Teori

Showing 1–12 of 21 results


  • Bagian pertama buku ini mengulas tentang komposisi, transmisi, dan fungsi sastra lisan. Teori kelisanan yang dikemukakan Finnegan (1992) menyebut perihal komposisi, transmisi, pertunjukan, dan penonton. Komposisi, meminjam istilah dari Parry dan Lord (1974), terbentuk saat pertunjukan berlangsung dengan memanfaatkan formula yang dipelajari dari serangkaian latihan dan berbagai pertunjukan yang dilakukan pelantun lainnya. Melengkapi pernyataan Parry dan Lord, Finnegan (1977) mengatakan bahwa proses komposisi juga bisa terbentuk sebelum dan sedikit terpisah dari pertunjukan. Dengan kata lain, komposisi dilihat tidak hanya yang terjadi saat pertunjukan berlangsung, tetapi juga dapat dilihat terpisah dari pertunjukan, seperti yang berupa persiapan sebelum pertunjukan dimulai.

    Bagian kedua buku ini mengungkap tentang religiositas dalam sastra lisan.  Glock dan Stark (1965, 1969) mengemukakan bahwa terdapat lima dimensi religiositas, yakni (1) dimensi kepercayaan, (2) dimensi praktis, (3) dimensi pengalaman, (4) dimensi pengetahuan, dan (5) dimensi konsekuensi. Dalam sastra lisan, biasanya terkandung satu atau lebih dimensi religiositas.  Dengan demikian, sastra lisan memiliki fungsi religi.

    Bagian ketiga, membahas tentang posisi perempuan dalam sastra lisan.  Gender yang dipahami sebagai konstruksi sosial tentang relasi antara perempuan dan laki-laki tidak dengan sendirinya terhapus dari kehidupan masyarakat yang patriarkis. Konstruksi sosial tersebut sering memunculkan ketidakadilan gender dan relasi yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki. Kaum perempuan banyak yang mengalami marjinalisasi, subordinasi, stereotip, tindakan kekerasan, dan beban kerja lebih. Masalah-masalah tersebut kemudian menjadi inspirasi untuk diangkat dalam sastra lisan, bahkan permasalahan yang berkaitan dengan relasi gender tersebut ditemukan dalam beberapa sastra lisan. Terkait dengan hal tersebut, Norton (dalam Bunanta, 1998: 53) mengatakan bahwa ada anggapan dari kaum feminis bahwa cerita rakyat bersifat seksis, yakni memiliki gambaran stereotip pada tokoh-tokoh perempuan

    Bagian keempat, “Jejak Kolonial dalam Sastra Lisan” merefleksikan rekam jejak peristiwa pada masa penjajahan Belanda dan Jepang dalam sastra lisan di Indonesia. Sastra lisan merupakan bagian dari tradisi lisan. Menurut Kuntowijoyo (2003), tradisi lisan merupakan salah satu sumber sejarah yang merekam masa lampau kehidupan manusia. Vansina (1985) menyatakan bahwa tradisi lisan, seperti tuturan rakyat, hikayat, dan cerita rakyat berpotensi menjadi sejarah. Sastra lisan berkaitan erat dengan sejarah karena sastra lisan dapat dijadikan sebagai sarana utama dalam penyampaian fakta-fakta sejarah (Muslimin dan Utami, 2020). Oleh karena itu, pelacakan tehadap fakta-fakta sejarah yang terkandung dalam sastra lisan perlu dilakukan untuk mengungkapkan jejak-jejak sejarah dalam masyarakat pada masa lampau, termasuk jejak-jejak kolonial di Indonesia pada zaman dahulu.

  • Mengapa saya memberikan judul Bahasa Inggris itu mudah, dikarenakan dua hal penting. Pertama, kita sebagai orang Indonesia dalam kurikulum pendidikan nasional kita sudah cukup dalam mempelajari bahasa Inggris, sejak tingkat pendidikan dasar hingga jenjang universitas. Kedua, Materi bahasa Inggris tidak mengalami perubahan yang signifian dalam waktu yang cepat. Materi bahasa Inggris masih mengenai, pengucapan, tenses, grammar. Masalah utama di Indonesia adalah bagaimana kita bisa berbicara bahasa Inggris. Kami menjawab dengan tiga hal tentang pertanyaan tersebut.

    Pertama, mulai berlatih pengucapan, sebab pengucapan bahasa Inggris berbeda dengan pengucapan bahasa Indonesia. Artinya perbedaan pengucapan akan berdampak pada perbedaan arti dalam bahasa Inggris. Hal lain adalah disaat kita melatih pengucapaan disaat itu pula kita mulai merubah kebiasaan kita dalam bahasa Inggris dari passive menjadi active.

    Kedua, mulai berlatih penyusunan kalimat. Penyusunan kalimat dalam bahasa Inggris bernama tenses. Hal yang utama dari tenses adalah perubahan kata kerja. Buku ini mengulas ada lima tenses dan hal tersebut adalah tenses dasar bagi seseorang yang ingin berbicara bahasa Inggris.

    Ketiga, Jadikan kebiasaaan. Apakah artinya? Kami ingin mengatakan dengan sederhana, selain buku ini dibaca dan mengerjakan latihan, hal yang juga penting adalah mulailah berbicara bahasa Inggris. Setiap hal yang mengenai bahasa Inggris mulai dipelajari lebih serius. Di zaman yang serba canggih belajar bukan hal yang sulit dan membosankan. Melalui menonton youtube yang berbahasa Inggris seperti news, film, dan lagu. Kita sudah mulai membiasakan bahasa Inggris dalam kehidupan kita. Maka, tidak ada alasan untuk mengatakan bahasa Inggris itu sulit, selama kita belum mencoba melangkah untuk berbicara bahasa Inggris. Selamat mencoba, pasti berhasil.

  • Terdapat kekuatan besar yang mengatur dan beroperasi dalam kebudayaan global, termasuk kebudayaan kita di dalamnya. Kekuatan tersebut, dalam salah satu versinya disebut biopower, suatu kekuasaan (dan kekuatan), yakni “organ hidup” dalam tubuh kebudayaan yang melahirkan berbagai pemikiran, tindakan, bahkan hingga ke hal-hal perasaan. Berbagai ideologi yang bersaing, dan terutama yang dominan, merupakan efek lanjutan biopower. Terbentuklah suatu kebudayaan yang asimetris, hierarkis, dan eksploitatif.

     

    Dalam situasi tersebut, kita perlu mendorong dan memperkuat biokultural, energi hidup yang selayaknya dijadikan substansi utama tubuh kebudayaan kita. Suatu energi positif yang hidup dalam pribadi kita masing-masing. Energi rasa senang, suka, sayang, gembira, dan cinta, yang diharapkan dapat menjadi pesaing berhadapan dengan kekuatan lanjutan dan implikasi biopower. Dalam semangat tersebutlah berbagai esai yang terkumpul dalam buku ini saya tulis dan persembahkan.

  • Pendidikan karakter menjadi trending topik dalam pemerintah sekarang karena disadari bahwa membangun karakter tidak mungkin dilepaskan dari maju mundurnya sebuah bangsa dan menjadi amanat para faunding fathers kita untuk diwujudkan. Pendidikan karakter dalam kurikulum sekolah tidak dibelajarkan secara mandiri sebagai mata pelajaran tetapi dimasukkan ke dalam seluruh mata pelajaran yang sudah ada, dalam hal ini Pelajaran Sastra Indonesia. Pemilihan bahan ajar sastra berbasis karakter dalam buku ini sudah melalui desain yang panjang, dimulai dari studi pendahuluan yang bertujuan melihat kemampuan siswa, dilanjutkan need analysis, dan workshop yang diselenggarakan di SMKN II Klaten pada tanggal 19 Mei 2015. Diharapkan buku sastra Indonesia berbasis karakter yang disusun ini dapat dioperasionalkan secara mudah dan menyenangkan. Seluruh bahan ajar yang dipilih di dalam buku ini disesuaikan dengan karakter yang akan dibelajarkan. Pada bagian akhir buku ini juga disertakan lampiran bahan ajar alternatif untuk sastra Indonesia SMA, SMK, MA.

  • Naskah nomor 31, “Bualan Warto Kemplung, Cerita Bersambung Mustofa Abdul Wahab”, adalah Pemenang Pertama. Karya kritik sastra ini menyoroti strategi dan bentuk naratif novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan (2017), dengan fokus sudut pandang penceritaan oleh dua narator. Pengulas menunjukkan bahwa peristiwa pembacaan adalah upaya untuk memasuki suatu narasi sekaligus proses untuk memahami bagaimana “realitas” terbentuk dalam narasi, baik narasi versi narator pertama maupun yang kedua. Masing-masing versi saling berkelindan sehingga pembaca digiring agar tidak lagi mempersoalkan “realitas” mana yang lebih mungkin untuk dipercayai. Analisis naratologisnya tidak hanya mengungkapkan kepiawaian dan kebaruan estetik dari karya yang dikritik, melainkan juga membuatnya berhasil mengungkapkan posisi pasca-kolonial dan pasca-modern karya tersebut sebagai karya yang melawan lupa, menjadi penulisan sejarah alternatif dari sejarah resmi, dan sekaligus sebuah karya yang sadar-diri atau metafiksi.

    Kekuatannya yang lain adalah kemampuan karya kritik ini menerapkan berbagai teori yang menjadi dasar perspektifnya dengan sangat cermat tanpa membuat teksnya mengalami penindasan. Karya kritik ini memperlakukan teori secara terbuka dan membiarkannya membangun hubungan dialektik dengan teks sehingga ia berhasil mengungkap kebaruan karya yang diteliti dan sekaligus menemukan kontribusi karya terhadap kerangka teori yang ada. Kemampuan kritik ini dalam menempatkan Dawuk dalam konteks sejarah sastra Indonesia dan bahkan dunia adalah kekuatan lainnya yang patut digarisbawahi. Hal itu tidak hanya menunjukkan bahwa sang penulis mempunyai wawasan sejarah sastra yang memadai, melainkan juga memperlihatkan kemampuannya menggunakan wawasan tersebut dengan tepat.[]

     

    Faruk, Nirwan Dewanto, Wicaksono Adi

    Pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2019

    (Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 4 Desember 2019)

  • Di saat seperti sekarang ini dimana isu tentang rasisme dan intoleransi merebak di tingkat nasional maupun global, maka diperlukan suatu usaha nyata untuk menanggulanginya. Beberapa cara dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, salah satunya adalah melalui pendekatan kebudayaan. Seiring dengan itu, terbitnya hasil penelitian “Kearifan Lokal Jawa dalam Wedhatama” karya Dr. Esti Ismawati, MPd. dan Dr. Warsito, MPd, jelas mempunyai relevansi yang kuat untuk mengatasi berbagai permasalahan bangsa Indonesia termasuk isu-isu tersebut di atas.

    KRT Darajadi Gondodiprojo , kerabat Mangkunegara IV, Pengageng Sasono Gondo Puri Surakarta.

  • Serat Wulang Reh karya Paku Buwana IV digubah dalam bentuk puisi Jawa, tepatnya  tembang macapat berisi 13 pupuh, merupakan masterpiece kebudayaan Jawa yang ditulis tahun 1768-1820 yang berisi nilai-nilai pendidikan yang berasal dari ajaran agama Islam yang meliputi tasawuf, akhlak, sosial dan politik dengan ajaran moral antara lain ririh, rereh, ati-ati, deduga, prayoga, watara dan reringan, menjauhi sikap adigang adigung adiguna.  Ada pun isi ringkas Wulang Reh sesuai dengan bait-baitnya:

    1. Piwulang caranipun tiyang milih guru
    2. Piwulang caranipun tiyang milih sesrawungan
    3. Piwulang sampun ngantow sanget-sanget kapiyandel nggadahi wewatakan adigang, adigung, adiguna.
    4. Piwulang bab tatakrama kanthi lelambaran prabot: deduga, prayoga, watara lan reringa; bedanipun awon lan sae, lan caranipun neniteni wewatekaning manungsa.
    5. Piwulang bab dunungin sembah lelima: bapa biyung, maratua, sedulur tuwo, guru, Gusti.
    6. Piwulang bab cara tiyang suwita ing ratu / negari
    7. Piwulang bab ngendaleni ubaling hawa nepsu
    8. Piwulang bab luhur lan raosing bebuden
    9. Piwulang bab pangrengkuhing sederek & cara maos serat waosan
    10. Piwulang bab dununging panarimah
    11. Piwulang bab warna-warni: agami, pakareman, tepa salira, raharjaning nigari
    12. Tepa tuladha polaning lelampahan, wasiyat leluhur
    13. Piweling & pamujining sang pujangga.
  • Beberapa kali saya diberi kesempatan menjadi saksi ahli bahasa untuk sejumlah kasus hukum. Kasus hukum yang dimaksud adalah kasus-kasus yang muncul sebagai akibat dari tindakan berbahasa, seperti pencemaran nama baik, penistaan agama, penghinaan terhadap suku tertentu, pelecehan atau penghujatan terhadap ideologi negara, dan beberapa kasus lainnya. Berbagai masalah tindakan berbahasa tersebut kemudian diperkarakan dan menjadi masalah hukum sebagai kasus kejahatan berbahasa.

    Dalam bebeberapa kesempatan yang berbeda, beberapa kali pula saya mendapat sejumlah pertanyaan yang lebih kurang sama. Pertanyaan itu antara lain: “apa hubungan bahasa dengan hukum”, “apa hubungan bahasa dengan politik”, “apa hubungan bahasa dengan etika”, “apa hubungan bahasa dengan perilaku”,
    “apa hubungan bahasa dengan negara”, hingga “apa hubungan perkara pidana dengan persoalan bahasa”. Salah satu pertanyaan yang paling serius tentulah bagaimana mungkin tindakan berbahasa dapat menjadi tindakan kejahatan berbahasa.

    Untuk menjelaskan hubungan antara bahasa dengan hukum, Shuy (2008: 4—5) mengatakan bahwa hukum adalah bahasa. Dengan demikian, praktisi hukum sebenarnya memiliki implikasi sebagai praktisi bahasa. Akan tetapi, bukannya memiliki pengetahuan tentang aspek-aspek bahasa, praktisi hukum memfokuskan kemampuan dan pengetahuannya pada aspek-aspek hukum dan bukan pada bahasa. Selanjutnya, menurut Shuy, banyak ahli hukum tidak sadar pada kontribusi kebahasaan dan penyelesaian dalam permasalahan hukum. Di beberapa negara, hubungan antara ahli bahasa dengan hukum terlihat sangat kompleks. Sebagai contoh, pengadilan Afrika Selatan pernah meminta seorang ahli bahasa untuk menyelesaikan kasus perselisihan merk dagang (Hubbard, 1992; Sanderson, 2007), isu-isu semantik yang berkaitan dengan nama baik dan kasus-kasus mengenai identifikasi otoritas (Hubbard, 1992; 1994; 1995; Kotzѐ; 2007; 2010). Sementara itu, tradisi tersebut jarang terjadi di Amerika dan Eropa. Hal itu disebabkan oleh kurangnya reportase dari ahli bahasa tentang hubungan bahasa dengan hukum, dan kepercayadirian aparat hukum dalam pengetahuan bahasa.

    Pengadilan menggunakan rangkaian teori untuk menginterpretasikan undang-undang dan mengaitkannya pada kasus yang dihadapi. Teori-teori tersebut  menyediakan beberapa petunjuk untuk menuntun aparatus pengadilan dalam menyelesaikan pemaknaan kata-kata (Carney, 2014:327). Permasalahannya adalah banyak praktik-praktik hukum yang masih menginterpretasikan kata-kata hanya berdasar dengan makna kamus (leksikal) atau kasus-kasus yang pernah terjadi (Botha, 1998:103; Hutton, 2009: 86—87; Mouritsen, 2010; Solan, 1993:50; Thumma dan Kirchmeier, 1999). Sementara itu, kamus sangatlah terbatas sehingga memerlukan studi lebih lanjut sebanyak alat-alat kebahasaan dalam pencarian makna yang kompleks, sedangkan kasus-kasus yang pernah terjadi tidak bisa dijadikan pedoman utama dalam memberikan keputusan karena tidak selalu bersumber dari isu bahasa dan tidak selamanya mencerahkan masalah-masalah kebahasaan (Carney, 2012).

    Permasalahan-permasalahan di atas sebenarnya juga belum selesai terjawab dalam konteks pengadilan Indonesia. Hal itu menyebabkan timbulnya pertanyaan-pertanyaan lain yang cukup sering dilontarkan seperti “bagaimana Anda bisa menjelaskan adanya kesalahan dalam kasus ini menurut perspektif ilmu bahasa”, “bagaimana Anda bisa menjelaskan bahwa ada kejahatan dalam berbahasa”, “teori kebahasaan apa yang Anda gunakan untuk menjelaskan itu”, “bagaimana kewenangan ilmu bahasa bisa menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang tidak baik”, bahkan pertanyaan-pertanyaan yang terkadang terkesan kurang relevan.

    Dalam waktu-waktu tertentu, saya menjawabnya secara spontan atau menjelaskannya secara sekilas. Jawaban spontan, misalnya, bahwa semua hal dalam cara hidup kita dapat disampaikan melalui berbahasa. Kita bisa memahami suatu masalah jika kita menjelaskannya dalam bahasa. Kita menyampaikan aspirasi, pikiran, ide, rencana, dan melaporkan sesuatu dalam tindakan berbahasa. Kita bisa menyelesaikan suatu masalah dan dapat saling memahami dengan menggunakan bahasa dan tindakan berbahasa.

    Pada kesempatan lain, saya menjawab seperti ini: berkomunikasi itu meliputi tiga hal berbahasa, yakni komunikasi yang bersifat verbal (baik tertulis maupun lisan), secara visual (dan audio), dan secara kinetik (gerakan tubuh atau gerakan organ tubuh). Hal yang ingin saya tekankan adalah bahwa berbahasa itu merupakan suatu tindakan yang meliputi tiga hal, yakni berbicara (bertutur), menulis dan menyampaikan pesan lewat gambar (bisa jadi dengan dukungan suara tertentu), atau mengepalkan tangan, menutup bibir dengan telunjuk jari, dan sebagainya. Tindakan lain, semisal kita melakukan perbuatan dalam kata kerja (aktif) sebagai cara berbahasa kinetik, seperti berjalan, berlari, memukul, menendang, dan sebagainya.

    Ilmu-ilmu linguistik, pada umumnya, lebih memusatkan objek material bahasa sebagai bahasa tertulis, atau sesuatu yang harus dan perlu ditulis sebagai bahan atau data kajiannya. Pada akhirnya, berbagai gerakan tubuh, sebagai bahan yang kemudian dikaji, perlu dideskripsikan atau ditulis. Akan tetapi, hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa tindakan tubuh dapat menjadi data langsung dalam memahami atau mengkaji berbagai peristiwa. Kini, berbagai kejadian atau peristiwa cukup banyak terekam secara langsung, sehingga rekaman tersebut dapat dijadikan bahan atau objek material kajian kebahasaan.

    Saya sering tidak puas dengan jawaban saya ketika ditanya tentang berbagai hal mengenai kebahasaan. Itulah sebabnya, saya berpikir untuk menjawabnya secara tertulis, dengan harapan, saya bisa menjawabnya secara lebih bertanggung jawab. Dalam kesempatan ini, saya akan menjelaskan beberapa hal. Pertama, apa itu bahasa dan berbagai implikasi terkait dengan cara berbahasa. Kedua, masalah prasangka dan bias berbahasa. Ketiga, masalah mengapa banyak cara berbahasa memperlihatkan kesalahan, terutama kesalahan teknis. Keempat, masalah berbahasa sebagai masalah etika (moral), dan kesalahan sosial lainya.

    Kelima, masalah kesalahan berbahasa bukan saja meliputi kesalahan etik dan/atau moral, tetapi merupakan tindakan kejahatan berbahasa. Seperti telah disinggung sebelumnya, kasus masalah bahasa sudah sering masuk ke ranah hukum, baik itu kasus perbuatan tidak menyenangkan, pembohongan, penghinaan, pelecehan, penistaan,  pencemaran nama baik, fitnah, hasutan, adu domba, makar, maupun tindakan berbahasa lainnya yang dinilai melanggar hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

    Keenam, masalah bagaimana menempatkan bahasa sebagai berwacana dan masalah perbedaan penafsiran. Berbahasa sebagai berwacana merupakan tindakan berbahasa yang ditempatkan sebagai tindakan bermotif dan bertujuan. Dalam posisi bermotif dan bertujuan itu, tindakan berbahasa dikontestasikan dengan berbagai tindakan berbahasa lainnya. Seperti munculnya masalah perbedaan penafsiran dalam rangka menjelaskan mengapa terjadi perbedaan penafsiran. Bagaimana berbagai perbedaan penafsiran tersebut dapat diuji untuk mengetahui mana penafsiran yang paling mendekati kesepakatan untuk dianggap benar.

    Kajian dalam buku ini tidak membahas KUHP, misalnya yang terkait dengan UU ITE, atau UU tentang berita bohong, penghinaan, pencemaran nama baik, atau makar, dan lain-lain. Sebenarnya, walaupun bahasa hukum memiliki kaidah tersendiri, bahasa undang-undang juga merupakan hasil dari suatu peristiwa berbahasa. Kajian di sini lebih berfokus pada penggunaan bahasa sebagai peristiwa dan tindakan berbahasa dalam keseharian. Sementara itu, KUHP dan UU lainnya, bukan wacana melainkan menjadi ketetapan hukum. Memang, apapun itu terkait dengan UU, perlu selalu dicermati dan dikritisi agar UU menjadi lebih baik dan benar.

    Untuk menjelaskan persoalan di atas, sesuai kebutuhan untuk menjawab beberapa persoalan yang relevan, saya akan menggunakan konsep-konsep linguistik forensik secara umum. Linguistik forensik, merupakan sub-disiplin dari linguistik terapan dan para pioner yang mengaplikasikannya ke ranah hukum, terutama dalam ranah pengadilan. Seperti halnya Cunningham, Levi, Green dan Kaplan (1994:1568) mengutarakan:

    … adalah benar bahwa linguistik atau ilmu bahasa dapat dibuat menjadi pertimbangan dalam pencarian dan analisis pada tataran ketakterbatasan varietas dari ujaran kebahasaan. Metode-metode dalam eksplorasi yang dilakukan oleh para ahli bahasa hingga membuat progres saintifik pada beberapa dekade dapat menentukan proses pencarian dan analisis pada isu-isu tekstual yang kompleks dan kasus-kasus yang susah dipahami.

    Untuk melengkapi penjelasan lebih lanjut, saya menggunakan teori-teori semiotik, hermeneutik, dan kewacanaan. Namun, payung pendekatan utama yang saya pakai adalah pendekatan struktural dan pascastruktural. Kedua pendekatan tersebut sekaligus saya pakai karena saling melengkapi.  Asumsi pendekatan struktural adalah terdapatnya kuasa struktur yang membentuk dan menentukan subjek berbahasa (lihat Boye dan Engberg-Pedersen, 2020: 128–129). Sementara itu, pendekatan pascastruktural berasumsi bahwa wacana, dalam posisi struktural subjek (seorang manusia), ikut membentuk dan mengkonstitusi subjek berbahasa (lihat Pavel, 1989: 90). Beberapa ilmu bantu lain, sebagai rangkaian dari ilmu-ilmu sosial-humaniora, digunakan untuk melengkapi diskusi, seperti beberapa literatur  sejarah, antropologi, psikologi, sosiologi, politik. Buku-buku bantu itu terutama ketika menempatkan bahasa sebagai objek materialnya.

    Data-data yang akan dibicarakan berupa data yang hanya sebagai contoh, ada data primer yang saya dapatkan (tidak saya sebutkan sumbernya karena beberapa alasan), dan terdapat beberapa data yang sifatnya umum. Sebagai misal, uraian membahas implikasi bias berbahasa, maka data yang dipakai adalah data yang sudah beredar di kalangan masyarakat. Sebagian data diambil di media sosial, dan mohon izinnya, tidak disebutkan sumbernya, karena data di media sosial itu juga seperti “milik umum”.

    Sebagai sistematika, sesuai dengan urutan masalah, masalah bahasa, berbahasa, dan bias berbahasa dijelaskan dalam bab 2 dan bab 3. Masalah kesalahan teknis dan nonteknis berbahasa pada bab 4. Berbahasa yang mengandung kesalahan  dan ketika bagaimana cara berbahasa, dengan kandungan tertentu, dengan ekspresi tertentu, bisa masuk ke dalam ranah apa yang disebutkan sebagai kejahatan berbahasa dalam bab 5 dan bab 6. Sementara itu, bab 7 menjelaskan perihal berbahasa sebagai berwacana dan masalah-masalah penafsiran tentang kewacanaan tersebut.

    Dalam kesempatan ini, perkenankan saya melampirkan tulisan tahun 2013 yang berjudul “Mengkatai Kata-Kata”, yakni tentang bahaya berbahasa jika kita tidak hati-hati dan waspada dalam menggunakan kata-kata. Walaupun sebagai lampiran, tulisan itu diletakkan di bab 8. Dalam tulisan tersebut, secara eksplisit saya bertanya, “Begitu berbahayakah kata-kata? Begitu melukaikah kata-kata? Kenapa orang bisa berbunuhan karena kata-kata?”

  • Berbagai tipe karakteristik peranakan Tionghoa yang akhirnya menetap dan beranak-pinak di Indonesia itu mempengaruhi pula ideologi yang secara implisit tergambar dalam karya sastra yang mereka tulis. Selain  pergulatan hidup yang keras sebagai perantau di masa pendudukan  Belanda, mereka juga mendapatkan diskriminasi, persaingan dan gesekan antaretnis, antarbangsa, dan persaingan sesama diaspora Tionghoa sendiri. Problem dalam masyarakat yang heterogen  dan isu identitas  yang hibrida ini sangat kental terefleksikan dalam karya-karya mereka.

    Buku ini menampilkan berbagai perspektif yang menceritakan dinamika masyarakat Tionghoa dan pribumi pada masa puncak kejayaan kesusastraan peranakan Tionghoa di Hindia Belanda. Sedikitnya ada 13 tulisan  dalam buku ini yang menganalisis dinamika masyarakat Tionghoa, bumiputera, dan pemerintah kolonial Belanda sebelum kemerdekaan Indonesia dalam karya sastra.

  • Buku ini memberikan bekal bagi pribadi-pribadi yang menginginkan pemahaman akan perwujudan nilai-nilai budi pekerti luhur dalam kehidupan sehari-hari. Ungkapan-ungkapan yang disajikan dalam buku ini dipilih, diolah, dan diselaraskan dengan kehidupan masa kini agar mudah dipahami khalayak bangsa Indonesia yang berbahasa ibu bahasa daerah dan berbahasa nasional bahasa Indonesia. Oleh karena itu buku ini ditulis dalam bahasa Indonesia dengan tidak meninggalkan ruh bahasa Jawa yang menjadi bahan pembentuk ungkapan-ungkapan dimaksud.

    Ungkapan dalam bahasa Jawa adalah salah satu sarana untuk mengajarkan dan melestarikan nilai-nilai moral dalam masyarakat Jawa. Ungkapan-ungkapan tsb sering bersifat simbolik dan mengandung makna filosofi yang tinggi tetapi tidak semua orang Jawa (terutama generasi muda) sanggup memaknainya. Oleh karena itu diperlukan penafsiran sebagaimana makna yang diidealkan oleh para pendahulu kita.

    Buku ini disusun untuk menjadi jembatan antara generasi tua dan generasi muda Jawa dalam rangka menghidupkan nilai-nilai luhur budaya Jawa khususnya nilai-nilai budi pekerti. Budi pekerti hanya bisa diturunkan melalui pelatihan dan pembiasaan, keteladanan dan srawung yang lugas. Penerapan budi pekerti menurut Ki Hajar Dewantara berada pada tataran diri pribadi, keluarga, kehidupan bersama (bebrayan), sesama manusia, dan pada tataran bangsa. Nilai-nilai budi pekerti (Jawa) itu sendiri banyak terdapat dalam ungkapan bahasa Jawa, oleh karena itu ungkapan bahasa Jawa perlu dihidupkan terus sepanjang masa.

    Menghidupkan nilai-nilai budi pekerti Jawa melalui penghayatan dan pemahaman makna ungkapan Jawa sangat penting karena etnik Jawa yang merupakan etnik terbesar di Indonesia kini menghadapi kendala yang serius. Kendala tersebut antara lain terputusnya tradisi pemakaian bahasa Jawa sehari-hari di kalangan generasi muda Jawa (terutama yang hidup di kota) khususnya dalam hal memahami ungkapan bahasa Jawa.

  • Kajian-kajian sosiologis terhadap kesusastraan sudah cukup lama dan tentu juga sudah cukup banyak. Kajian-kajian sosiologis yang bersifat struktural telah mampu memilah-milah dan mengidentifikasi relasi sebab-akibat, posisi-posisi, dan berbagai perubahan struktural dalam hubungan-hubungan antara pengarang, karya sastra, masyarakat, dan berbagai institusi lain yang relevan. Kajian tersebut telah menjadi mapan sehingga kebaruan analisis akan bergantung pada kebaruan yang terjadi pada lingkungan sosial dan cara ekspresi yang dikembangkan oleh pengarang. “Masalah-Masalah Dalam Kajian Sosiologi Sastra Posmarxis” menyajikan pembahasan dari berbagai sudut pandang dari tokoh-tokoh dalam teori sosiologi sastra dengan objek kajian karya sastra bahkan film. Pendekatan sosiologi sastra dari Agamben, Pierre Bourdieu, Terry Eagleton, Jacques Ranciere, Žižek dipadukan dalam satu buku dengan berbagai teori; Homo Sacer, Dominasi Maskulin, Kritik Materialisme Historis, Politik Sastra, dan Fantasi Ideologis. Dengan disajikannya berbagai pendekatan sosiologi sastra diharapkan mampu meramaikan khazanah kajian sastra baik dari sudut pandang pembaca, kritikus, maupun peneliti.

  • Perjalanan hidup seseorang secara relatif tidak ada yang sama. Dikatakan relatif dikarenakan terdapat berbagai lapis dan sifat, jenis,
    ataupun bentuk pengalaman yang dipersepsi (diinterenalisasi) secara partikular. Persoalan tersebut dapat dilihat dalam pemetaan struktur dan strukturisasi yang dialami seseorang. Untuk itu, tulisan ini akan memilih salah satu pensubjekan, yakni bagaimana seseorang mengalami persubjekan menjadi warga negara. Itu pun terbatas dalam melihat kondisi dan situasi di negara Indonesia.

    Tentu, sebagaimana diketahui, cukup banyak lapis-lapis ruang struktural (dalam ruangnya masing-masing), yang dialami seseorang. Bahkan berbagai lapis ruang tersebut dapat diidentifiasi dalam berbagai cara dan sudut pandang. Jika lapis tersebut bersifat “administrasi” maka kita mengenalnya sebagai lapis keluarga (rumah), kampung, desa (atau kelurahan, kecamatan, kebupaten/kota, propinsi, dan nasional/negara. Karakter setiap ruang juga berbeda, walaupun mungkin di tataran nasional terdapat sejumlah kesamaan.


Showing 1–12 of 21 results

logo-gambang-footer

Jika Anda Merasa Kesusahan dalam Berbelanja Buku dari Website Kami Silakan Order Melalui Nomor WhatsApp Berikut : 0856-4303-9249

Top