Sastra, Subjek, dan Konstruksi Asimetris

Rp 135.000

0 out of 5

Ada ruang alternatif bagi subjek sebagai wilayah pemenuhan atas rasa kekurangan (lack) manusia. Begitu juga dalam sastra dan seni, pengarang atau seniman mengarahkan kita pada kenikmatan spiritual untuk memenuhi segala kekurangan (kasat mata) yang kita rasakan sebagai manusia. Perihal ini kita dapat menelisik lebih jauh dalam artikel kelima mengenai kenikmatan spiritualitas dalam pakeliran padat lakon Dewa Ruci Ki Mantep Soedarsono.

Saya pernah menyinggung persoalan politik spiritualitas dalam tulisan saya di salah satu koran lokal di Yogyakarta, bahwa pada tataran subjek/per-orangan, spiritualitas menjadi ruang alternatif (cadangan) yang dapat dipakai ataupun tidak. Hal ini tentu bergantung pada tuntutan lingkungan sosial terdekat yang dialami sehari-hari. Spiritualitas dapat menjadi kontestasi persahabatan dan persaudaraan suatu komunitas, baik sebagai ajang persaingan internal, baik untuk tujuan-tujuan tertentu (negatif/positif).

Merujuk perspektif Lacanian bahwa subjek pada dasarnya adalah subjek terbelah, serba kekurangan, dan tidak utuh. Tanpa sadar subjek terus mereproduksi fantasi-fantasi untuk memenuhi hasrat, untuk mencapai kesatuan eksistensial. Usaha pencarian ‘diri’ ini seringkali dipenuhi atau diaktualisasikan salah satunya dengan laku spiritual. Dalam Jawa ada upaya penyatuan diri subjek dengan ‘Yang Riil’ untuk menuju pada kesempurnaan atau kemanunggalan. Gagasan itu termanifestasikan dalam tradisi masyarakat Jawa sehingga mereka punya konsep laku spiritual yang disebut Manunggaling Kawula Gusti. Laku spiritual manusia Jawa tentu sebagai laku memenuhi keselarasan dan keharmonian hidup.

Dunia manusia adalah dunia yang dikonstruksi atau dibentuk oleh aktivitasnya sendiri. Artinya, ia harus membentuk dunianya sendiri dalam hubungannya dengan dunia. Yang dibentuk adalah kebudayaannya. Tujuannya memberikan struktur-struktur kokoh yang sebelumnya tidak dimiliki secara biologis. Sebagai bentukan manusia, struktur-struktur memiliki kemungkinan berubah karena sifatnya yang tidak stabil (Berger, 1990: 6-8). Karena sifatnya yang tidak stabil, pandangan-pandangan mahasiswa dalam buku ini cukup representatif merespons kenyataan-kenyataan sosial dalam karya sastra beragam.

Mengapa saya katakan ‘asimetri’? Hal penting asimetri adalah sifatnya yang tersebar luas di berbagai tingkat dan lapisan, memungkinkan perubahan terjadi berkali-kali. Begitu dengan sastra hal yang terlihat di permukaan teks (main text) belum tentu secara tersirat mengatakan hal yang sama. Bentuk teks sastra bukanlah sekadar hiasan melainkan sebagai perwujudan ideologis yang kuat (Jameson, 1971). Maka upaya pembacaan totalitas dibutuhkan untuk mengetahui yang tersembunyi dari struktur bawah teks. Kesadaran historis membantu mengungkap makna-makna yang termanifestasikan dalam karya sastra. Sejarah adalah struktur dasar memang menjadi sangat penting.

Category: . Tags: , .

Description

Idealitas (kehidupan) sejatinya tidak pernah ada. Subjek selalu berjalan di atas ketidakpastian, dan pada posisi tertentu ia dikonstruksi, berkontestasi, dan bergerak atas ketidakpastian itu. Hal inilah yang membawa subjek berada dalam sumbu-sumbu asimetris.

Tulisan-tulisan dalam buku ini secara keseluruhan bermuara pada perbincangan mengenai persubjekan. Perbincangan tersebut secara tidak langsung memiliki titik temu dan menjadi tema besar buku ini. Subjek-subjek dalam buku ini dibicarakan secara beragam, atau dengan kata lain dalam cakupan yang asimetris. Konstruksi asimetris adalah bangunan ataupun satuan struktur yang tidak setangkup, multiperspektif, multi-situasional, dan multi-kontekstual.

Subjek (manusia), di satu sisi, dalam posisi yang mapan bukan barang-tentu kemapanan adalah kondisi final yang ada pada dirinya. Kemapanan memungkinkan terbukanya kondisi atau situasi yang tidak diharapkan oleh subjek (manusia). Subjek (anak) yang digambarkan pada cerpen “Anak Perempuan yang Kululuskan” pada artikel pertama misalnya, menjadi subjek yang merombak, mendobrak, dan melintasi batas kemapanan. Ikhtiar kedua orang tua untuk saling bersaing memenuhi kasih sayang kepada si anak ternyata menjadi kegagalan sintesis yang membuka kemungkinan terjadinya hal lebih buruk kepada si anak.

Di sisi yang lain, manusia sebagaimana yang disebutkan oleh Žižek (1994) menjadi subjek yang selalu berada di kondisi kurang (lack) sehingga terus menghasrati sesuatu yang diinginkannya. Kekuatan imajiner manusia inilah terpicu oleh benturan rasionalitas dan emosionalitas dari dalam dirinya. Manusia, secara sadar ataupun tidak, terus menerus tergerus dalam pusaran simbolitas yang ia hasrati, atau menahan diri dan mencapai otentisitas. Sebab itu, dapat dikatakan bahwa subjek selalu berjalan pada ketidakpastian, dan ketidakpastian pada akhirnya menjadi suatu keniscayaan.

Apabila Berger (1990) pernah menyatakan bahwa keberhasilan sosialisasi sangat bergantung pada simetri antara dunia (objektif) masyarakat dan dunia (subjektif) individu, dan kegagalan sosialisasi terletak pada asimetri di antara keduanya. Kenyataannya kita perlu memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang kerap terjadi bahwa sosialisasi total tidak akan pernah ada, atau tidak mungkin ada.

Konstruksi asimetri sering melingkupi kehidupan subjek (manusia), dan kehidupan manusia sejatinya selalu dinamis, berubah-ubah. Di lain sisi, masih ada tatanan-tatanan secara simbolis, politis, ataupun sosial mencoba mengatur, membagi, dan menempatkan diri manusia pada partikular-partikular yang tidak seimbang.

Additional information

Judul

Sastra, Subjek, dan Konstruksi Asimetris

penulis

Nadhila Hibatul Nastikaputri, dkk.

cetakan

Oktober, 2022

halaman

x+223 hlm

Reviews

There are no reviews yet!

Be the first to write a review

*

Delivery and Returns Content description.
logo-gambang-footer

Jika Anda Merasa Kesusahan dalam Berbelanja Buku dari Website Kami Silakan Order Melalui Nomor WhatsApp Berikut : 0856-4303-9249

Top