Shop

Showing 25–36 of 76 results


  • Berbagai tipe karakteristik peranakan Tionghoa yang akhirnya menetap dan beranak-pinak di Indonesia itu mempengaruhi pula ideologi yang secara implisit tergambar dalam karya sastra yang mereka tulis. Selain  pergulatan hidup yang keras sebagai perantau di masa pendudukan  Belanda, mereka juga mendapatkan diskriminasi, persaingan dan gesekan antaretnis, antarbangsa, dan persaingan sesama diaspora Tionghoa sendiri. Problem dalam masyarakat yang heterogen  dan isu identitas  yang hibrida ini sangat kental terefleksikan dalam karya-karya mereka.

    Buku ini menampilkan berbagai perspektif yang menceritakan dinamika masyarakat Tionghoa dan pribumi pada masa puncak kejayaan kesusastraan peranakan Tionghoa di Hindia Belanda. Sedikitnya ada 13 tulisan  dalam buku ini yang menganalisis dinamika masyarakat Tionghoa, bumiputera, dan pemerintah kolonial Belanda sebelum kemerdekaan Indonesia dalam karya sastra.

  • Kanjeng Condrowasesa (Kuswarsantyo) yang saya ketahui adalah putra dari Mas Nartomo (alm.) atau KRT.Condroradono yang juga tokoh Tari Klasik Gaya Yogyakarta sekaligus Abdi Dalem Kridha Mardawa. Kiprah Kanjeng Condro memang nunggak semi dengan alm. ayahnya di dunia Tari Klasik Gaya Yogyakarta, khususnya di Kraton Yogyakarta. Hanya saja Kanjeng Condro ini melanjutkan kiprahnya di dunia akademik untuk mengkaji seni pertunjukan khususnya tari dalam berbagai dimensi. Keahlian ini sangat penting untuk mendukung upaya pengembangan seni tari ke depan agar lebih mendalam dalam pemahaman isi maupun filosofinya, sehingga tari tidak hanya dipandang sebagai skill ansich.

     

    Terkait dengan pidato pengukuhannya tentang Intermedialitas dan Makna Beksan Ajisaka yang konsep naskahnya saya tulis berdasarkan Serat Ajisaka, ternyata menarik untuk dijadikan referensi pendidikan karakter. Kejelian menganalisis dan mengkaji isi beksan itu yang saya apresiasi, sehingga beksan Ajisaka ini tidak sekedar tontonan, namun benar-benar menjadi tuntunan hidup bagi manusia.

     

    Saya berharap semoga kiprah Kanjeng Condro ke depan baik di Kraton  sebagai Abdi Dalem Kridha Mardawa, maupun di kampus sebagai tenaga pengajar untuk konsisten mengkaji karya seni tari lain baik yang ada di Kraton maupun yang ada di luar Kraton. Dengan itu maka sebuah karya tari akan semakin bermakna bagi kehidupan. Selamat saya ucapkan atas Gelar Profesor bidang Ilmu Pengkajian Seni Tari untuk Kanjeng Condrowasesa.

     

     

    Yogyakarta, 3 Agustus 2023

    Hamengku Bawono ka-10

  • Mizraim diarak ke alun-alun. Pengadilan terbuka, seperti yang sering terjadi di desa itu, bukanlah tempat untuk membuktikan bahwa seseorang tidak bersalah melainkan sebuah usaha untuk mendesak seseorang mengaku. Di tiang gantung Mizraim berteriak-teriak bahwa ia tak bersalah; bahwa penduduk desa tak tahu berterimakasih. Ia menyebutkan jasa-jasanya di medan perang, menyebut nama teman-temannya yang mati, mengutuk betapa anak muda zaman sekarang tak menghargai jasa pahlawan yang membuat mereka bisa hidup tanpa ancaman. Mizraim baru diam saat tali menyentuh kulit lehernya. Ia menelan ludah. “Seperti dugaanku, kalian bersekongkol untuk membunuhku. Tapi, kenapa baru sekarang?”
    Orang yang Ingin Mati sebagai Pahlawan
    Ia mulai membuka kios setelah putus asa mencari kerja selama satu tahun pasca lulus SMA. Kemarau pencari kerja yang tekun, sebenarnya, selain itu ia rajin sembahyang dan selalu bangun saat mendengar adzan subuh. Sesungguhnya ia layak menuntut keadilan pada Tuhan atau memprotes ibunda tercinta mengapa ia dilahirkan ke dunia. Tetapi ia tidak melakukannya. Ia bukan orang yang mau berdebat dengan nasib. Kedua orangtuanya lalu menyarankan agar ia menikah saja, mereka percaya pernikahan akan membuka pintu rezeki. Meski Kemarau tak menolak ide itu, toh ia tetap belum menikah hingga detik ini. Bukan karena tak ada perempuan yang mau. Soal asmara, ia punya keyakinan sendiri.
    Jam Sibuk

     

  • Puisi-puisi di Kitab Air Pasang ini mayoritas ditulis kurun 1996-2006. Ada beberapa yang ditulis setelah 2007, saat Agus Hernawan melanjutkan studi di Amerika Serikat. Setelah 2010, Agus Hernawan lebih banyak menulis artikel untuk opini Harian Kompas yang tidak berkaitan dengan puisi dan sastra. Puisi-puisi awal dan belakangan tidak ikut hadir. Selain faktor dokumentasi yang buruk, juga alasan subyektif, bahwa Agus Hernawan menulis puisi.

  • Setiap orang memiliki kesedihan dan kebahagiaannya masing-masing. Manusia sebagai pencerita dan tokoh cerita menjadi pelaku serta saksi atas prahara, pelik persaingan untuk saling menjatuhkan. Jiwa terampas oleh kecemburuan, keserakahan. Lantas bagaimana makna sebuah hubungan dalam guratan nasib penuh teka-teki? Semuanya ada di dalam buku kumpulan cerpen ini.

  • Kumpulan puisi ini membawa kita ke dalam refleksi mengenai hubungan antar manusia, waktu, dan peristiwa. Di antara waktu yang bergegas dan waktu yang berjalan lambat, kadang manusia terasing dalam suasana gamang dan linglung seperti terlukiskan dalam sajak pendek yang menyentuh, “Pagi di Kantor Pos”: Mengantre// Tapi tak ada lagi / Surat kukirim.
    (Joko Pinurbo – penyair)

    Bagi setiap penyair, puisi sudah ada dalam hatinya sebelum terlahir. Ratna Ayu Budhiarti menyimpan seluruh kandungan magma dalam arus bawah sadar, dan kumpulan puisi ini bagai refleksi atas setiap letup peristiwa yang dialaminya. Ia perempuan yang mewakilkan citra dirinya dalam ketegaran, introspeksi, pelbagai pertanyaan tentang hidup, dan penyerahan yang indah sebagai puisi.
    (Kurnia Effendi – penulis prosa dan puisi)

    Lembut, puitis, dan bermakna. Inilah kesan utama setelah membaca sajak-sajak Ratna Ayu Budhiarti dalam buku ini. Kelembutan yang merepresentasikan dunia perempuan yang diungkapkannya. Kepuitisan yang menandakan kepiawaiannya dalam menyusun kata-kata secara indah dengan metafor-metafor yang unik dan segar. Dan, kebermaknaan yang mengisyaratkan kedalaman makna dan pesan yang disampaikannya.
    (Ahmadun Yosi Herfanda – penyair dan pemimpin redaksi portal sastra Litera)

  • Buku ini memberikan bekal bagi pribadi-pribadi yang menginginkan pemahaman akan perwujudan nilai-nilai budi pekerti luhur dalam kehidupan sehari-hari. Ungkapan-ungkapan yang disajikan dalam buku ini dipilih, diolah, dan diselaraskan dengan kehidupan masa kini agar mudah dipahami khalayak bangsa Indonesia yang berbahasa ibu bahasa daerah dan berbahasa nasional bahasa Indonesia. Oleh karena itu buku ini ditulis dalam bahasa Indonesia dengan tidak meninggalkan ruh bahasa Jawa yang menjadi bahan pembentuk ungkapan-ungkapan dimaksud.

    Ungkapan dalam bahasa Jawa adalah salah satu sarana untuk mengajarkan dan melestarikan nilai-nilai moral dalam masyarakat Jawa. Ungkapan-ungkapan tsb sering bersifat simbolik dan mengandung makna filosofi yang tinggi tetapi tidak semua orang Jawa (terutama generasi muda) sanggup memaknainya. Oleh karena itu diperlukan penafsiran sebagaimana makna yang diidealkan oleh para pendahulu kita.

    Buku ini disusun untuk menjadi jembatan antara generasi tua dan generasi muda Jawa dalam rangka menghidupkan nilai-nilai luhur budaya Jawa khususnya nilai-nilai budi pekerti. Budi pekerti hanya bisa diturunkan melalui pelatihan dan pembiasaan, keteladanan dan srawung yang lugas. Penerapan budi pekerti menurut Ki Hajar Dewantara berada pada tataran diri pribadi, keluarga, kehidupan bersama (bebrayan), sesama manusia, dan pada tataran bangsa. Nilai-nilai budi pekerti (Jawa) itu sendiri banyak terdapat dalam ungkapan bahasa Jawa, oleh karena itu ungkapan bahasa Jawa perlu dihidupkan terus sepanjang masa.

    Menghidupkan nilai-nilai budi pekerti Jawa melalui penghayatan dan pemahaman makna ungkapan Jawa sangat penting karena etnik Jawa yang merupakan etnik terbesar di Indonesia kini menghadapi kendala yang serius. Kendala tersebut antara lain terputusnya tradisi pemakaian bahasa Jawa sehari-hari di kalangan generasi muda Jawa (terutama yang hidup di kota) khususnya dalam hal memahami ungkapan bahasa Jawa.

  • CATATAN PENGANTAR

    Hingga berusia sekitar 50 tahun, tidak lebih dari 10 puisi yang pernah kubuat. Itu pun karena permintaan beberapa teman, bahwa puisi itu akan dilagukan (dimusikalisasi). Memang, dari beberapa puisi tersebut, ada dua puisi yang dilagukan. Aku merasa membuat puisi itu sulitnya minta ampun.

    Dalam perjalanan hidupku, aku bergulat dengan sastra, mengajar dan menulis. Cukup banyak tulisanku, terutama untuk tulisan yang bersifat akademis, dan lebih dari 330 esai opini yang telah diterbitkan di sejumlah media massa.

    Dalam perjalanan karierku menulis itu, aku juga menulis sejumlah cerpen, dan naskah drama. Cerpenku pernah dimuat di banyak media massa, dan diterbitkan dalam sebuah kumpulan antologi Keboji (2009), yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Budaya UGM.

    Sekali lagi, aku merasa aku tak mampu menulis puisi. Padahal, hampir setiap hari aku bercengkrama dengan prosa dan puisi.

    Pada suatu malam, di awal tahun 2016, tiba-tiba aku ingin menulis puisi. Ada semacam getaran halus yang meminta aku menulis puisi. Dengan berbagai keraguan dan kerinduan, aku memenuhi panggilan tadi. Jadilah puisi, yang aku sebut sebagai para mantra. Ini memang soal pilihan, jadi ketika aku menulis puisi-puisi ini, aku seperti menulis mantra.

    Tentu aku berterimakasih kepada Tuhan (Tuhan ampunilah dengan dan bersama puisi mantraku). Aku berterimakasih kepada anakku Ainina Zahra dan istriku Pristi Salam, yang ketika aku menulis puisi mantra ini, mereka membiarkan aku berlagak sok jadi penyair, bahkan sedikit sok menjadi filsuf.

    Terimakasihku kepada para teman di Pusat Studi Kebudayaan UGM, dan terimakasih kepada para teman klangenanku dalam bersastra dan blusukan ke berbagai tempat.

    Terimakasih kepada siapa saja yang berkenan membaca puisi mantraku. Semoga bisa jadi mantra dalam arti yang sesungguhnya.

    Yogyakarta, 29 Februari 2016

    Aprinus Salam

  • Buku kumpulan puisi Nissa Rengganis

  • Kajian-kajian sosiologis terhadap kesusastraan sudah cukup lama dan tentu juga sudah cukup banyak. Kajian-kajian sosiologis yang bersifat struktural telah mampu memilah-milah dan mengidentifikasi relasi sebab-akibat, posisi-posisi, dan berbagai perubahan struktural dalam hubungan-hubungan antara pengarang, karya sastra, masyarakat, dan berbagai institusi lain yang relevan. Kajian tersebut telah menjadi mapan sehingga kebaruan analisis akan bergantung pada kebaruan yang terjadi pada lingkungan sosial dan cara ekspresi yang dikembangkan oleh pengarang. “Masalah-Masalah Dalam Kajian Sosiologi Sastra Posmarxis” menyajikan pembahasan dari berbagai sudut pandang dari tokoh-tokoh dalam teori sosiologi sastra dengan objek kajian karya sastra bahkan film. Pendekatan sosiologi sastra dari Agamben, Pierre Bourdieu, Terry Eagleton, Jacques Ranciere, Žižek dipadukan dalam satu buku dengan berbagai teori; Homo Sacer, Dominasi Maskulin, Kritik Materialisme Historis, Politik Sastra, dan Fantasi Ideologis. Dengan disajikannya berbagai pendekatan sosiologi sastra diharapkan mampu meramaikan khazanah kajian sastra baik dari sudut pandang pembaca, kritikus, maupun peneliti.

  • Sajak-sajak dalam antologi puisi Matahari Sebutir Pasir ini bisa saya katakan sebagai sajak-sajak yang terselamatkan. Sejak menulis puisi di bangku sekolah menengah, saya tidak pintar mendokumentasikan karya sendiri—bahkan mungkin kesadaran pentingnya menyimpan sebuah karya tidak ada dalam benak saya kala itu. Hal itu dikarenakan saya terlibat dalam gerakan pelajar dan berlanjut menjadi seorang aktivis, pada masa yang menuntut atau menyita waktu saya berlebihan, juga pikiran, tenaga dan jiwa saya sendiri, sehingga intensi saya terhadap puisi menurun akibat seringnya turun ke jalan dan merapat dalam kumpulan para aktivis, seniman dan budayawan pada masa transisi politik di negeri ini.

     

    Meski proses kreatifitas saya tersenda-sendat oleh idealisme politik-aktivisme yang saya hayati sebagai kewajiban anak bangsa, pada saat yang sama saya ikut menjadi pemimpin redaksi Senthir, jurnal kebudayaan untuk pelajar pada masa itu, serta meluangkan waktu mengirimkan tulisan, baik puisi, cerpen dan esai ke media massa dan majalah sastra. Sekarang, yang terlacak dari proses kepenyairan saya di masa pelajar tersebut dapat dijumpai pada sejumlah buku antologi seperti Horison Kakilangit (2001), Bengkel Sastra (1998), Pelajar mengenang Chairil (1998). Selebihnya telah lenyap, tidak terlacak lagi.

     

    Bagi saya sekarang, kepenyairan harus sungguh-sungguh diperjuangkan dan tidak bisa dianaktirikan. Saya tersadarkan oleh pernyataan Saini K.M, “Kepenyairan tidak terwujud berdasarkan keingintahuan saja, kepenyairan juga bukan karena menguasai dengan baik teknik menulis puisi. Kepenyairan lebih berdasarkan pada Panggilan!” Saya tidak memungkiri, proses kepenyairan di masa pelajar masih sebatas keinginan dan tujuan-tujuan sederhana. Meski begitu, pergulatan saya di ranah perpolitikan juga tidak luput dari pernyataan Chairil Anwar yang berkata, “Tiap seniman harus seorang perintis jalan, tidak segan memasuki hutan rimba penuh binatang buas, mengarungi lautan lebar tak bertepi, seniman ialah tanda hidup yang melepas bebas!”

     

    Saya yang melibatkan diri dalam politik, turun ke jalan, tanpa sadar telah menafikan akan pentingnya sebuah sajak berhadapan dengan kekuasaan. Saya juga memaklumi, masa itu adalah masa pencarian, di mana saya masih memandang segala kemungkinan dan ketepatan dengan sebelah mata. Sajak-sajak dalam antologi ini, yang saya tulis dari tahun 1996-2010, merekam peristiwa-peristiwa Orde Baru, tumbangnya dan masa transisi yang berliku, baik yang saya terlibat langsung atau pun tidak. Di samping rekaman peristiwa itu, terdapat tema terkait persoalan-persoalan cinta, transformasi desa-kota, spiritualitas, dan lain sebagainya.

     

    Bisa dikatakan, saya adalah seniman yang bangkrut atas keteledoran saya. Saya banyak kehilangan tulisan-tulisan saya mengingat saya senang berkeliaran kesana-kemari, bertemu kawan yang kamarnya saya pinjam untuk tidur atau berkarya. Selama kepenyairan, saya juga mengalami goncangan hebat yang membuat saya patah dan surut semangat atas hilangnya tiga kumpulan sajak saya, yang dipinjam kawan perempuan. Bagi saya karya itu sangat penting dan berharga, semoga yang termaksud dapat mengetahui hal ini dan bisa secepatnya mencari dan mengembalikan untuk memulihkan harapan dan mimpi-mimpi saya.

     

    Sajak-sajak dalam kumpulan sajak ini saya temukan dalam simpanan kawan saya, Andi Magadhon, yang tertinggal di rumahnya. Saya sangat berterima kasih kepadanya serta pihak-pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan. Harapan saya, semoga kumpulan sajak ini bermanfaat dan semakin memperkaya dunia sastra di tanah air Indonesia.


Showing 25–36 of 76 results

logo-gambang-footer

Jika Anda Merasa Kesusahan dalam Berbelanja Buku dari Website Kami Silakan Order Melalui Nomor WhatsApp Berikut : 0856-4303-9249

Top