Availability: In Stock

Sastra dalam Konstelasi Wacana

Rp 135.000

Melalui Dekonstruksi yang menentang oposisi biner, Derrida sebenarnya ingin mengungkapkan bahwa kedua hal yang dianggap berlawanan sebenarnya setara. Kesetaraan tersebut berlaku bagi segala sesuatu yang ada dalam kehidupan manusia. Hal-hal yang menjadi tinggi dan rendah karena kriteria-kriteria tertentu hanyalah hasil interaksi antar ideologi yang diciptakan melalui bahasa. Sebagai misal, suatu makna dari sebuah tanda bisa berubah dari A ke B, C, D, E, dan seterusnya.  Artinya, makna dari sesuatu tersebut dapat berubah-ubah karena hadirnya penanda-penanda yang menggusur makna sebelumnya. Pada akhirnya, suatu hal tidak memiliki pusat dan tidak menjadi yang lebih tinggi atau rendah. Atas dasar tersebut, beberapa pemikiran mengenai penolakan terhadap hierarki dan oposisi biner muncul dalam beberapa bidang, seperti teori pascakolonialisme, feminisme, pascamodernisme, dan teori-teori lainnya yang kemudian disebut sebagai teori-teori ‘Setelah Dekonstruksi’.

Pembobolan hierarki dalam aspek pascakolonial hadir sebagai tentangan terhadap pemikiran yang menganggap bahwa Barat lebih unggul daripada Timur. Orang-orang Barat dianggap lebih berpendidikan daripada orang-orang Timur. Dalam buku yang berjudul Orientalisme yang ditulis oleh Edward W. Said (1979), dijelaskan bahwa Barat menciptakan wacana untuk menjelaskan tentang orang-orang Timur. Barat dalam konteks ini termasuk orang Eropa, Amerika, dan orang-orang kulit putih, sedangkan orang-orang Timur adalah orang Afrika, Asia, atau orang-orang kulit berwarna. Dengan metode penulisan yang serius, para orientalis membangun konsistensi dalam steriotifikasi terhadap orang Timur. Para Orientalis seperti Renan, Sacy, dan Lane memiliki Mise en Scene yang kemudian dipakai oleh orientalis-orientalis setelahnya (Said, 1979: 197). Dengan kepentingan-kepentingan yang dimiliki, orang-orang Barat merasa mampu mendefinisikan Timur walaupun hal itu tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang terjadi. Hal semacam inilah yang kemudian memunculkan hierarki paten yang kemudian steriotipenya melekat pada orang Barat dan bahkan pada orang Timur dalam mendefinisikan dirinya sendiri.

Selain hierarki pada tataran bangsa dan negara, hal yang paling sering dan masih terjadi hingga saat ini adalah hierarki antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak kalah pentingnya, terutama jika membahas tentang kesetaraan yang diperbincangkan dalam teori Feminisme. Bagi pemikir Feminisme, semua orang memiliki hak atas pekerjaan, kekuasaan, dan hak suara tanpa batasan gender (Wolf, 1997: 188). Hak-hak tersebut secara spesifik mencoba menyuarakan pada hak perempuan yang selama ini dianggap sebagai seseorang yang lebih rendah daripada laki-laki. Selanjutnya, dalam konsep Subaltern yang dikembangkan oleh Gayatri C. Spivak menjelaskan bahwa perempuan bahkan dibungkam karena mereka disebut sebagai kelompok bawahan dan seseorang tanpa identitas (Spivak, 2005). Mereka (perempuan) merupakan kelompok terpinggirkan dan tereksploitasi.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi komputerisasi, teori yang masuk dalam ranah ‘after deconstruction’ salah satunya adalah teori Pascamodernisme—sebagai respon ketidakpercayaan terhadap metanaratif, Dalam masyarakat dan budaya kontemporer, grand narrative atau narasi besar telah kehilangan kredibilitasnya terlepas dari apakah narasi tersebut merupakan narasi spekulatif atau narasi emansipasi (Lyotard, 1979: 37). Dengan demikian, tidak ada narsi besar atau kecil yang dihasilkan oleh kesepakatan legitimasi, di mana hal tersebut hanya diberikan pada orang-orang tertentu. Selain itu, Baudrillard dalam bukunya yang berjudul Simulacra and Simulation melihat bahwa masyarakat telah hidup di dunia yang semakin banyak informasi dan berkurangnya makna (Baudrillard, 1994: 79). Dalam artian, informasi yang tersebar semakin banyak membuat maknanya meledak dan tercecer, sehingga tidak ada makna yang tetap dan tidak ada makna yang benar dan salah.

Category: Tag:

Description

Kumpulan tulisan ini memiliki tiga kecenderungan utama, yaitu pascakolonialisme, feminisme, dan pascamodernisme. Dengan tujuan untuk memetakan pemikiran-pemikiran yang lahir setelah Dekonstruksi, tulisan-tulisan ini merupakan langkah awal untuk memberikan kontribusi pemikiran dalam dunia kritik sastra.

Additional information

Judul

Sastra dalam Konstelasi Wacana

penulis

Aprinus Salam

halaman

viii+253

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Sastra dalam Konstelasi Wacana”

Your email address will not be published. Required fields are marked *