Hikayat Anak-anak Pendosa memiliki sebuah eksplorasi yang berani dan menjanjikan. Tia Setiadi – Penyair dan Kritikus Sastra
Banyak hal yang harus diperhitungkan di dalam menulis puisi. Tidak sekedar bergagah-gagahan dengan kata, atau menggarap tema “Nyeleneh” puisi harus memiliki karakter sendiri. Karakter di mana kita bisa membaca perjalanan penulisnya. Puisi-puisi dalam buku HikayatAnak-anak Pendosa cukup nikmat untuk dibaca. Waktulah kelak yang akan mengantar penyairnya untuk di uji. Apakah mampu bertahan dan makin kokoh? Oka Rusmini – Novelis dan Penyair
Buku puisi Muhammad de Putra, Hikayat Anak-anak Pendosa, akan menjadi buku puisi yang saya simpan di rak khusus bersama buku-buku puisi lain dari penyair Indonesia yang saya sukai. Cecep Syamsul Hari – Penyair
Percayalah, di balik laku spiritual yang mesti ditempuhnya, di balik napas puisinya yang selalu menyiratkan pemahamannya akan kosmologi Hindu-Bali, Mira hanyalah manusia biasa. Perempuan kurus dan cerewet ini bagi saya adalah perempuan konyol, lengkap dengan kisah hidup konyolnya. Salah satu pesan Mira kepada pembaca adalah: bacalah Pinara Pitu sambil bakar dupa dan jangan pernah membaca Pinara Pitu tanpa ditemani secangkir kopi. Konyol, bukan? Sekonyol dia yang sedang asyik-asyiknya belajar menenggak kopi, sekonyong-konyong bila kopi adalah hal paling memabukkan di bumi selain puisi.
(Komang Ira Puspitaningsih dalam Epilog Pinara Pitu)
Esti memotret hidup dengan bahasa dan ia memakaikan gambarnya lewat katanya—bukan lewat warnanya. Tapi toh titik itu kembali lagi: lewat kata kita menghidupi warna yang diambil Esti dari dalam, katanya, tengahnya hidup dan itulah Mijil yang lagi menurunkan dirinya, dari tembang kesunyian hidup manusia, manusia siapa saja dan manusia mana saja, kita beroleh kabar agak terang bahwa, kata Esti, tengahnya dunia adalah laku atau diri atau, apa saja hendak kita isikan, dunia nasihat yang keluar dari gaibnya dunia Mijil juga. Esti mengatakan potretnya ini lewat nada dari warna gambar hidupnya dan keluarlah sesuatu pernyataan normatif atas hidup yang berlaku untuk siapa saja, tapi sukar itu. Esti: tengahnya laku//terhormat dan bermartabat. Tapi lihatlah “sampai juga gairah asmaradhana” di sana. sampai dan tiba ke “hingga senja megatruh”. (Hudan Hidayat – Sastrawan)
Kembalinya penyair ke akar tradisi sebagai pilihan pantas dihargai, sebab realitas menunjukkan bahwa akar tradisi memberikan tumpuan yang kuat bagi tumbuhkembangnya karya sastra monumental. Bagi kita yang hidup di dalam tata nilai Timur, sastra yang unggul adalah sastra yang berjalin-berkelindan pada Realitas Hakiki yang metafisis sifatnya. Karya sastra yang dihasilkan oleh tata nilai Timur ini menunjukkan karya yang memiliki keharmonisan di dalam dan sarat makna. Penyair pada akhirnya harus tanggap pada apa yang disebut oleh Romo Dick hartoko sebagai ”Tanda-tanda Zaman”. Perubahan memerlukan penyesuaian. Penyesuaian memerlukan pemahaman. Pemahaman memerlukan kerja keras. Kerja keras akan menghasilkan karya berkualitas. Penyair yang gemilang adalah mereka yang mau bekerja keras saat orang-orang lain tidur, berani mengambil risiko ketika yang lain mundur. Demikianlah, lanskap suasana yang tertangkap saat Esti Ismawati menyanyi megetruh di saat senja. (Dimas Arika Mihardja – Direktur Eksekutif Bengkel Puisi Swadaya Mandiri)
Reviews
There are no reviews yet!