Puisi

Showing 1–12 of 30 results


  • Sebuah usaha awal agar pembaca bisa mengintip dunia Romawi Kuno yang diabadikan Catullus dalam puisi-puisinya. Buku ini dilengkapi dengan puisi-puisi versi Latin (yang tentu saja sudah menjadi milik publik, dapat diakses bebas di internet), dengan tujuan paling mendasar, agar bentuk asli puisi-puisi tersebut dapat tetap “dinikmati” bersamaan dengan penelusuran terhadap gagasan-gagasan di dalamnya melalui bahasa terjemahannya. Untuk memudahkan pemahaman atas konteks, sejumlah catatan akhir, yang dianggap perlu, disertakan pada sejumlah puisi. Diterjemahkan oleh Mario F. Lawi.

  • Catatan
    Tahun 1999 kumpulan puisi “Di Atas Umbria” diterbitkan Indonesia Tera untuk pertama kalinya. Kumpulan ini berisi puisi-puisi yang sebagian besar merupakan catatan perjalanan saya ke sejumlah tempat. Dengan keterbatasan halaman yang ditetapkan penerbit waktu itu, puisi-puisi dari periode ini terpaksa saya seleksi secara ketat sehingga tidak semua bisa termuat. Alhamdulillah, sambutan publik sastra terhadap kumpulan ini lumayan baik. Tahun 2001 kumpulan puisi ini mengalami cetak ulang.

    “Di Atas Umbria” sudah belasan tahun menghilang dari pasaran, sementara yang menanyakan kepada saya tentang keberadaan serta di mana dapat memperoleh kumpulan puisi tersebut semakin banyak. Sejak beberapa tahun lalu saya sudah punya keinginan menghadirkan kembali kumpulan ini kepada publik sastra, namun selalu tertunda. Ketika tahun 2010 kebetulan bertemu dengan Dorothea Rosa Herliany dari Indonesia Tera, saya sempat meminta izin seandainya sekali waktu “Di Atas Umbria” akan dicetak lagi, meskipun pada saat itu belum jelas siapa penerbitnya.

    Dalam edisi baru yang diterbitkan Penerbit Gambang, kumpulan puisi ini mengalami perubahan. Selain memperbaiki kesalahan kecil yang sifatnya teknis serta sedikit revisi untuk satu dua puisi, juga ada penambahan 13 puisi yang tidak termuat pada cetakan pertama dan kedua. Penambahan ini dimaksudkan agar “Di Atas Umbria” lebih utuh sebagai kumpulan. Puisi-puisi tambahan semuanya ditulis pada periode maupun atmosfir penciptaan yang sama, dan secara tematik sangat berkaitan. Dengan demikian edisi ini menjadi sedikit lebih tebal dibanding cetakan sebelumnya.

    A.Z.N.

  • Hikayat Anak-anak Pendosa memiliki sebuah eksplorasi yang berani dan menjanjikan.
    Tia Setiadi – Penyair dan Kritikus Sastra

    Banyak hal yang harus diperhitungkan di dalam menulis puisi. Tidak sekedar bergagah-gagahan dengan kata, atau menggarap tema “Nyeleneh” puisi harus memiliki karakter sendiri. Karakter di mana kita bisa membaca perjalanan penulisnya. Puisi-puisi dalam buku HikayatAnak-anak Pendosa cukup nikmat untuk dibaca. Waktulah kelak yang akan mengantar penyairnya untuk di uji.  Apakah mampu bertahan dan makin kokoh?
    Oka Rusmini – Novelis dan Penyair

    Buku puisi Muhammad de Putra, Hikayat Anak-anak Pendosa, akan menjadi buku puisi yang saya simpan di rak khusus bersama buku-buku puisi lain dari penyair Indonesia yang saya sukai.
    Cecep Syamsul Hari – Penyair

  • Iliad yang ditulis Homer lebih dari 2800 tahun yang lalu adalah karya besar sastra dunia yang tak habis-habisnya dibicarakan.
    Nama-nama, peristiwa, serta berbagai benda dalam kisah ini kini banyak mewarnai istilah dalam dunia ilmu pengetahuan, mitos, dan legenda yang membentuk peradaban dunia.

    Kini, karya besar yang menghadapkan dua tokoh legendaris Achilles (Yunani) dan Hector (Trojan) ini hadir secara lengkap dalam Bahasa Indonesia.

    Sale!
  • Buku ini merupakan kumpulan geguritan (puisi berbahasa Jawa) yang ditulis antara lain oleh: Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum. (Univ. Negeri Semarang), Prof. Dr. H. Bani Sudardi, M. Hum. (Univ. Sebelas Maret Surakarta), Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd. (Univ. Negeri Malang), Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum. (Univ. Negeri Jember), Prof. Dr. Suminto A. Sayuti (Univ. Negeri Yogyakarta), Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum. (Univ. Negeri Yogyakarta), Drs. Pardi Suratno, M.Hum. (Kepala Balai Bahasa Yogyakarta), Budhi Setyawan (Depkeu RI), dan beberapa penggurit lainnya. Buku ini dikuratori oleh Dr. Esti Ismawati, M.Pd.

    Sale!
  • Ekspresi kegelisahan dan perlawanan dalam gerakan pembebasan rakyat dari belenggu penguasa yang cenderung abaikan hak-hak rakyat, ditambah hadirnya para oprtunis yang menggadaikan moralnya demi pundi-pundi kekayaan para oportunis biasanya berkoalisi dengan para kapitalis dalam mempengaruhi penguasa agar regulasi berpihak utk mengeruk kekayaan rakyat tanpa berpikir kerusakan lingkungan dan tatanan sosial yang selama ini di pertahankan oleh sebagian rakyat yang memegang teguh nilai dan tradisi.

    Antologi puisi ini adalah karya kritis dan relflektif sebagai ekspresi kritik sosial dalam kehidupan aktual yang penuh dengan intrik dan manipulasi. Mengenal dekat dengan sang penulis yang banyak aktif dalam setiap peristiwa pergerakan Rakyat. Saya meyakini sebagai sumber inspirasi karya karyanya yang penuh dengan kritik sosial dan penegakan HAM dalam setiap bait-bait puisinya, susunan kalimatnya pun penuh dengan perlawanan dalam membebaskan keterkungkungan rakyat oleh kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, yang dipengaruhi oleh gelapnya jalan kebenaran.

  • Puisi-puisi dalam kumpulan ini ditulis dengan penuh kekhusyukan dan kesiagaan. Bagaimana upaya penyair memilih tema, menentukan rancang bangun serta mengolah kata-kata sebagai bahan baku puisinya, dengan jelas telah menunjukkan adanya kekhusyukan dan kesiagaan itu. Dengan demikian frasa-frasanya yang terkesan sederhana menjadi terasa kaya, berwarna dan bermakna ganda. (Acep Zamzam Noor)

  • Suatu malam, Rozi Kembara menelepon. Di antara sekian banyak kabar yang disampaikannya, saya tak bisa berhenti memikirkan bahwa seorang kawan kami, yang dulu belajar menulis bersama kami, telah jadi semacam jihadis di Pakistan karena kecewa terhadap puisi. Mungkin ia mencari ketenangan jiwa, kedalaman, pencerahan… saya tidak tahu. Saya bahkan tidak yakin manusia punya jiwa.

    Apa-apa yang dicari dan ditemukannya, atau tidak ditemukannya, agaknya berbeda dari Rozi dan saya. Tetapi saya pun pernah merasa harus mencabut perkara dengan puisi.

    Selepas menerbitkan Misa Arwah lima tahun lalu, saya tak mau menulis dengan cara yang sama, tetapi alangkah sukar melepaskan diri. Alih-alih menemukan suara dan gaya bicara yang lain, saya hanya tergagap-gagap. Semua yang saya ketik terasa palsu dan menyedihkan.

    Kemudian saya menemukan buku-buku Nicanor Parra. Jika puisi sepatutnya berlapis, mendalam, mencerahkan, serta sanggup memindahkan para pembaca ke labirin khayali yang megah dan berbelit-belit, Parra menolak. Dia menyentak kita dengan keterus-terangan, klise, humor sepele. Puisi-puisinya menerbitkan senyum orang kebanyakan, bukan sekadar bahan ngocok para kritikus.

    “Puisi telah jadi surga si dungu yang khidmat selama setengah abad, sampai aku datang dan mendirikan roller coaster-ku,” katanya. “Naiklah, kalau kau mau. Bukan salahku kalau kau turun dengan hidung dan mulut berdarah.”

    Pada waktu yang sama, saya juga menemukan kembali William Carlos Williams, yang dulu saya baca sekilas-sekilas saja. Dalam pengantar Spring and All, Williams bercerita bahwa seorang kritikus menyebut karya-karyanya antipuisi, bukan puisi, sebab dia mengabaikan rima dan ritme. Williams tak sepakat. Baginya, puisi pada umumnya justru menghalangi persepsi pembaca terhadap kenyataan dengan berbagai ilusi. Dia kepengin memulangkan pembaca ke sini, saat ini.

    Parra dan Williams punya kegelisahan serupa, memilih pendekatan yang berbeda, dan keduanya mengubah cara banyak orang memikirkan serta menulis puisi.

    Buku ini tak sepatutnya dibaca sebagai upaya meneruskan inisiatif mereka. Saya hanya berusaha menolong diri sendiri, bukan puisi, apalagi bahasa Indonesia, dari kebuntuan yang menyengsarakan.

    Kepada para pembaca yang berharap saya selamanya menulis seperti dalam Misa Arwah, saya mohon maaf. Janganlah menusuk saya kalau kita bertemu. Apa boleh buat, hal paling menggembirakan bagi saya sebagai penulis adalah kesempatan baru untuk bermain-main.

  • Puisi-puisi di Kitab Air Pasang ini mayoritas ditulis kurun 1996-2006. Ada beberapa yang ditulis setelah 2007, saat Agus Hernawan melanjutkan studi di Amerika Serikat. Setelah 2010, Agus Hernawan lebih banyak menulis artikel untuk opini Harian Kompas yang tidak berkaitan dengan puisi dan sastra. Puisi-puisi awal dan belakangan tidak ikut hadir. Selain faktor dokumentasi yang buruk, juga alasan subyektif, bahwa Agus Hernawan menulis puisi.

  • Kumpulan puisi ini membawa kita ke dalam refleksi mengenai hubungan antar manusia, waktu, dan peristiwa. Di antara waktu yang bergegas dan waktu yang berjalan lambat, kadang manusia terasing dalam suasana gamang dan linglung seperti terlukiskan dalam sajak pendek yang menyentuh, “Pagi di Kantor Pos”: Mengantre// Tapi tak ada lagi / Surat kukirim.
    (Joko Pinurbo – penyair)

    Bagi setiap penyair, puisi sudah ada dalam hatinya sebelum terlahir. Ratna Ayu Budhiarti menyimpan seluruh kandungan magma dalam arus bawah sadar, dan kumpulan puisi ini bagai refleksi atas setiap letup peristiwa yang dialaminya. Ia perempuan yang mewakilkan citra dirinya dalam ketegaran, introspeksi, pelbagai pertanyaan tentang hidup, dan penyerahan yang indah sebagai puisi.
    (Kurnia Effendi – penulis prosa dan puisi)

    Lembut, puitis, dan bermakna. Inilah kesan utama setelah membaca sajak-sajak Ratna Ayu Budhiarti dalam buku ini. Kelembutan yang merepresentasikan dunia perempuan yang diungkapkannya. Kepuitisan yang menandakan kepiawaiannya dalam menyusun kata-kata secara indah dengan metafor-metafor yang unik dan segar. Dan, kebermaknaan yang mengisyaratkan kedalaman makna dan pesan yang disampaikannya.
    (Ahmadun Yosi Herfanda – penyair dan pemimpin redaksi portal sastra Litera)

  • CATATAN PENGANTAR

    Hingga berusia sekitar 50 tahun, tidak lebih dari 10 puisi yang pernah kubuat. Itu pun karena permintaan beberapa teman, bahwa puisi itu akan dilagukan (dimusikalisasi). Memang, dari beberapa puisi tersebut, ada dua puisi yang dilagukan. Aku merasa membuat puisi itu sulitnya minta ampun.

    Dalam perjalanan hidupku, aku bergulat dengan sastra, mengajar dan menulis. Cukup banyak tulisanku, terutama untuk tulisan yang bersifat akademis, dan lebih dari 330 esai opini yang telah diterbitkan di sejumlah media massa.

    Dalam perjalanan karierku menulis itu, aku juga menulis sejumlah cerpen, dan naskah drama. Cerpenku pernah dimuat di banyak media massa, dan diterbitkan dalam sebuah kumpulan antologi Keboji (2009), yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Budaya UGM.

    Sekali lagi, aku merasa aku tak mampu menulis puisi. Padahal, hampir setiap hari aku bercengkrama dengan prosa dan puisi.

    Pada suatu malam, di awal tahun 2016, tiba-tiba aku ingin menulis puisi. Ada semacam getaran halus yang meminta aku menulis puisi. Dengan berbagai keraguan dan kerinduan, aku memenuhi panggilan tadi. Jadilah puisi, yang aku sebut sebagai para mantra. Ini memang soal pilihan, jadi ketika aku menulis puisi-puisi ini, aku seperti menulis mantra.

    Tentu aku berterimakasih kepada Tuhan (Tuhan ampunilah dengan dan bersama puisi mantraku). Aku berterimakasih kepada anakku Ainina Zahra dan istriku Pristi Salam, yang ketika aku menulis puisi mantra ini, mereka membiarkan aku berlagak sok jadi penyair, bahkan sedikit sok menjadi filsuf.

    Terimakasihku kepada para teman di Pusat Studi Kebudayaan UGM, dan terimakasih kepada para teman klangenanku dalam bersastra dan blusukan ke berbagai tempat.

    Terimakasih kepada siapa saja yang berkenan membaca puisi mantraku. Semoga bisa jadi mantra dalam arti yang sesungguhnya.

    Yogyakarta, 29 Februari 2016

    Aprinus Salam


Showing 1–12 of 30 results

logo-gambang-footer

Jika Anda Merasa Kesusahan dalam Berbelanja Buku dari Website Kami Silakan Order Melalui Nomor WhatsApp Berikut : 0856-4303-9249

Top