Teori

Showing 13–24 of 29 results


  • Buku ini memberikan bekal bagi pribadi-pribadi yang menginginkan pemahaman akan perwujudan nilai-nilai budi pekerti luhur dalam kehidupan sehari-hari. Ungkapan-ungkapan yang disajikan dalam buku ini dipilih, diolah, dan diselaraskan dengan kehidupan masa kini agar mudah dipahami khalayak bangsa Indonesia yang berbahasa ibu bahasa daerah dan berbahasa nasional bahasa Indonesia. Oleh karena itu buku ini ditulis dalam bahasa Indonesia dengan tidak meninggalkan ruh bahasa Jawa yang menjadi bahan pembentuk ungkapan-ungkapan dimaksud.

    Ungkapan dalam bahasa Jawa adalah salah satu sarana untuk mengajarkan dan melestarikan nilai-nilai moral dalam masyarakat Jawa. Ungkapan-ungkapan tsb sering bersifat simbolik dan mengandung makna filosofi yang tinggi tetapi tidak semua orang Jawa (terutama generasi muda) sanggup memaknainya. Oleh karena itu diperlukan penafsiran sebagaimana makna yang diidealkan oleh para pendahulu kita.

    Buku ini disusun untuk menjadi jembatan antara generasi tua dan generasi muda Jawa dalam rangka menghidupkan nilai-nilai luhur budaya Jawa khususnya nilai-nilai budi pekerti. Budi pekerti hanya bisa diturunkan melalui pelatihan dan pembiasaan, keteladanan dan srawung yang lugas. Penerapan budi pekerti menurut Ki Hajar Dewantara berada pada tataran diri pribadi, keluarga, kehidupan bersama (bebrayan), sesama manusia, dan pada tataran bangsa. Nilai-nilai budi pekerti (Jawa) itu sendiri banyak terdapat dalam ungkapan bahasa Jawa, oleh karena itu ungkapan bahasa Jawa perlu dihidupkan terus sepanjang masa.

    Menghidupkan nilai-nilai budi pekerti Jawa melalui penghayatan dan pemahaman makna ungkapan Jawa sangat penting karena etnik Jawa yang merupakan etnik terbesar di Indonesia kini menghadapi kendala yang serius. Kendala tersebut antara lain terputusnya tradisi pemakaian bahasa Jawa sehari-hari di kalangan generasi muda Jawa (terutama yang hidup di kota) khususnya dalam hal memahami ungkapan bahasa Jawa.

  • Kajian-kajian sosiologis terhadap kesusastraan sudah cukup lama dan tentu juga sudah cukup banyak. Kajian-kajian sosiologis yang bersifat struktural telah mampu memilah-milah dan mengidentifikasi relasi sebab-akibat, posisi-posisi, dan berbagai perubahan struktural dalam hubungan-hubungan antara pengarang, karya sastra, masyarakat, dan berbagai institusi lain yang relevan. Kajian tersebut telah menjadi mapan sehingga kebaruan analisis akan bergantung pada kebaruan yang terjadi pada lingkungan sosial dan cara ekspresi yang dikembangkan oleh pengarang. “Masalah-Masalah Dalam Kajian Sosiologi Sastra Posmarxis” menyajikan pembahasan dari berbagai sudut pandang dari tokoh-tokoh dalam teori sosiologi sastra dengan objek kajian karya sastra bahkan film. Pendekatan sosiologi sastra dari Agamben, Pierre Bourdieu, Terry Eagleton, Jacques Ranciere, Žižek dipadukan dalam satu buku dengan berbagai teori; Homo Sacer, Dominasi Maskulin, Kritik Materialisme Historis, Politik Sastra, dan Fantasi Ideologis. Dengan disajikannya berbagai pendekatan sosiologi sastra diharapkan mampu meramaikan khazanah kajian sastra baik dari sudut pandang pembaca, kritikus, maupun peneliti.

  • Perjalanan hidup seseorang secara relatif tidak ada yang sama. Dikatakan relatif dikarenakan terdapat berbagai lapis dan sifat, jenis,
    ataupun bentuk pengalaman yang dipersepsi (diinterenalisasi) secara partikular. Persoalan tersebut dapat dilihat dalam pemetaan struktur dan strukturisasi yang dialami seseorang. Untuk itu, tulisan ini akan memilih salah satu pensubjekan, yakni bagaimana seseorang mengalami persubjekan menjadi warga negara. Itu pun terbatas dalam melihat kondisi dan situasi di negara Indonesia.

    Tentu, sebagaimana diketahui, cukup banyak lapis-lapis ruang struktural (dalam ruangnya masing-masing), yang dialami seseorang. Bahkan berbagai lapis ruang tersebut dapat diidentifiasi dalam berbagai cara dan sudut pandang. Jika lapis tersebut bersifat “administrasi” maka kita mengenalnya sebagai lapis keluarga (rumah), kampung, desa (atau kelurahan, kecamatan, kebupaten/kota, propinsi, dan nasional/negara. Karakter setiap ruang juga berbeda, walaupun mungkin di tataran nasional terdapat sejumlah kesamaan.

  • Pada awalnya, penjelaskan “teori ruang antara” lebih dimaksudkan sebagai kekuatan bahwa seseorang berdiri dalam dua posisi. Seorang penyair akan lebih mendapatkan “penghargaan” jika dia juga seorang buruh. Paling tidak ada dua modal (dalam pengertian Bourdieu) berbeda yang dibawanya ketika ia baik menjadi penyair maupun menjadi buruh. Seorang pejabat akan jauh lebih berharga jika dia juga seorang seniman.

    Itu artinya, ruang antara tetap harus dipertahankan posisinya sebagai ruang pembatas itu sendiri. Ruang antara bukan bukan untuk dikuasai atau diduduki sehingga akan menciptakan banyak ruang antara dan semakin mengaburkan identitas, posisi-posisi, atau pun berbagai kategori entitas lainnya. Jika yang terjadi semakin beragamnya ruang antara, maka hal itu sekaligus akan mengaburkan penghargaan terhadap kateori-ketegori entitas.

  • Tentu saja, ada banyak buku yang dapat dijadikan referensi. Akan tetapi, untuk pembaca awam, buku R. Setiawan ini juga tak kalah menarik untuk dijadikan rujukan. Buku ini sangat rapi dalam memaparkan pemikiran dan tafsirannya mengenai pascakolonial sebagai suatu kajian kritis, mulai teori, metode, dan aplikasinya. Terlebih, tidak banyak juga referensi yang berbahasa Indonesia untuk kalangan akademisi Indonesia. Buku ini menawarkan teori-teori yang cukup berimbang. Dimulai dari Said dengan Orientalisme, Bhabha dengan ruang dan identitas, sampai Spivak dengan subalternitas. Ada juga pembahasan mengenai realisme magis, politik spasial, dan sastra perjalanan. Saya rasa, buku ini dapat dijadikan referensi yang sangat mujarab bagi mahasiswa sosial, politik, budaya, filsafat, dan sastra. Tentu saja, buku ini tidak akan saya tinggalkan di rak begitu saja.

     

     

    Dr. ‪Dwi Retnani Srinarwati

  • Paling tidak, selalu terdapat ruang bebas sebagai panggung alternatif dalam diri kita untuk terus menerus, memberi dan membuka peluang mencari dan memperbanyak panggung-panggung alternatif yang dimungkinkan oleh rasa dan gairah yang mampu terus bergembira, gairah dan rasa yang tidak terganggu untuk terus besenang-senang, baik sebagai cara mengelola kekuatan strukural, maupun sebagai cara hidup itu sendiri.

  • Munculnya karya baru sebuah e-book tentang Kartini dari Monash University yang berjudul Kartini The Complete Writings 1898-1904 Edited and Translated by Joost Cote (terbit pertama tahun 201 4 dan dishare ke publik dalam bentuk pdf buku tahun 2021 ) rupanya telah memantik nasionalisme Saudara Dr. Esti Ismawati, MPd dkk untuk kembali membaca, memahami, dan menelaah pemikiran RA Kartini yang memang sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia yang secara kodrat menjadi tempat lahirnya Kartini.

     

    Mengenang atau memperingati hari Kartini pada tanggal 21 April setiap tahunnya selayaknya bukan hanya menitikberatkan pada aspek lahiriah formal dengan berkonde, melainkan juga merenungkan secara jernih pikiran-pikiran apa sesungguhnya yang dibawa Kartimi dalam kehidupan singkatnya. Selama ini Kartini hanya dikenal dan dikenang sebagai pahlawan emansipasi Wanita di Indonesia. Soal apa persisnya pikiran-pikiran itu dan bagaimana Kartini merumuskannya belum pernah benar-benar diungkap kecuali untuk mereka yang berinisiatif mencari tahu sendiri. Semoga apa yang ditulis oleh Dr. Esti Ismawati, MPd dari Universitas Widya Dharma Klaten dan kawan-kawan dosen dari UGM, UNS, UNAIR, UNDIP, UIN Walisongo Semarang, Univ. Dian Nuswantoro Semarang, UMP Purwokerto, Universitas Tidar Magelang, UNSRI Palembang, IAIN Surakarta, Lembaga Budaya dan Adat Keraton Surakarta, UPS Tegal, STKIP PGRI Jombang, dan Guru SD di Bandung ini merupakan tulisan yang dapat dikatakan sebagai bentuk rekonstruksi dan hakikat perjuangan Kartini.

     

    Saya menyambut baik hadirnya buku KARTINI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF yang ditulis para dosen di tengah pandemic covid 1 9 yang hingga kini belum merada. Semangat mereka perlu mendapatkan apresiasi dari khalayak dengan membaca buku ini. Saya berpendapat bahwa buku ini merupakan “Sebuah buku yang sangat penting bagi sejarah perempuan Indonesia yang gigih mewujudkan emansipasi khususnya dalam bidang Pendidikan” yang layak untuk dibaca.

     

    Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian
    Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

     

    Prof. Ocky Karna Radjasa, MSc, PhD

  • Sastra anak selalu dipahami dengan indahnya warna-warni dunia anak, penggambaran cerita rakyat, dan tempat beraneka macam hewan diilustrasikan dengan sangat indah. Pluralitas cerita tersebut merupakan tujuan utama dalam menggaet penikmat sastra anak. Dalam buku ini konteks yang dibahas tidak hanya menampilkan bagaimana indahnya sastra anak melalui pluralitas ceritanya saja. Lebih daripada itu, berangkat dari berbagai isu-isu yang tertulis maupun tersirat dari setiap karya sastra anak yang semakin berkembang seperti kelas sosial, inklusivitas, gender, rasisme, bahkan orientasi seksual. Isu-isu tersebut menjadi topik utama dalam kajian setiap artikel dalam buku ini.

  • Pandangan Wellek dan Warren yang dalam studi sastra cenderung ditempatkan sebagai pendekatan objektif (Abrams, 1999) yang menempatkan sastra sebagai entitas yang otonom memiliki pengaruh yang kuat dalam studi sastra di Indonesia. Kuatnya pengaruh pendekatan ini tampaknya berkait erat dengan kenyataan bahwa studi kesastraan, khususnya di tingkat sarjana, menyatu dengan studi bahasa. Penyatuan itu terjadi karena studi sastra bertolak dari bahan dasar yang sama dengan studi bahasa, yaitu bunyi.

    Studi-studi yang menyatukan bahasa dan sastra masih terus berlangsung hingga kini, misalnya tampak dalam berbagai artikel yang dimuat di jurnal bahasa dan sastra, baik jurnal nasional maupun jurnal internasional. Jurnal nasional yang bisa disebut antara lain adalah  Adabiyyāt (diterbitkan oleh Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Yogyakarta), Litera (diterbitkan oleh Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta), juga jurnal-jurnal yang diterbitkan oleh Balai Bahasa di berbagai provinsi di Indonesia. Meskipun nama jurnalnya bahasa dan sastra (kadang tergabung juga dengan pengajarannya), harus diakui juga bahwa tidak semua artikel di jurnal-jurnal itu menempatkan bahasa dan sastra secara integratif, ada juga yang kompilatif. Jurnal internasional yang membahas bahasa dan sastra misalnya adalah Language and Literature: International Journal of Stylistics diterbitkan oleh SAGE Publications Ltd, Papers on Language and Literature diterbitkan oleh Southern Illinois University Press.

    Studi sastra yang merupakan bentuk pengembangan dari apa yang oleh Wellek dan Warren disebut pendekatan ekstrinsik, juga berkembang pesat. Di Indonesia, pendekatan ekstrinsik mula-mula dikenalkan oleh Sapardi Djoko Damono lewat buku Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978), kemudian diikuti oleh Faruk dengan terbitnya buku Sosiologi Sastra: Dari Strukturalisme Genetik sampai Postmodernisme (1994). Bertolak dari pendekatan tersebut, berkembang pendekatan-pendekatan ekstrinsik lainnya, baik yang tercakup dalam pendekatan sosiologi sastra, pendekatan psikologi sastra, pendekatan sastra feminis, pendekatan poststrukturalisme, pendekatan postkolonialisme, maupun pendekatan kebijakan sastra.

    Tulisan-tulisan yang terkumpul dalam buku ini berusaha mendekati karya sastra dengan berbagai perspektif yang semuanya dalam kategori pendekatan ekstrinsik. Dengan menggunakan pendekatan poskolonial, diintegrasikan dengan teori gastronomi, Bunga Tyas Ningrum mengamati fenomena kopi dalam hubungannya dengan sejarah kolonialisme yang tercatat dalam Babad Kopi Parahyangan. Fenomena kopi yang dinikmati sekarang ini, khususnya di Parahyangan, daerah pertama yang disebari biji kopi oleh pemerintah kolonial, tidak dapat dilepaskan dari sistem tanam paksa dan preanger stelsel yang menopangnya yang mengakibatkan penindasan dan penderitaan kaum pribumi di masa lalu. Gambaran itu diperkuat dengan penghadiran latar kolonial sangat terlihat di dalam novel ini seperti Batavia, Butenzorg, Mister Cornelis, dsb.

  • Adapun fenomena yang terungkap dalam sastra populer memberikan banyak informasi tentang tren gaya hidup populer pada zamannya, gaya hidup remaja metropolitan yang dipenuhi dengan hedonisme, pandangan pengarang terhadap gender; semangat zaman yang penuh dengan budaya instan dan kekinian, ideologi agama yang lunak dan gaul, serta refleksi respons dan gudang pengalaman penulis terhadap budaya populer remaja di Indonesia, termasuk di dalamnya sastra populer Islam.

    Salah satu yang menjadi daya tarik sastra populer Islam adalah tema-tema kehidupan sehari-hari yang dianggap sebagai tuntunan praktis keislaman (ready to use Islam) dalam mengarungi kehidupan. Narasi tersebut disuguhkan dengan paragraf-paragraf pendek, bahasa sederhana yang tidak menggurui, seperti bisikan halus seorang teman yang bersahabat, dan dilengkapi dengan ilustrasi yang menggugah. Novel islami yang banyak diminati tersebut, di antaranya, adalah Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan Bumi Cinta karya Habiburrahman El Shirazy; Surga yang Tak Dirindukan dan Sehidup Sesurga denganmu karya Asma Nadia; 99 Cahaya di Langit Eropa dan Bulan Terbelah di Langit Amerika karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra; Negeri 5 Menara karya A. Fuadi; serta beberapa karya Tere Liye, seperti, salah satunya, Hafalan Shalat Delisa. Karya-karya tersebut terus diproduksi dan dikonsumsi secara masif, bahkan diangkat menjadi film sehingga menarik jutaan penonton dan sekaligus meraup untung yang tidak sedikit. Karya-karya itulah yang di antaranya disajikan dalam buku ini sebagai hasil telaah dan pembacaan penulis.

  • Pada tingkat yang paling dasar, yaitu tingkat dunia pengalaman dan penghayatan, manusia bersentuhan dengan dunia, lingkungan alamiah dan kultural-manusiawinya secara langsung melalui kontak indrawi. Hubungan antarmanusia, misalnya, bersifat tatap muka. Begitu juga persentuhan antara manusia dengan alam. Pada masa berburu, manusia tinggal di hutan, bersentuhan langsung dengan binatang buruannya, mempertaruhkan keselamatan fisik dan nyawanya. Konsep romantik tentang cinta adalah semacam kerinduan akan kelangsungan itu, yaitu yang biasa dikenal sebagai “cinta pada pandangan pertama” yang di dalamnya tidak ada mediasi apa pun sebagai syaratnya, baik mediasi status sosial, kelas, ras, nasionalitas, geografis, usia, bahkan gender, ataupun apa yang disebut orang Jawa sebagai “bibit, bebet, bobot”.

    Namun, manusia cenderung juga merekam, menyimpan, dan mentransmisikan pengalaman langsung itu untuk pegangan dalam mengarungi dunia pengalaman berikutnya, baik bagi dirinya sendiri maupun generasi yang lebih kemudian, sehingga mereka dapat “belajar dari pengalaman”, tidak belajar sambil atau sesudah mengalami sendiri secara langsung. Untuk mengetahui bahwa ular itu beracun dan bisa mematikan, misalnya, manusia tidak perlu harus mengalami gigitan ular itu terlebih dahulu, melainkan cukup mempelajari dan mengetahuinya dari pengalaman manusia-manusia yang ada sebelumnya. Masyarakat, dengan keluasan apa pun, pada dasarnya terbentuk dari rekaman dan penyebaran terhadap akumulasi dari ruang ke ruang, waktu ke waktu, pengalaman yang demikian.

    Peter Berger dan Thomas Luckman, dalam buku mereka yang berjudul The Social Construction of Reality, memahami masyarakat secara fenomenologis dengan menggabungkan teori Weber dan Durkheim. Sesuai dengan filsafat fenomenologi, mereka beranggapan bahwa realitas, termasuk yang sosial, merupakan objek yang intensional. Atas dasar pengertian itu, mereka memulai pemahamannya dari sebuah pandangan mengenai kodrat manusia sebagai makhluk yang menjadi, bukan makhluk yang sudah atau langsung jadi begitu dilahirkan. Karena makhluk yang menjadi, manusia membentuk dirinya sendiri dan lingkungan yang sesuai dengan diri mereka atau sebaliknya. Dari interaksi dengan sesamanya dan dengan lingkungan alamiahnya, manusia melakukan tipifikasi terhadap diri dan lingkungannya untuk dijadikan pedoman dalam interaksi berikutnya, menjadikan endapan pengalaman subjektif dan bersituasi itu sebagai sesuatu yang berada di luar dan melampaui diri mereka, suatu tindakan eksternalisasi sehingga dipahami sebagai sesuatu yang objektif, yang berada di luar diri manusia, sehingga tidak bisa diubah oleh kehendak subjektif. Endapan pengalaman yang sudah dieksternalisasikan itu kemudian secara dialektik diinternalisasikan kembali kepada diri sehingga realitas yang semula sudah objektif menjadi realitas yang juga subjektif.

  • Ada ruang alternatif bagi subjek sebagai wilayah pemenuhan atas rasa kekurangan (lack) manusia. Begitu juga dalam sastra dan seni, pengarang atau seniman mengarahkan kita pada kenikmatan spiritual untuk memenuhi segala kekurangan (kasat mata) yang kita rasakan sebagai manusia. Perihal ini kita dapat menelisik lebih jauh dalam artikel kelima mengenai kenikmatan spiritualitas dalam pakeliran padat lakon Dewa Ruci Ki Mantep Soedarsono.

    Saya pernah menyinggung persoalan politik spiritualitas dalam tulisan saya di salah satu koran lokal di Yogyakarta, bahwa pada tataran subjek/per-orangan, spiritualitas menjadi ruang alternatif (cadangan) yang dapat dipakai ataupun tidak. Hal ini tentu bergantung pada tuntutan lingkungan sosial terdekat yang dialami sehari-hari. Spiritualitas dapat menjadi kontestasi persahabatan dan persaudaraan suatu komunitas, baik sebagai ajang persaingan internal, baik untuk tujuan-tujuan tertentu (negatif/positif).

    Merujuk perspektif Lacanian bahwa subjek pada dasarnya adalah subjek terbelah, serba kekurangan, dan tidak utuh. Tanpa sadar subjek terus mereproduksi fantasi-fantasi untuk memenuhi hasrat, untuk mencapai kesatuan eksistensial. Usaha pencarian ‘diri’ ini seringkali dipenuhi atau diaktualisasikan salah satunya dengan laku spiritual. Dalam Jawa ada upaya penyatuan diri subjek dengan ‘Yang Riil’ untuk menuju pada kesempurnaan atau kemanunggalan. Gagasan itu termanifestasikan dalam tradisi masyarakat Jawa sehingga mereka punya konsep laku spiritual yang disebut Manunggaling Kawula Gusti. Laku spiritual manusia Jawa tentu sebagai laku memenuhi keselarasan dan keharmonian hidup.

    Dunia manusia adalah dunia yang dikonstruksi atau dibentuk oleh aktivitasnya sendiri. Artinya, ia harus membentuk dunianya sendiri dalam hubungannya dengan dunia. Yang dibentuk adalah kebudayaannya. Tujuannya memberikan struktur-struktur kokoh yang sebelumnya tidak dimiliki secara biologis. Sebagai bentukan manusia, struktur-struktur memiliki kemungkinan berubah karena sifatnya yang tidak stabil (Berger, 1990: 6-8). Karena sifatnya yang tidak stabil, pandangan-pandangan mahasiswa dalam buku ini cukup representatif merespons kenyataan-kenyataan sosial dalam karya sastra beragam.

    Mengapa saya katakan ‘asimetri’? Hal penting asimetri adalah sifatnya yang tersebar luas di berbagai tingkat dan lapisan, memungkinkan perubahan terjadi berkali-kali. Begitu dengan sastra hal yang terlihat di permukaan teks (main text) belum tentu secara tersirat mengatakan hal yang sama. Bentuk teks sastra bukanlah sekadar hiasan melainkan sebagai perwujudan ideologis yang kuat (Jameson, 1971). Maka upaya pembacaan totalitas dibutuhkan untuk mengetahui yang tersembunyi dari struktur bawah teks. Kesadaran historis membantu mengungkap makna-makna yang termanifestasikan dalam karya sastra. Sejarah adalah struktur dasar memang menjadi sangat penting.


Showing 13–24 of 29 results

logo-gambang-footer

Jika Anda Merasa Kesusahan dalam Berbelanja Buku dari Website Kami Silakan Order Melalui Nomor WhatsApp Berikut : 0856-4303-9249

Top