Additional information
penulis | T. S. Eliot |
---|---|
Judul | Tapal Batas Kritik Sastra |
ISBN | 978-623-7761-01-3 |
halaman | v+158 |
cetakan | Juni, 2020 |
Rp 65.000
T. S. Eliot terutama dikenal sebagai pemuka penyair modernis yang dianugerahi Hadiah Nobel Sastra tahun 1948. Selain itu, dia juga esais yang jejaknya selama enam puluh tahun (1905-1965) dibuktikan melalui delapan jilid tebal antologi. Esai-esai yang dia tulis memiliki cakupan tema sangat luas dari mulai sastra, budaya, agama, sampai pendidikan. Melalui esai-esai sastranyalah dia dikenal sebagai salah satu patron aliran Kritisisme Baru dalam kritik sastra.
Antologi ini memuat enam esai terpenting yang dia tulis tentang hal-hal mendasar dalam kritik sastra, termasuk esai legendarisnya “Tradisi dan Bakat Individu”. Berbeda dengan esai-esai kritik sastranya yang mengupas karya sastrawan tertentu, esai-esai seperti yang dimuat dalam antologi ini lebih memiliki sifat universal yang memungkinkan mereka untuk tetap kontemporer bahkan saat dibaca puluhan tahun kemudian.
penulis | T. S. Eliot |
---|---|
Judul | Tapal Batas Kritik Sastra |
ISBN | 978-623-7761-01-3 |
halaman | v+158 |
cetakan | Juni, 2020 |
Buku dan Book Chapter merupakan luaran penelitian yang direkognisi oleh Ristek/BRIN dan merupakan sarana untuk mendesiminasikan hasil penelitian. Saya menyambut baik tulisan 17 penulis dalam bentuk book chapter dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia ini, baik PTN dan PTS dari Jawa dan luar Jawa, sebagai bagian dari diseminasi hasil penelitian kepada sesama peneliti khususnya, dan masyarakat pada umumnya, terutama di tengah pandemik Covid-19 ini. Saya mengapresiasi terbitnya Book Chapter ini yang digagas oleh para alumni Program S3 PB UNJ ini, sekaligus juga menumbuhkan jalinan persahabatan antar peneliti, baik yang masih berkutat menyelesaikan disertasinya, maupun yang sudah mengabdikan diri di bawah naungan NKRI yang kita cintai dari Sabang sampai Merauke.
Penelitian dalam book chapter ini dapat dikategorikan menjadi 3 bagian, yakni: yang lampau, sekarang, dan yang akan datang. Ketiganya memiliki peran masing-masing serta memelukan peran kajian pustaka yang handal dan up to date sebagaimana dipaparkan oleh peneliti senior dari UNS, Prof. Joko Nurkamto.
Penelitian yang berangkat dari masa lampau dapat digunakan sebagai petuah, pengajaran nilai moral dan sudut pandang baru jika dilihat dengan kaca mata masa kini. Beberapa contoh penelitian yang masuk kategori ini adalah Hermeneutic Transcendental of Poison Tree by William Blake’s Poetry, Wedhatama sebagai Bahan Ajar Sastra di Era Milenial, Pendidikan Moral dalam Legenda Sungai Biduk Muba. Sedangkan penelitian yang berangkat pada masa sekarang dapat digunakan sebagai cerminan sejauh mana sebenarnya zaman telah bergerak yang dapat dilihat dari penelitian yang berjudul: Implementation of Information Technology and Communication in Language Teaching; Implementing of Brain-friendly Strategies in English Academic Writing Class, A Content Analysis of English Textbooks (A Study of English Textbooks Published by Gontor Press). Penelitian yang ditujukan untuk masa yang akan datang dapat digunakan sebagai bekal untuk menghadapi menghadapi tantangan zaman mendatang. Sebagai contoh penelitian yang dapat dimasukkan dalam kategori ini adalah: “Media Pembelajaran BIPA untuk Menuju Era 5.0: Penerapan dan Persepsi Pemelajar”, The Challenges of Humanity in Society 5.0 Represented by Some ComputerGenerated Imagery Short Films for Children Literature dan masih ada beberapa penelitian menarik lain yang belum disebutkan di sini.
Serat Wulang Reh karya Paku Buwana IV digubah dalam bentuk puisi Jawa, tepatnya tembang macapat berisi 13 pupuh, merupakan masterpiece kebudayaan Jawa yang ditulis tahun 1768-1820 yang berisi nilai-nilai pendidikan yang berasal dari ajaran agama Islam yang meliputi tasawuf, akhlak, sosial dan politik dengan ajaran moral antara lain ririh, rereh, ati-ati, deduga, prayoga, watara dan reringan, menjauhi sikap adigang adigung adiguna. Ada pun isi ringkas Wulang Reh sesuai dengan bait-baitnya:
Beberapa kali saya diberi kesempatan menjadi saksi ahli bahasa untuk sejumlah kasus hukum. Kasus hukum yang dimaksud adalah kasus-kasus yang muncul sebagai akibat dari tindakan berbahasa, seperti pencemaran nama baik, penistaan agama, penghinaan terhadap suku tertentu, pelecehan atau penghujatan terhadap ideologi negara, dan beberapa kasus lainnya. Berbagai masalah tindakan berbahasa tersebut kemudian diperkarakan dan menjadi masalah hukum sebagai kasus kejahatan berbahasa.
Dalam bebeberapa kesempatan yang berbeda, beberapa kali pula saya mendapat sejumlah pertanyaan yang lebih kurang sama. Pertanyaan itu antara lain: “apa hubungan bahasa dengan hukum”, “apa hubungan bahasa dengan politik”, “apa hubungan bahasa dengan etika”, “apa hubungan bahasa dengan perilaku”,
“apa hubungan bahasa dengan negara”, hingga “apa hubungan perkara pidana dengan persoalan bahasa”. Salah satu pertanyaan yang paling serius tentulah bagaimana mungkin tindakan berbahasa dapat menjadi tindakan kejahatan berbahasa.
Untuk menjelaskan hubungan antara bahasa dengan hukum, Shuy (2008: 4—5) mengatakan bahwa hukum adalah bahasa. Dengan demikian, praktisi hukum sebenarnya memiliki implikasi sebagai praktisi bahasa. Akan tetapi, bukannya memiliki pengetahuan tentang aspek-aspek bahasa, praktisi hukum memfokuskan kemampuan dan pengetahuannya pada aspek-aspek hukum dan bukan pada bahasa. Selanjutnya, menurut Shuy, banyak ahli hukum tidak sadar pada kontribusi kebahasaan dan penyelesaian dalam permasalahan hukum. Di beberapa negara, hubungan antara ahli bahasa dengan hukum terlihat sangat kompleks. Sebagai contoh, pengadilan Afrika Selatan pernah meminta seorang ahli bahasa untuk menyelesaikan kasus perselisihan merk dagang (Hubbard, 1992; Sanderson, 2007), isu-isu semantik yang berkaitan dengan nama baik dan kasus-kasus mengenai identifikasi otoritas (Hubbard, 1992; 1994; 1995; Kotzѐ; 2007; 2010). Sementara itu, tradisi tersebut jarang terjadi di Amerika dan Eropa. Hal itu disebabkan oleh kurangnya reportase dari ahli bahasa tentang hubungan bahasa dengan hukum, dan kepercayadirian aparat hukum dalam pengetahuan bahasa.
Pengadilan menggunakan rangkaian teori untuk menginterpretasikan undang-undang dan mengaitkannya pada kasus yang dihadapi. Teori-teori tersebut menyediakan beberapa petunjuk untuk menuntun aparatus pengadilan dalam menyelesaikan pemaknaan kata-kata (Carney, 2014:327). Permasalahannya adalah banyak praktik-praktik hukum yang masih menginterpretasikan kata-kata hanya berdasar dengan makna kamus (leksikal) atau kasus-kasus yang pernah terjadi (Botha, 1998:103; Hutton, 2009: 86—87; Mouritsen, 2010; Solan, 1993:50; Thumma dan Kirchmeier, 1999). Sementara itu, kamus sangatlah terbatas sehingga memerlukan studi lebih lanjut sebanyak alat-alat kebahasaan dalam pencarian makna yang kompleks, sedangkan kasus-kasus yang pernah terjadi tidak bisa dijadikan pedoman utama dalam memberikan keputusan karena tidak selalu bersumber dari isu bahasa dan tidak selamanya mencerahkan masalah-masalah kebahasaan (Carney, 2012).
Permasalahan-permasalahan di atas sebenarnya juga belum selesai terjawab dalam konteks pengadilan Indonesia. Hal itu menyebabkan timbulnya pertanyaan-pertanyaan lain yang cukup sering dilontarkan seperti “bagaimana Anda bisa menjelaskan adanya kesalahan dalam kasus ini menurut perspektif ilmu bahasa”, “bagaimana Anda bisa menjelaskan bahwa ada kejahatan dalam berbahasa”, “teori kebahasaan apa yang Anda gunakan untuk menjelaskan itu”, “bagaimana kewenangan ilmu bahasa bisa menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang tidak baik”, bahkan pertanyaan-pertanyaan yang terkadang terkesan kurang relevan.
Dalam waktu-waktu tertentu, saya menjawabnya secara spontan atau menjelaskannya secara sekilas. Jawaban spontan, misalnya, bahwa semua hal dalam cara hidup kita dapat disampaikan melalui berbahasa. Kita bisa memahami suatu masalah jika kita menjelaskannya dalam bahasa. Kita menyampaikan aspirasi, pikiran, ide, rencana, dan melaporkan sesuatu dalam tindakan berbahasa. Kita bisa menyelesaikan suatu masalah dan dapat saling memahami dengan menggunakan bahasa dan tindakan berbahasa.
Pada kesempatan lain, saya menjawab seperti ini: berkomunikasi itu meliputi tiga hal berbahasa, yakni komunikasi yang bersifat verbal (baik tertulis maupun lisan), secara visual (dan audio), dan secara kinetik (gerakan tubuh atau gerakan organ tubuh). Hal yang ingin saya tekankan adalah bahwa berbahasa itu merupakan suatu tindakan yang meliputi tiga hal, yakni berbicara (bertutur), menulis dan menyampaikan pesan lewat gambar (bisa jadi dengan dukungan suara tertentu), atau mengepalkan tangan, menutup bibir dengan telunjuk jari, dan sebagainya. Tindakan lain, semisal kita melakukan perbuatan dalam kata kerja (aktif) sebagai cara berbahasa kinetik, seperti berjalan, berlari, memukul, menendang, dan sebagainya.
Ilmu-ilmu linguistik, pada umumnya, lebih memusatkan objek material bahasa sebagai bahasa tertulis, atau sesuatu yang harus dan perlu ditulis sebagai bahan atau data kajiannya. Pada akhirnya, berbagai gerakan tubuh, sebagai bahan yang kemudian dikaji, perlu dideskripsikan atau ditulis. Akan tetapi, hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa tindakan tubuh dapat menjadi data langsung dalam memahami atau mengkaji berbagai peristiwa. Kini, berbagai kejadian atau peristiwa cukup banyak terekam secara langsung, sehingga rekaman tersebut dapat dijadikan bahan atau objek material kajian kebahasaan.
Saya sering tidak puas dengan jawaban saya ketika ditanya tentang berbagai hal mengenai kebahasaan. Itulah sebabnya, saya berpikir untuk menjawabnya secara tertulis, dengan harapan, saya bisa menjawabnya secara lebih bertanggung jawab. Dalam kesempatan ini, saya akan menjelaskan beberapa hal. Pertama, apa itu bahasa dan berbagai implikasi terkait dengan cara berbahasa. Kedua, masalah prasangka dan bias berbahasa. Ketiga, masalah mengapa banyak cara berbahasa memperlihatkan kesalahan, terutama kesalahan teknis. Keempat, masalah berbahasa sebagai masalah etika (moral), dan kesalahan sosial lainya.
Kelima, masalah kesalahan berbahasa bukan saja meliputi kesalahan etik dan/atau moral, tetapi merupakan tindakan kejahatan berbahasa. Seperti telah disinggung sebelumnya, kasus masalah bahasa sudah sering masuk ke ranah hukum, baik itu kasus perbuatan tidak menyenangkan, pembohongan, penghinaan, pelecehan, penistaan, pencemaran nama baik, fitnah, hasutan, adu domba, makar, maupun tindakan berbahasa lainnya yang dinilai melanggar hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Keenam, masalah bagaimana menempatkan bahasa sebagai berwacana dan masalah perbedaan penafsiran. Berbahasa sebagai berwacana merupakan tindakan berbahasa yang ditempatkan sebagai tindakan bermotif dan bertujuan. Dalam posisi bermotif dan bertujuan itu, tindakan berbahasa dikontestasikan dengan berbagai tindakan berbahasa lainnya. Seperti munculnya masalah perbedaan penafsiran dalam rangka menjelaskan mengapa terjadi perbedaan penafsiran. Bagaimana berbagai perbedaan penafsiran tersebut dapat diuji untuk mengetahui mana penafsiran yang paling mendekati kesepakatan untuk dianggap benar.
Kajian dalam buku ini tidak membahas KUHP, misalnya yang terkait dengan UU ITE, atau UU tentang berita bohong, penghinaan, pencemaran nama baik, atau makar, dan lain-lain. Sebenarnya, walaupun bahasa hukum memiliki kaidah tersendiri, bahasa undang-undang juga merupakan hasil dari suatu peristiwa berbahasa. Kajian di sini lebih berfokus pada penggunaan bahasa sebagai peristiwa dan tindakan berbahasa dalam keseharian. Sementara itu, KUHP dan UU lainnya, bukan wacana melainkan menjadi ketetapan hukum. Memang, apapun itu terkait dengan UU, perlu selalu dicermati dan dikritisi agar UU menjadi lebih baik dan benar.
Untuk menjelaskan persoalan di atas, sesuai kebutuhan untuk menjawab beberapa persoalan yang relevan, saya akan menggunakan konsep-konsep linguistik forensik secara umum. Linguistik forensik, merupakan sub-disiplin dari linguistik terapan dan para pioner yang mengaplikasikannya ke ranah hukum, terutama dalam ranah pengadilan. Seperti halnya Cunningham, Levi, Green dan Kaplan (1994:1568) mengutarakan:
… adalah benar bahwa linguistik atau ilmu bahasa dapat dibuat menjadi pertimbangan dalam pencarian dan analisis pada tataran ketakterbatasan varietas dari ujaran kebahasaan. Metode-metode dalam eksplorasi yang dilakukan oleh para ahli bahasa hingga membuat progres saintifik pada beberapa dekade dapat menentukan proses pencarian dan analisis pada isu-isu tekstual yang kompleks dan kasus-kasus yang susah dipahami.
Untuk melengkapi penjelasan lebih lanjut, saya menggunakan teori-teori semiotik, hermeneutik, dan kewacanaan. Namun, payung pendekatan utama yang saya pakai adalah pendekatan struktural dan pascastruktural. Kedua pendekatan tersebut sekaligus saya pakai karena saling melengkapi. Asumsi pendekatan struktural adalah terdapatnya kuasa struktur yang membentuk dan menentukan subjek berbahasa (lihat Boye dan Engberg-Pedersen, 2020: 128–129). Sementara itu, pendekatan pascastruktural berasumsi bahwa wacana, dalam posisi struktural subjek (seorang manusia), ikut membentuk dan mengkonstitusi subjek berbahasa (lihat Pavel, 1989: 90). Beberapa ilmu bantu lain, sebagai rangkaian dari ilmu-ilmu sosial-humaniora, digunakan untuk melengkapi diskusi, seperti beberapa literatur sejarah, antropologi, psikologi, sosiologi, politik. Buku-buku bantu itu terutama ketika menempatkan bahasa sebagai objek materialnya.
Data-data yang akan dibicarakan berupa data yang hanya sebagai contoh, ada data primer yang saya dapatkan (tidak saya sebutkan sumbernya karena beberapa alasan), dan terdapat beberapa data yang sifatnya umum. Sebagai misal, uraian membahas implikasi bias berbahasa, maka data yang dipakai adalah data yang sudah beredar di kalangan masyarakat. Sebagian data diambil di media sosial, dan mohon izinnya, tidak disebutkan sumbernya, karena data di media sosial itu juga seperti “milik umum”.
Sebagai sistematika, sesuai dengan urutan masalah, masalah bahasa, berbahasa, dan bias berbahasa dijelaskan dalam bab 2 dan bab 3. Masalah kesalahan teknis dan nonteknis berbahasa pada bab 4. Berbahasa yang mengandung kesalahan dan ketika bagaimana cara berbahasa, dengan kandungan tertentu, dengan ekspresi tertentu, bisa masuk ke dalam ranah apa yang disebutkan sebagai kejahatan berbahasa dalam bab 5 dan bab 6. Sementara itu, bab 7 menjelaskan perihal berbahasa sebagai berwacana dan masalah-masalah penafsiran tentang kewacanaan tersebut.
Dalam kesempatan ini, perkenankan saya melampirkan tulisan tahun 2013 yang berjudul “Mengkatai Kata-Kata”, yakni tentang bahaya berbahasa jika kita tidak hati-hati dan waspada dalam menggunakan kata-kata. Walaupun sebagai lampiran, tulisan itu diletakkan di bab 8. Dalam tulisan tersebut, secara eksplisit saya bertanya, “Begitu berbahayakah kata-kata? Begitu melukaikah kata-kata? Kenapa orang bisa berbunuhan karena kata-kata?”
Mengapa saya memberikan judul Bahasa Inggris itu mudah, dikarenakan dua hal penting. Pertama, kita sebagai orang Indonesia dalam kurikulum pendidikan nasional kita sudah cukup dalam mempelajari bahasa Inggris, sejak tingkat pendidikan dasar hingga jenjang universitas. Kedua, Materi bahasa Inggris tidak mengalami perubahan yang signifian dalam waktu yang cepat. Materi bahasa Inggris masih mengenai, pengucapan, tenses, grammar. Masalah utama di Indonesia adalah bagaimana kita bisa berbicara bahasa Inggris. Kami menjawab dengan tiga hal tentang pertanyaan tersebut.
Pertama, mulai berlatih pengucapan, sebab pengucapan bahasa Inggris berbeda dengan pengucapan bahasa Indonesia. Artinya perbedaan pengucapan akan berdampak pada perbedaan arti dalam bahasa Inggris. Hal lain adalah disaat kita melatih pengucapaan disaat itu pula kita mulai merubah kebiasaan kita dalam bahasa Inggris dari passive menjadi active.
Kedua, mulai berlatih penyusunan kalimat. Penyusunan kalimat dalam bahasa Inggris bernama tenses. Hal yang utama dari tenses adalah perubahan kata kerja. Buku ini mengulas ada lima tenses dan hal tersebut adalah tenses dasar bagi seseorang yang ingin berbicara bahasa Inggris.
Ketiga, Jadikan kebiasaaan. Apakah artinya? Kami ingin mengatakan dengan sederhana, selain buku ini dibaca dan mengerjakan latihan, hal yang juga penting adalah mulailah berbicara bahasa Inggris. Setiap hal yang mengenai bahasa Inggris mulai dipelajari lebih serius. Di zaman yang serba canggih belajar bukan hal yang sulit dan membosankan. Melalui menonton youtube yang berbahasa Inggris seperti news, film, dan lagu. Kita sudah mulai membiasakan bahasa Inggris dalam kehidupan kita. Maka, tidak ada alasan untuk mengatakan bahasa Inggris itu sulit, selama kita belum mencoba melangkah untuk berbicara bahasa Inggris. Selamat mencoba, pasti berhasil.
Reviews
There are no reviews yet!