Shop

Showing 13–24 of 76 results


  • Iliad yang ditulis Homer lebih dari 2800 tahun yang lalu adalah karya besar sastra dunia yang tak habis-habisnya dibicarakan.
    Nama-nama, peristiwa, serta berbagai benda dalam kisah ini kini banyak mewarnai istilah dalam dunia ilmu pengetahuan, mitos, dan legenda yang membentuk peradaban dunia.

    Kini, karya besar yang menghadapkan dua tokoh legendaris Achilles (Yunani) dan Hector (Trojan) ini hadir secara lengkap dalam Bahasa Indonesia.

    Sale!
  • Buku ini merupakan kumpulan geguritan (puisi berbahasa Jawa) yang ditulis antara lain oleh: Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum. (Univ. Negeri Semarang), Prof. Dr. H. Bani Sudardi, M. Hum. (Univ. Sebelas Maret Surakarta), Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd. (Univ. Negeri Malang), Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum. (Univ. Negeri Jember), Prof. Dr. Suminto A. Sayuti (Univ. Negeri Yogyakarta), Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum. (Univ. Negeri Yogyakarta), Drs. Pardi Suratno, M.Hum. (Kepala Balai Bahasa Yogyakarta), Budhi Setyawan (Depkeu RI), dan beberapa penggurit lainnya. Buku ini dikuratori oleh Dr. Esti Ismawati, M.Pd.

    Sale!
  • Serat Wedhatama was written by Sri Mangkunegara IV in early 1881 a few months before he died. There was no definitive clue when the book began to be written. However, by following the flow of events that colored his life, he apparently wrote Wedhatama when he felt that his death was approaching. He suffered a mild stroke which resulted in impaired eye and left hand. He had ordered his son, KPH Gondosewoyo, who was taking a technical school in Delft, to order a marble stone and steel frame that would later become his mausoleum. In addition he also began to order to build the cemetery Girilayu.

    The burial places of the Mangkunegaran kings were to be built on the grounds that the Mengadeg funeral complex was full. The cemetery is the tomb of Mangkunegara I to the tomb of Mangkunegara III in addition to other Mangkunegaran relatives, one of which was Raden Ayu Semi the first empress of Mangkunegara IV.

    Wedhatama is different from the previous works that were not specifically mentioned for whom those were intended. It was different from Serat Paliatmo which was clearly intended for his sons. Another example is Serat Tripama as a guide for the warriors. Wedhatama is the great words of praise for all humans. In it contained teachings about how to process the feeling, creation, and intention of a human being. It also gives a lesson on how a human relationship with other humans should be regulated. In Wedhatama Sri Mangkunegara IV no longer sorted life in several fragments as in Serat Paliatmo. In it he divided life into fragments or parts such as: family life, homeland, environment, and so on. In contrast, in Wedhatama Mangkunegara IV saw life as a totality.

     

    RM Darajadi Gondodiprojo

  • Ekspresi kegelisahan dan perlawanan dalam gerakan pembebasan rakyat dari belenggu penguasa yang cenderung abaikan hak-hak rakyat, ditambah hadirnya para oprtunis yang menggadaikan moralnya demi pundi-pundi kekayaan para oportunis biasanya berkoalisi dengan para kapitalis dalam mempengaruhi penguasa agar regulasi berpihak utk mengeruk kekayaan rakyat tanpa berpikir kerusakan lingkungan dan tatanan sosial yang selama ini di pertahankan oleh sebagian rakyat yang memegang teguh nilai dan tradisi.

    Antologi puisi ini adalah karya kritis dan relflektif sebagai ekspresi kritik sosial dalam kehidupan aktual yang penuh dengan intrik dan manipulasi. Mengenal dekat dengan sang penulis yang banyak aktif dalam setiap peristiwa pergerakan Rakyat. Saya meyakini sebagai sumber inspirasi karya karyanya yang penuh dengan kritik sosial dan penegakan HAM dalam setiap bait-bait puisinya, susunan kalimatnya pun penuh dengan perlawanan dalam membebaskan keterkungkungan rakyat oleh kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, yang dipengaruhi oleh gelapnya jalan kebenaran.

  • Puisi-puisi dalam kumpulan ini ditulis dengan penuh kekhusyukan dan kesiagaan. Bagaimana upaya penyair memilih tema, menentukan rancang bangun serta mengolah kata-kata sebagai bahan baku puisinya, dengan jelas telah menunjukkan adanya kekhusyukan dan kesiagaan itu. Dengan demikian frasa-frasanya yang terkesan sederhana menjadi terasa kaya, berwarna dan bermakna ganda. (Acep Zamzam Noor)

  • Buku kumpulan cerita Muhammad Qhadafi.

  • Di saat seperti sekarang ini dimana isu tentang rasisme dan intoleransi merebak di tingkat nasional maupun global, maka diperlukan suatu usaha nyata untuk menanggulanginya. Beberapa cara dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, salah satunya adalah melalui pendekatan kebudayaan. Seiring dengan itu, terbitnya hasil penelitian “Kearifan Lokal Jawa dalam Wedhatama” karya Dr. Esti Ismawati, MPd. dan Dr. Warsito, MPd, jelas mempunyai relevansi yang kuat untuk mengatasi berbagai permasalahan bangsa Indonesia termasuk isu-isu tersebut di atas.

    KRT Darajadi Gondodiprojo , kerabat Mangkunegara IV, Pengageng Sasono Gondo Puri Surakarta.

  • Serat Wulang Reh karya Paku Buwana IV digubah dalam bentuk puisi Jawa, tepatnya  tembang macapat berisi 13 pupuh, merupakan masterpiece kebudayaan Jawa yang ditulis tahun 1768-1820 yang berisi nilai-nilai pendidikan yang berasal dari ajaran agama Islam yang meliputi tasawuf, akhlak, sosial dan politik dengan ajaran moral antara lain ririh, rereh, ati-ati, deduga, prayoga, watara dan reringan, menjauhi sikap adigang adigung adiguna.  Ada pun isi ringkas Wulang Reh sesuai dengan bait-baitnya:

    1. Piwulang caranipun tiyang milih guru
    2. Piwulang caranipun tiyang milih sesrawungan
    3. Piwulang sampun ngantow sanget-sanget kapiyandel nggadahi wewatakan adigang, adigung, adiguna.
    4. Piwulang bab tatakrama kanthi lelambaran prabot: deduga, prayoga, watara lan reringa; bedanipun awon lan sae, lan caranipun neniteni wewatekaning manungsa.
    5. Piwulang bab dunungin sembah lelima: bapa biyung, maratua, sedulur tuwo, guru, Gusti.
    6. Piwulang bab cara tiyang suwita ing ratu / negari
    7. Piwulang bab ngendaleni ubaling hawa nepsu
    8. Piwulang bab luhur lan raosing bebuden
    9. Piwulang bab pangrengkuhing sederek & cara maos serat waosan
    10. Piwulang bab dununging panarimah
    11. Piwulang bab warna-warni: agami, pakareman, tepa salira, raharjaning nigari
    12. Tepa tuladha polaning lelampahan, wasiyat leluhur
    13. Piweling & pamujining sang pujangga.
  • “Aku tahu kau suka hal-hal gila dan irasional, seperti ayahmu dahulu. Ingatlah, bahwa setiap tanda selalu membawa isyarat. Setiap isyarat membawa kebenaran yang akan tenggelam,”
    Cerpen Lawalata – Ferina Meliasanti

    Berpangkal dari warna hidup manusia. Dilema dan lema yang berpusaran pada cerita akan mengantarkan pada sesuatu yang dekat dan mungkin terabaikan. Sisi-sisi lain manusia dielaborasi lalu dihadirkan dalam beragam bentuk persepsi. Mulai dari tubuh sebagai identitas keyakinan pada cerpen “Sunat”, hingga pertanyaan-pertanyaan tentang esensi sebuah relasi pada cerpen “Manusia Terakhir”. Semua disajikan dalam dimensi bernama keluarga. Keluarga yang tidak hanya memperlihatkan hubungan darah emosional. Lebih daripada itu, keluarga yang menghadirkan ekspresi cinta dan kebencian dalam bentuk pengalaman dan amatan. Keluarga yang kemudian dibaca dan dilafalkan sebagai: Keluarga Owig.

  • Suatu malam, Rozi Kembara menelepon. Di antara sekian banyak kabar yang disampaikannya, saya tak bisa berhenti memikirkan bahwa seorang kawan kami, yang dulu belajar menulis bersama kami, telah jadi semacam jihadis di Pakistan karena kecewa terhadap puisi. Mungkin ia mencari ketenangan jiwa, kedalaman, pencerahan… saya tidak tahu. Saya bahkan tidak yakin manusia punya jiwa.

    Apa-apa yang dicari dan ditemukannya, atau tidak ditemukannya, agaknya berbeda dari Rozi dan saya. Tetapi saya pun pernah merasa harus mencabut perkara dengan puisi.

    Selepas menerbitkan Misa Arwah lima tahun lalu, saya tak mau menulis dengan cara yang sama, tetapi alangkah sukar melepaskan diri. Alih-alih menemukan suara dan gaya bicara yang lain, saya hanya tergagap-gagap. Semua yang saya ketik terasa palsu dan menyedihkan.

    Kemudian saya menemukan buku-buku Nicanor Parra. Jika puisi sepatutnya berlapis, mendalam, mencerahkan, serta sanggup memindahkan para pembaca ke labirin khayali yang megah dan berbelit-belit, Parra menolak. Dia menyentak kita dengan keterus-terangan, klise, humor sepele. Puisi-puisinya menerbitkan senyum orang kebanyakan, bukan sekadar bahan ngocok para kritikus.

    “Puisi telah jadi surga si dungu yang khidmat selama setengah abad, sampai aku datang dan mendirikan roller coaster-ku,” katanya. “Naiklah, kalau kau mau. Bukan salahku kalau kau turun dengan hidung dan mulut berdarah.”

    Pada waktu yang sama, saya juga menemukan kembali William Carlos Williams, yang dulu saya baca sekilas-sekilas saja. Dalam pengantar Spring and All, Williams bercerita bahwa seorang kritikus menyebut karya-karyanya antipuisi, bukan puisi, sebab dia mengabaikan rima dan ritme. Williams tak sepakat. Baginya, puisi pada umumnya justru menghalangi persepsi pembaca terhadap kenyataan dengan berbagai ilusi. Dia kepengin memulangkan pembaca ke sini, saat ini.

    Parra dan Williams punya kegelisahan serupa, memilih pendekatan yang berbeda, dan keduanya mengubah cara banyak orang memikirkan serta menulis puisi.

    Buku ini tak sepatutnya dibaca sebagai upaya meneruskan inisiatif mereka. Saya hanya berusaha menolong diri sendiri, bukan puisi, apalagi bahasa Indonesia, dari kebuntuan yang menyengsarakan.

    Kepada para pembaca yang berharap saya selamanya menulis seperti dalam Misa Arwah, saya mohon maaf. Janganlah menusuk saya kalau kita bertemu. Apa boleh buat, hal paling menggembirakan bagi saya sebagai penulis adalah kesempatan baru untuk bermain-main.

  • Beberapa kali saya diberi kesempatan menjadi saksi ahli bahasa untuk sejumlah kasus hukum. Kasus hukum yang dimaksud adalah kasus-kasus yang muncul sebagai akibat dari tindakan berbahasa, seperti pencemaran nama baik, penistaan agama, penghinaan terhadap suku tertentu, pelecehan atau penghujatan terhadap ideologi negara, dan beberapa kasus lainnya. Berbagai masalah tindakan berbahasa tersebut kemudian diperkarakan dan menjadi masalah hukum sebagai kasus kejahatan berbahasa.

    Dalam bebeberapa kesempatan yang berbeda, beberapa kali pula saya mendapat sejumlah pertanyaan yang lebih kurang sama. Pertanyaan itu antara lain: “apa hubungan bahasa dengan hukum”, “apa hubungan bahasa dengan politik”, “apa hubungan bahasa dengan etika”, “apa hubungan bahasa dengan perilaku”,
    “apa hubungan bahasa dengan negara”, hingga “apa hubungan perkara pidana dengan persoalan bahasa”. Salah satu pertanyaan yang paling serius tentulah bagaimana mungkin tindakan berbahasa dapat menjadi tindakan kejahatan berbahasa.

    Untuk menjelaskan hubungan antara bahasa dengan hukum, Shuy (2008: 4—5) mengatakan bahwa hukum adalah bahasa. Dengan demikian, praktisi hukum sebenarnya memiliki implikasi sebagai praktisi bahasa. Akan tetapi, bukannya memiliki pengetahuan tentang aspek-aspek bahasa, praktisi hukum memfokuskan kemampuan dan pengetahuannya pada aspek-aspek hukum dan bukan pada bahasa. Selanjutnya, menurut Shuy, banyak ahli hukum tidak sadar pada kontribusi kebahasaan dan penyelesaian dalam permasalahan hukum. Di beberapa negara, hubungan antara ahli bahasa dengan hukum terlihat sangat kompleks. Sebagai contoh, pengadilan Afrika Selatan pernah meminta seorang ahli bahasa untuk menyelesaikan kasus perselisihan merk dagang (Hubbard, 1992; Sanderson, 2007), isu-isu semantik yang berkaitan dengan nama baik dan kasus-kasus mengenai identifikasi otoritas (Hubbard, 1992; 1994; 1995; Kotzѐ; 2007; 2010). Sementara itu, tradisi tersebut jarang terjadi di Amerika dan Eropa. Hal itu disebabkan oleh kurangnya reportase dari ahli bahasa tentang hubungan bahasa dengan hukum, dan kepercayadirian aparat hukum dalam pengetahuan bahasa.

    Pengadilan menggunakan rangkaian teori untuk menginterpretasikan undang-undang dan mengaitkannya pada kasus yang dihadapi. Teori-teori tersebut  menyediakan beberapa petunjuk untuk menuntun aparatus pengadilan dalam menyelesaikan pemaknaan kata-kata (Carney, 2014:327). Permasalahannya adalah banyak praktik-praktik hukum yang masih menginterpretasikan kata-kata hanya berdasar dengan makna kamus (leksikal) atau kasus-kasus yang pernah terjadi (Botha, 1998:103; Hutton, 2009: 86—87; Mouritsen, 2010; Solan, 1993:50; Thumma dan Kirchmeier, 1999). Sementara itu, kamus sangatlah terbatas sehingga memerlukan studi lebih lanjut sebanyak alat-alat kebahasaan dalam pencarian makna yang kompleks, sedangkan kasus-kasus yang pernah terjadi tidak bisa dijadikan pedoman utama dalam memberikan keputusan karena tidak selalu bersumber dari isu bahasa dan tidak selamanya mencerahkan masalah-masalah kebahasaan (Carney, 2012).

    Permasalahan-permasalahan di atas sebenarnya juga belum selesai terjawab dalam konteks pengadilan Indonesia. Hal itu menyebabkan timbulnya pertanyaan-pertanyaan lain yang cukup sering dilontarkan seperti “bagaimana Anda bisa menjelaskan adanya kesalahan dalam kasus ini menurut perspektif ilmu bahasa”, “bagaimana Anda bisa menjelaskan bahwa ada kejahatan dalam berbahasa”, “teori kebahasaan apa yang Anda gunakan untuk menjelaskan itu”, “bagaimana kewenangan ilmu bahasa bisa menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang tidak baik”, bahkan pertanyaan-pertanyaan yang terkadang terkesan kurang relevan.

    Dalam waktu-waktu tertentu, saya menjawabnya secara spontan atau menjelaskannya secara sekilas. Jawaban spontan, misalnya, bahwa semua hal dalam cara hidup kita dapat disampaikan melalui berbahasa. Kita bisa memahami suatu masalah jika kita menjelaskannya dalam bahasa. Kita menyampaikan aspirasi, pikiran, ide, rencana, dan melaporkan sesuatu dalam tindakan berbahasa. Kita bisa menyelesaikan suatu masalah dan dapat saling memahami dengan menggunakan bahasa dan tindakan berbahasa.

    Pada kesempatan lain, saya menjawab seperti ini: berkomunikasi itu meliputi tiga hal berbahasa, yakni komunikasi yang bersifat verbal (baik tertulis maupun lisan), secara visual (dan audio), dan secara kinetik (gerakan tubuh atau gerakan organ tubuh). Hal yang ingin saya tekankan adalah bahwa berbahasa itu merupakan suatu tindakan yang meliputi tiga hal, yakni berbicara (bertutur), menulis dan menyampaikan pesan lewat gambar (bisa jadi dengan dukungan suara tertentu), atau mengepalkan tangan, menutup bibir dengan telunjuk jari, dan sebagainya. Tindakan lain, semisal kita melakukan perbuatan dalam kata kerja (aktif) sebagai cara berbahasa kinetik, seperti berjalan, berlari, memukul, menendang, dan sebagainya.

    Ilmu-ilmu linguistik, pada umumnya, lebih memusatkan objek material bahasa sebagai bahasa tertulis, atau sesuatu yang harus dan perlu ditulis sebagai bahan atau data kajiannya. Pada akhirnya, berbagai gerakan tubuh, sebagai bahan yang kemudian dikaji, perlu dideskripsikan atau ditulis. Akan tetapi, hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa tindakan tubuh dapat menjadi data langsung dalam memahami atau mengkaji berbagai peristiwa. Kini, berbagai kejadian atau peristiwa cukup banyak terekam secara langsung, sehingga rekaman tersebut dapat dijadikan bahan atau objek material kajian kebahasaan.

    Saya sering tidak puas dengan jawaban saya ketika ditanya tentang berbagai hal mengenai kebahasaan. Itulah sebabnya, saya berpikir untuk menjawabnya secara tertulis, dengan harapan, saya bisa menjawabnya secara lebih bertanggung jawab. Dalam kesempatan ini, saya akan menjelaskan beberapa hal. Pertama, apa itu bahasa dan berbagai implikasi terkait dengan cara berbahasa. Kedua, masalah prasangka dan bias berbahasa. Ketiga, masalah mengapa banyak cara berbahasa memperlihatkan kesalahan, terutama kesalahan teknis. Keempat, masalah berbahasa sebagai masalah etika (moral), dan kesalahan sosial lainya.

    Kelima, masalah kesalahan berbahasa bukan saja meliputi kesalahan etik dan/atau moral, tetapi merupakan tindakan kejahatan berbahasa. Seperti telah disinggung sebelumnya, kasus masalah bahasa sudah sering masuk ke ranah hukum, baik itu kasus perbuatan tidak menyenangkan, pembohongan, penghinaan, pelecehan, penistaan,  pencemaran nama baik, fitnah, hasutan, adu domba, makar, maupun tindakan berbahasa lainnya yang dinilai melanggar hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

    Keenam, masalah bagaimana menempatkan bahasa sebagai berwacana dan masalah perbedaan penafsiran. Berbahasa sebagai berwacana merupakan tindakan berbahasa yang ditempatkan sebagai tindakan bermotif dan bertujuan. Dalam posisi bermotif dan bertujuan itu, tindakan berbahasa dikontestasikan dengan berbagai tindakan berbahasa lainnya. Seperti munculnya masalah perbedaan penafsiran dalam rangka menjelaskan mengapa terjadi perbedaan penafsiran. Bagaimana berbagai perbedaan penafsiran tersebut dapat diuji untuk mengetahui mana penafsiran yang paling mendekati kesepakatan untuk dianggap benar.

    Kajian dalam buku ini tidak membahas KUHP, misalnya yang terkait dengan UU ITE, atau UU tentang berita bohong, penghinaan, pencemaran nama baik, atau makar, dan lain-lain. Sebenarnya, walaupun bahasa hukum memiliki kaidah tersendiri, bahasa undang-undang juga merupakan hasil dari suatu peristiwa berbahasa. Kajian di sini lebih berfokus pada penggunaan bahasa sebagai peristiwa dan tindakan berbahasa dalam keseharian. Sementara itu, KUHP dan UU lainnya, bukan wacana melainkan menjadi ketetapan hukum. Memang, apapun itu terkait dengan UU, perlu selalu dicermati dan dikritisi agar UU menjadi lebih baik dan benar.

    Untuk menjelaskan persoalan di atas, sesuai kebutuhan untuk menjawab beberapa persoalan yang relevan, saya akan menggunakan konsep-konsep linguistik forensik secara umum. Linguistik forensik, merupakan sub-disiplin dari linguistik terapan dan para pioner yang mengaplikasikannya ke ranah hukum, terutama dalam ranah pengadilan. Seperti halnya Cunningham, Levi, Green dan Kaplan (1994:1568) mengutarakan:

    … adalah benar bahwa linguistik atau ilmu bahasa dapat dibuat menjadi pertimbangan dalam pencarian dan analisis pada tataran ketakterbatasan varietas dari ujaran kebahasaan. Metode-metode dalam eksplorasi yang dilakukan oleh para ahli bahasa hingga membuat progres saintifik pada beberapa dekade dapat menentukan proses pencarian dan analisis pada isu-isu tekstual yang kompleks dan kasus-kasus yang susah dipahami.

    Untuk melengkapi penjelasan lebih lanjut, saya menggunakan teori-teori semiotik, hermeneutik, dan kewacanaan. Namun, payung pendekatan utama yang saya pakai adalah pendekatan struktural dan pascastruktural. Kedua pendekatan tersebut sekaligus saya pakai karena saling melengkapi.  Asumsi pendekatan struktural adalah terdapatnya kuasa struktur yang membentuk dan menentukan subjek berbahasa (lihat Boye dan Engberg-Pedersen, 2020: 128–129). Sementara itu, pendekatan pascastruktural berasumsi bahwa wacana, dalam posisi struktural subjek (seorang manusia), ikut membentuk dan mengkonstitusi subjek berbahasa (lihat Pavel, 1989: 90). Beberapa ilmu bantu lain, sebagai rangkaian dari ilmu-ilmu sosial-humaniora, digunakan untuk melengkapi diskusi, seperti beberapa literatur  sejarah, antropologi, psikologi, sosiologi, politik. Buku-buku bantu itu terutama ketika menempatkan bahasa sebagai objek materialnya.

    Data-data yang akan dibicarakan berupa data yang hanya sebagai contoh, ada data primer yang saya dapatkan (tidak saya sebutkan sumbernya karena beberapa alasan), dan terdapat beberapa data yang sifatnya umum. Sebagai misal, uraian membahas implikasi bias berbahasa, maka data yang dipakai adalah data yang sudah beredar di kalangan masyarakat. Sebagian data diambil di media sosial, dan mohon izinnya, tidak disebutkan sumbernya, karena data di media sosial itu juga seperti “milik umum”.

    Sebagai sistematika, sesuai dengan urutan masalah, masalah bahasa, berbahasa, dan bias berbahasa dijelaskan dalam bab 2 dan bab 3. Masalah kesalahan teknis dan nonteknis berbahasa pada bab 4. Berbahasa yang mengandung kesalahan  dan ketika bagaimana cara berbahasa, dengan kandungan tertentu, dengan ekspresi tertentu, bisa masuk ke dalam ranah apa yang disebutkan sebagai kejahatan berbahasa dalam bab 5 dan bab 6. Sementara itu, bab 7 menjelaskan perihal berbahasa sebagai berwacana dan masalah-masalah penafsiran tentang kewacanaan tersebut.

    Dalam kesempatan ini, perkenankan saya melampirkan tulisan tahun 2013 yang berjudul “Mengkatai Kata-Kata”, yakni tentang bahaya berbahasa jika kita tidak hati-hati dan waspada dalam menggunakan kata-kata. Walaupun sebagai lampiran, tulisan itu diletakkan di bab 8. Dalam tulisan tersebut, secara eksplisit saya bertanya, “Begitu berbahayakah kata-kata? Begitu melukaikah kata-kata? Kenapa orang bisa berbunuhan karena kata-kata?”


Showing 13–24 of 76 results

logo-gambang-footer

Jika Anda Merasa Kesusahan dalam Berbelanja Buku dari Website Kami Silakan Order Melalui Nomor WhatsApp Berikut : 0856-4303-9249

Top