasa yakin pada kesedihannya sendiri (Kana; hal 26, Lelaki Bukan Malaikat).

Para penyair memutuskan memperluas area kreasi puisi mereka menggunakan metonimi yang akrab dengan keseharian mereka, semesta kalam mereka. Jika Mahwa dan Shohifur banyak mengolah kultur ke-Madura-an dan Islam, Mario lekat dengan tradisi masyarakat Sawu serta Kekatolikan.

Dalam hal ini, Mira memutuskan untuk teguh menulis apa yang intim bagi tubuh, pikiran, laku, dan pirasanya: Bali dan nilai-nilai spiritual Hindu. Mira seperti berkehendak, Pinara Pitu, yang bisa diartikan sebagai genta pemuat saptacakra dalam tubuh manusia-pengandung pancara energi murni ketuhanan ini-, suaranya tak semata hanya ia dengar sendiri. Melainkan gaungnya juga bisa kita cecap bersama.

Om suasti astu, Om.

Sumber: Jawa Pos, 25 Juli 2016

Buku “Badriyah” Ayu Weda: Biografi Kekalahan Perempuan

Oleh I Wayan Artika

SELURUH cerita dalam kumpulan cerpen Badriyah (Ayu Weda, 2016) menampilkan tokoh perempuan dewasa. “Aku” narator dalam “Badriyah” , Wilda dalam “Kasto”, Sukma dalam “Sang Guru”, “mbak” dalam “Pak Menteri dan Rakyatnya, Ratna dalam “Psikopat”, Rusmini dalam “Anak”, We Mundri dalam “We Mundri”, Putu Laras dalam “Putu Laras”, Renata dalam “Penari Tango”, para perempuan dalam “Capsa”, tampaknya juga “aku” narator dalam “Candu Jabatan (Surat untuk Teman SMA)”, dan Ambra dalam “Badanku Rumahku”. Karena itu, esai ini memandangnya sebagai biografi perempuan, dengan penjelasan tambahan: perempuan yang kalah. Seluruh cerita ini ikrar kekalahan perempuan, khusunya ketika melakukan relasi dengan laki-laki.

Pada umumnya biografi dipahami sebagai riwayat hidup seseorang. dalam esai ini bukanlah biografi perseorangan yang dimaksud tetapi biografi kolektif: biografi perempuan sebagai lawan laki-laki dan kalah lalu berdalih pada kodrat, cinta kasih, pengabdiaan, keiklasan, ketulusan yang semua hanyalah hiburan atau legitimasi emosional khas kaum perempuan. Beberapa cerpen mencoba melawan laki-laki (“Badriyah”,  “Putu Laras”, dan “Badanku Rumahku”), kalah, kecuali sedikit kemenangan dalam “Psikopat” atau “Tari Tango” namun kemenangan yang lumrah dan tidak berarti. Kumpulan cerpen ini biografi perempuan yang kalah. Tapi dalam kekalahan besar itu perempuan berdamai dengan cara menjadi hamba laki-laki (istri kedua dari tiga istri, pengagum seorang guru, pemburu cinta laki-laki). Inilah dunia perempuan yang digambarkan dalam Badriyah.

Cerpen “Badriyah” mewakili kekalahan perempuan yang diterima sebagai kemenagan oleh perempuan sendiri. Ini sebagai paradoks dalam diri perempuan. Merasa menang tetapi sesungguhnya kalah. Tokoh “aku” yang berkisah menyadari bahwa menjadi istri kedua dari tiga istri sebagai penderitaan namun ini baru dirasa setelah dialami. Lalu memilih bercerai. Karena itu, bisa lepas dari derita yang ditimbulkan oleh kuasa laki-laki dalam wujud praktik poligami.

“Badriyah” mengungkapkan sejumlah pandangan perempuan terhadap perempuan, seperti (1) pernikahan jalan pembebas derita seorang janda, (2) beralihnya cinta istri menjadi penghambaan kepada suami, (3) melalui penghambaan, seorang istri memperoleh rasa diayomi, (4) istri menolak dipoligami, dan (5) pernikahan sama dengan penghambaan. Pandangan ini menyebar di seluruh cerpen. Satu sisi perempuan kuat dan mandiri tetapi ketika melakukan relasi dengan laki-laki perempuan tidak berarti apa-apa. Arti hidup diperoleh lewat menjadi hamba dan menerima pengayoman laki-laki, walaupun “Di dompetnya tidak pernah ada uang” (hal.4).

Kapan perempuan harus menolak kodratnya (bergantung, menghamba, iklas, manut, diam)? Kapan perempuan berbalik arah dari kodrat? Kapan perempuan harus melawan? Dalam “Badriyah” diungkapkan, seorang perempuan (istri) baru melawan ketika dirinya gagal bertahan dalam poligami. Perlawanan inipun bukanlah perlawanan sesungguhnya seperti yang dilakukan Calon Arang dalam tradisi sastra Jawa Kuna. Mengapa istri tidak sejak semula memilih menjadi yang kuat untuk menandingi dan menundukkan suami? Ketika perempuan melawan laki-laki walaupun ini perlawanan semu, apakah dipicu oleh sikap jujur atau karena sakit hati atas kekalahan dan sedikit rasa marah? Mengapa perempuan hanya bisa keluar dari sistem hegemoni mskulinisme dan bukan melawan sistem itu hingga hancur, seperti cerpen perempuan radikal dalam sastra Lekra? Ketika seorang istri keluar dari sistem berbagi cinta, seperti tokoh “aku” dalam “Badriyah”, sama halnya dengan kekalahan namun dimaknai kemenangan bagi si istri, bukan demikian sesungguhnya namun hanya pelarian dari rasa tidak sanggup bertahan. Inilah kemunduran pandangan perempuan dalam dunia modern yang diagungkan. Merasa diri berkuasa namun seungguhnya mereka sengaja membuang diri karena tidak sanggup melawan laki-laki.

Pikiran inilah yang harus ditangkap ketika menyimak biografi perempuan dalam kumpulan cerita ini. Semua yang digambarkan perempuan yang kalah, perempuan yang berdamai, perempuan yang menghamba atau menjadi budak, dan perempuan yang hanya bisa berpaling ke dalam kodratnya sebagai perempuan. Suara itulah yang mendominasi cerpen ini. Jangan-jangan inilah rumusan simpulan sejarah perjuangan gender yang ternyata semuanya utopia.

Biografi kekalahan perempuan dalam cerita-cerita ini mengingatkan bahwa betapa utopisnya perjuangan atau perlawanan gender. Perlawanan gender tidak pernah terjadi secara radikal. Hasilnya pun tetap moderat. Hal ini dijelaskan oleh cerita-cerita antologi Badriyah. Kumpulan cerpen ini kisah mengenai betapa tidak berdayanya perempuan walaupun di sisi lain memiliki kesuksesan hidup. Mereka sebatas menolak tanpa perlawanan balik. Tidak ada ide perempuan untuk memulai melakukan perlawanan. Perempuan hanya menjadi pendompleng atau budak laki-laki. Mungkin saja ini kekuatan yang didapat oleh laki-laki secara relasional, yang hanya ketika hubungan itu terjadi antara laki-laki dan perempuan. Cerita-cerita dalamBadriyah menyajikan kejujuran biografis yang tidak bisa diganggu gugat karena pada akhirnya perempuan menjadi bangga atas segala kekalahannya, dengan sekadar berlari atau menolak tunduk. Perempuan sendiri tidak perlu pembelaan gender atau perjuangan untuk kesetaraan. Perempuan tidak membutuhkan itu karena yang dibutuhkan hanyalah menjadi budak kaum laki-laki (entah ia suami, guru, atau a boy).

Ketika perempuan tampaknya mengeluh atas takdirnya, kecuali We Mundri (dalam “We Mundri”), maka keluhan ini tidak terlalu penting. Keluhan ini bagian hidup perempuan yang mereka nikmati sendiri, walaupun tidak dapat dijelaskan karena perempuan tidak jujur. Salah kalau keluhan ini direspons iba berlebihan. Keluhan perempuan yang sering disejajarkan dengan penderitaan merupakan kebahagiaan perempuan yang paling dalam. Mungkin di sini ada jawaban mengapa seorang selir tercantik rela membakar diri di kobaran api kremasi raja, bukti budak setia. Hal ini terjadi karena selir itu bahagia dengan cara membakar diri. Ini sama sekali bukan tindakan bodoh, pilihan yang membaggakan dan membahagiakan. Layonsari juga bunuh diri dan menolak menjadi istri utama raja. Maka tersindirlah kaum perempuan modern oleh Calon Arang yang memulai hidup dengan praktik melawan kerajaan Kadiri. Tersindirlah perempuan modern dengan sikap dan praktik hidup Men Brayut yang siap melahirkan anak-anaknya. Mengapa Tuung Kuning kalah oleh penjudi karena keinginan laki-laki Bali untuk tetap mengunggulkan diri dalam lembaga ideologipurusa.

Sumbangan penting cerita dalam antologi cerpen Badriyah ini bukan karena materi kisahnya yang dikatakan oleh Seno Gumira Ajidarma dalam kata pengantar buku ini, tetapi pada pengakuan jujur para perempuan, seperti “aku” dalam “Badriyah”, Ambra, Rusmini, Putu Laras. Mereka perempuan yang kalah oleh takdir laki-laki. (T)

Judul Buku: Badriyah
Pengarang: Ayu Weda
Penerbit: Gambang Buku Budaya
Tahun Terbit: Maret 2016
Jumlah Halaman: xiv + 207 halaman
ISBN: 978-602-6776-15-0

I Wayan Artika, Doktor pengajar di Fakultas Bahasa dan Seni, Undiksha Singaraja. Penulis novel, cerpen dan esai. Tulisannya dimuat di berbagai media dan jurnal.

Sumber: tatkala.co

Endorsment Parabel Cervantes dan Don Quixote

Borges“Borges melebihi siapa pun yang merenovasi bahasa fiksi dan karenanya ia telah membuka jalan bagi suatu generasi luar biasa dari para novelis Spanyol-Amerika. Gabriel García Márquez, Carlos Fuentes, José Donoso, dan Mario Vargas Llosa, semuanya mengakui bahwa mereka berhutang kepadanya.” — J.M. Coetzee

“Dengan kemungkinan memasuki ketakterbatasan serta mendistorsi imajinasinya, [Borges] telah mengangkat fiksi jauh dari muka bumi, tempat sebagian besar novel dan cerita pendek kita masih menjejakkan kaki.” — John Updike

“Borges adalah penulis berbahasa Spanyol paling penting sejak Cervantes …. menolak untuk menganugerahkan Hadiah Nobel kepadanya adalah sebuah keputusan yang buruk sebagaimana yang telah terjadi kepada Joyce, Proust, dan Kafka.” — Mario Vargas Llosa

“Tanpa Borges novel Amerika Latin modern sama sekali takkan pernah ada.” — Carlos Fuentes

Endorsment Badriyah

Ada seni menulis, ada seni membaca. Adalah seni membaca yang menentukan makna tulisan. Menghadapi cerita-cerita Ayu Weda, saya menerima cerita-ceritanya sebagai cerita berdasarkan pengalaman, penghayatan, dan pengamatan seorang perempuan Indonesia dalam perjuangan eksistensialnya—yakni mengada dengan cara menyatakannya.

Cerita-cerita ini menunjukkan bagaimana subjek keluar-masuk dunia objektif yang diungkapnya, antara dingin dan emosional, terharu dan bingung, kritis dan lebur silih berganti, dalam pergulatan untuk mendapatkan kejernihan dan pencerahan di dunia yang amburadul.

Subjek beredar di antara para menteri, kiai, pengusaha, intelektual, dan seniman, semuanya dari kelas atas, yang memberi janji tersingkapnya berbagai dunia yang selama ini hanya terpandang dari kejauhan. Pada saat yang sama, kepedulian kepada mereka yang tidak mendapat tempat dan tidak tercatat, memberikan keseimbangan yang membuatnya patut dipercaya: bahwa buku ini layak dibaca.
(Seno Gumira Ajidarma)
Read more

Yopi, Puisi, dan Multisiplitas Waktu

mjnmwSEPANJANG jalan, ia mencatat sebuah kalimat. Kemudian memungut diksi, mencium aroma kematian dan menjadikannya bait-bait ingatan. Itulah hakikat seorang pejalan yang digambarkan Yopi Setia Umbara dalam kumpulan puisi Mengukur Jalan, Mengulur Waktu (2015). Bisa dipastikan keseluruhan puisinya bertaut antara diri (aku), perjalanan, dan ingatan tentang perjumpaan.

Untung saja, Yopi memaknai itu semua dengan mata seorang penyair. Ia bergerak dari ruang material hingga ke ruang batin paling intim. Seperti sebuah renungan ikhwal perjalanan mencari diri. Menariknya, seorang penyair ketika merumuskan, memaknai dan mengingat waktu akan berbeda dengan seorang fisikawan dan pebisnis. Misalnya, dalam teori relativitas ala Eintens bahwa “duduk di tungku api lebih lama dari duduk di dekat seorang perempuan cantik”. Seorang pebisnis (entreprener) akan merumuskan “waktu adalah uang”. Apakah Yopi mirip pemain sepakbola (Indonesia) yang melulu mengulur waktu ketika berada dalam sebuah pertandingan? Read more

Endorsment Memorabilia dan Melankolia

Dalam Memorabilia & Melankolia ini Agus Noor terobsesi oleh berbagai persoalan yang menyedihkan, antara lain kebobrokan politik, kebobrokan keluarga, dan kebobrokan individu-individu, yang mungkin karena masalah internal atau eksternal, mempunyai perilaku menyimpang, di mana keadilan dan kebenaran dinafikan demi kepentingan individu-individu tertentu. Dalam Harkatnya sebagai pengarang, Agus Noor fokus pada korban dan individu-individu dengan perilaku menyimpang pun disamarkan dalam dunia yang kelam.

arkat sebagai pengarang menuntut konsekuensi lain, yaitu, kemampuan berbahasa. Siapa pun boleh mengungkap keprihatinan, dan siapa pun boleh menggambarkan dunia yang kelam, tapi, tanpa kemampuan mengolah bahasa dengan tepat, sukar bagi siapa pun untuk menjadi pengarang. Karena itulah, Agus Noor berjuang untuk mengatasi dominasi kekuatan bahasa, dan Agus Noor keluar sebagai pemenang, dan karena itulah, Agus Noor tidak tampak sebagai penggugat terhadap kebobrokan, tetapi sebagai pengarang yang prihatin terhadap kebobrokan.
(Budi Darma)
Memperhatikan cerita-cerita dalam buku ini, kerja kepengarangan itu seperti pura-pura menjadi Tuhan, tetapi jika Tuhan bisa mulai dari nol, maka pengarang tidak mungkin memutihkan dunia dahulu sebelum mengarang. Tidak seperti Tuhan, pengarang terkodratkan bekerja dari segala sesuatu yang sudah diadakan oleh Tuhan. Jika Tuhan bisa menciptakan dunia dan kehidupannya dari titik nol, maka pengarang hanya mungkin “mengarang” berdasarkan dunia dan kehidupan yang sudah ada.

Cerita-cerita dalam buku ini menunjukkan, yang disebut mengarang kemudian mempuyai arti apakah pengarang akan menerima, menolak, atau bernegosiasi dengan dunia itu. Berdasarkan sikap yang manapun, salah satu maupun ketiganya sekaligus, terbuka peluang bagi pengarang untuk membongkar dunia tersebut dan menyusunnya kembali dengan peralatan yang disebut imajinasi. Dalam penyusunan kembali itulah kreativitas bekerja. Dengan cara membaca seperti ini, Pembaca dapat menyaksikan bagaimana pengarang bernama Agus Noor ini berjuang untuk mengarang, semengarang-mengarangnya, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih ngarang :).
(Seno Gumira Ajidarma)

Dunia urban dan kontemporer dalam cerpen-cerpen Agus Noor, menjelma menjadi sejenis dongeng. Dan dongeng menjadi perkakas yang unik untuk mengomentari situasi urban dan kontemporer ini, baik moral maupun politik, seringkali dengan humor yang melimpah.
(Eka Kurniawan)

Memaknai Ingatan Perempuan

Memaknai Ingatan Perempuan dalam Puisi Perempuan-Perempuan Plaza de Mayo dan Puisi Ketakutan Suatu Malam: Jugun Ianfu karya Nissa Rengganis[1]
Oleh: Khairiyah Eka Januaristi[2]

So I write in order to keep. —Derrida, “Dialanguages”

Trauma yang ditimbulkan akibat kejahatan kemanusiaan dimunculkan Nissa Rengganis dalam puisi-puisinya yang berjudul Perempuan-Perempuan Plaza de Mayo dan Ketakutan Suatu Malam: Jugun Ianfu. Pengarang mencoba mengimajinasikan dan mengembalikan ingatan mengenai kekejaman yang telah terjadi kepada dua persona perempuan. Persona dalam puisi Perempuan-Perempuan Plaza de Mayo kehilangan putranya, sedangkan persona dalam puisi Ketakutan Suatu Malam: Jugun Ianfu dirampas hak atas penguasaan terhadap tubuhnya sendiri. Tidak hanya sampai di situ, mereka terbelenggu oleh peristiwa-peristiwa tersebut sehingga mereka pun menjadi jejak-jejak masa lalu, apa yang disebut oleh Derrida sebagai “nostalgia for origins”. Masa lalu begitu adiktif dan enggan lepas dari pikiran.

Kedua puisi tersebut mengandung tiga emosi utama: ketakutan/kecemasan, amarah, dan kekecewaan yang dipicu oleh ingatan-ingatan tidak menyenangkan dan disebabkan oleh trauma yang dialami persona. Dalam bahasa Yunani, trauma berarti ‘luka’. Trauma, luka dari pikiran tidak bisa disembuhkan sesederhana menyembuhkan luka badaniah. Selama ingatan akan kenangan membekas, luka-luka tersebut tidak akan sembuh.[3]

Puisi Perempuan-Perempuan Plaza de Mayo mungkin terinspirasi dari kisah para perempuan yang kehilangan anak-anak mereka selama periode penyiksaan rezim Pinochet. Naomi Klein dalam bukunya yang berjudul The Shock Doctrine mengungkapkan fakta mengenai anak-anak korban Torture Camp (Pusat Penyiksaaan) yang dipisahkan dari orang tua mereka dengan tujuan membersihkan Argentina dari sosialisme. Kekejian ini sebetulnya termasuk bentuk genosida. Konvensi PBB tentang genosida mendefinisikan genosida sebagai mencegah kelahiran dari kelompok masyarakat tertentu, atau memindahkan anak-anak kelompok tertentu ke kelompok lain. Dalam kasus ini, genosida dilakukan bukan atas dasar ras atau suku melainkan paham politik, budaya, dan kelas dari orangtua mereka.[4]

Metafora yang berkaitan dengan api seperti ‘bakar’, ‘nyala api’, ‘hanguskan’, ‘arang’, dan ‘abu’ pada bait pertama menyiratkan kehancuran yang diharapkan terhadap ingatan yang terus menghantui persona. Ia ingin eksistensinya hilang, sehingga ingatannya juga ikut menghilang, sebab ia sudah tidak lagi memiliki harapan. Siapa yang diharapkan membunuhnya? Bisa jadi yang dimaksud adalah pemerintahan junta militer dan pada mereka pula kemarahannya ditujukan.

Anak-anak kesayangan mereka entah ada di mana dan harapan mereka akan kembali pun sangat kecil. Bahkan setelah bertahun-tahun menunggu, mereka tidak pulang ke rumah mereka. Persona dalam puisi ini adalah sosok ibu yang kehilangan anak lelakinya yang sudah tidak mungkin kembali lagi.

Kehilangan dalam bentuk lain diceritakan dalam puisi Ketakutan Suatu Malam: Jugun Ianfu. Puisi ini mendeskripsikan kejaman di era penjajahan Jepang yang menorehkan luka yang dalam bagi banyak perempuan Indonesia yang dijebak dalam pelacuran paksa. Mereka yang dijadikan jugun ianfu dipaksa melayani nafsu para serdadu Jepang selama mereka berada di Indonesia.

Para perempuan yang menjadi jugun ianfu kehilangan hak atas tubuh mereka. Bait pertama puisi ini menjabarkan tentang persona yang menangis karena tiadanya darah dari  selaput hymen pada malam pengantinnya. Ketiadaan ini membongkar kembali ingatannya akan yang terjadi di masa lalu saat keperawanannya direnggut paksa saat ia berada jauh dari kampung halaman, yang berarti tidak seorang pun dapat menolong mereka saat hal buruk tersebut terjadi pada mereka. Ketidakberdayaan untuk mencegah tubuh mereka dijamah paksa menimbulkan kengerian yang tidak bisa hilang dalam benaknya.

Repetisi dalam puisi mengenai kenangan-kenangan tersebut terus menghantui dan seakan-akan tidak akan berakhir. Lantas, bagaimana memaknai ingatan? Bagaimana proses ini bisa terjadi?

Menurut Jonathan Boulter dalam bukunya yang berjudul Melancholy and the Archive Trauma, Memory, and History in the Contemporary Novel, semua kenangan dibekukan oleh archive. Secara tradisional archive diartikan sebagai respons material ataupun afektif terhadap masa lalu sebagai cara untuk “mengawetkan” yang pernah terjadi. Ia juga mengutip Derrida yang menekankan bahwa archive bekerja secara otoritatif untuk menandai ruang permulaan dan futuritas.[5] Kehilangan putra tercinta menjadi awal mula puisi Perempuan-Perempuan Plaza de Mayo dan peristiwa pengambilan paksa sang perawan dari rumah mereka oleh tentara Jepang dalam Ketakutan Suatu Malam: Jugun Ianfu mengawali trauma sang persona. Kenangan-kenangan buruk yang ditimbulkan oleh trauma tersebut melintasi batas masa lalu dan menjelajah sampai ke kehidupan para persona di masa depan.

Trauma tersebut berada di ruang, situs, archive, dalam entitas temporal dan spektral.[6] Bentuk material archive merupakan entitas temporalnya. Puisi Ketakutan Suatu Malam, misalnya, diimajinasikan dalam ruang yang luas, ‘kota yang jauh’, kemudian menyempit ke ‘rumah-rumah tinggi bercat pudar’, dan semakin spesifik ke ‘ranjang besi berkarat’. Detail ini turut membangun imajinasi pembaca terhadap kengerian yang dialami persona. Tempat-tempat imajinasi tersebut menjadi situs di mana ingatan berasal. Hujan dalam puisi Ketakutan Suatu Malam: Jugun Ianfu membangkitkan ingatan dan mengulang peristiwa dalam kepala persona bahwa ia pernah diambil paksa oleh para tentara Jepang. Ia merasa tidak berdaya dan tangisannya yang lebih kencang dari hujan menunjukkan emosi yang begitu meluap yang menyiratkan ketakutan. Repetisi bait mengenai luka bakar di pipi kanan adalah bentuk dari luka fisik yang bekasnya tidak hilang, sekaligus menjadi penanda luka di jiwa yang tidak bisa sembuh. Luka bakar di pipi kanan juga menjadi ruang untuk ingatan-ingatan traumatik.  Entitas temporal archive dalam puisi Perempuan-Perempuan Plaza de Mayo adalah meja makan siang, bumi, sudut taman kota, langit kota, buket-buket bunga yang mengering dan kelopaknya. Rumah yang dahulu pernah ada seorang anak laki-laki di dalamnya, yang duduk bersama persona di meja makan, menyimpan kenangan sekaligus pengingat akan kehilangan.

Archive juga menandai ruang kecemasan akan kemungkinan atas kehilangan, yakni antisipasi hilangnya sejarah.[7] Puisi Perempuan-Perempuan Plaza de Mayo dan puisi Ketakutan Suatu Malam: Jugun Ianfu adalah archive yang mempunyai fungsi yang terakhir. Kedua puisi ini pun menjadi phenomenal archive, situs berkumpulnya ingatan, shared knowledge, yang pernah mempengaruhi dua era yang berbeda. Pada saat inilah archive dibutuhkan karena suatu saat ingatan akan kejadian-kejadian itu bisa hilang.

Derrida menempatkan subjek sebagai situs dari kehilangan atau disebut sebagai entitas spektral archieve. Para persona dari kedua puisi tersebut membawa kembali kenangan-kenangan buruk yang terjadi pada para perempuan di era yang tidak terlampau jauh, pertengahan abad ke-20, walaupun berada di belahan bumi yang berbeda. Ketiadaberdayaan, rasa frustasi, ketakutan tiada akhir, suara-suara yang berasal dari korban dalam kedua puisi menjadi pengingat, walaupun menyakitkan bahwa hal yang sangat buruk pernah terjadi pada sejarah kaum perempuan.

Menurut Freud, ketidakmampuan untuk memutus hubungan masa kini dengan trauma dan kehilangan di masa lalu merupakan sebuah keabnormalan yang disebut melankolia. Kesedihan mendalam hanya bisa hilang dengan melepaskan diri dari objek yang hilang.[8] Hal itu tentu tidaklah mudah. Ingatan akan kehilangan diproduksi berulang kali.

Kapankah melankolia ini akan berakhir?

Melankolia menjadi mata yang lebih tajam untuk melihat kebenaran. Melepaskan diri dari masa lalu hampir tidak mungkin, karena masa lalu yang mengartikulasi subjek. Ingatan membentuk subjek di masa sekarang dan masa depan, jika ia masih ingin melekat dengan objek-objek yang hilang. Ingatanlah yang membuat sejarah tidak mudah dihapus, walaupun keberadaannya sangat menyakitkan.

Daftar Pustaka
Boulter Jonathan. Melancholy and the Archive: Trauma, Memory, and History in the
Contemporary Novel. London: Continuum International Publishing Group, 2011.
Horvits, Deborah M. Literary Trauma: Sadism, Memory, and Sexual Violence in American
Women’s Fiction. New York: New York University Press, 2000.
Klein, Naomi. The Shock Doctrine. New York: Henry and Holt, Inc., 2008.
Rengganis, Nissa. “Perempuan-Perempuan Plaza de Mayo.” Cirebon, 2013.
“Ketakutan Suatu Malam: Jugun Ianfu.” Banjarnegara, 2014.

[1] Didiskusikan dalam diskusi sastra bulanan PKKH UGM edisi Agustus 2015
[2] Mahasiswa S-2 Ilmu Sastra FIB UGM
[3] Deborah M. Horvits, Literary Trauma: Sadism, Memory, and Sexual Violence in American Women’s Fiction (New York: New York University Press, 2000), hlm.131.
[4] Naomi Klein, The Shock Doctrine (New York: Henry and Holt, Inc., 2008), hlm. 114.
[5] Jonathan Boulter, Melancholy and the Archive Trauma, Memory, and History in the Contemporary Novel (London: Continuum International Publishing Group, 2011), hlm. 3.
[6] Ibid, hlm. 4.
[7] Ibid, hlm. 4.
[8] Ibid, hlm. 22.