Esai: Hasta Indriyana*
(Catatan atas Kumpulan Cerpen “Sebelum Telepon Berdering”)
Ulasan atau kritik sastra, sesederhana apapun diperlukan. Tujuannya untuk mengapresiasi sekaligus mendedah hal-hal yang terkandung di dalam karya. Buku kumpulan cerpen “Sebelum Telepon Berdering” (STB) karya Kun Andyan Anindito penting untuk dikaji karena keunikannya, ciri khas gaya yang disampaikannya. Dalam sebelas cerpen, penataan alur beragam; sudut pandang beragam; tema beragam; dan disajikan dalam kesegaran bahasa.
Sebagian besar cerpen yang ada dihabiskan dengan narasi. Gaya ini banyak muncul di tahun-tahun 2005 ketika Puthut EA, Eka Kurniawan, Gunawan Maryanto (ketiga penulis aktif di Akademi Kebudayaan Yogyakarta), dan cerpenis seangkatan itu beramai-ramai mengharu biru media massa. Salah satu cirinya adalah keruntutan dan kedetilan bercerita. Sederhananya, menceritakan kejadian kecil dengan teliti dan menghabiskan larik-larik kalimat.
Cerpen memiliki ruang terbatas tetapi bagi Anindito, cerpen bisa dipenuhi deskripsi dan narasi yang “sepertinya” tidak mendukung inti cerita. Orang akan mengatakannya sebagai “akrobat” atau “kembang kalimat” atau “berbusa-busa”. Tampak kentara jika kita membandingkannya dengan cerpen-cerpen karya Ahmad Tohari, Umar Kayam, Hamsad Rangkuti, Joni Ariadinata, dll. yang padat karena kuatnya perwatakan tokoh, pola pengaluran, dan bahasa yang cenderung ringkas (sebagian orang menyebutnya sebagai cerpen konvensional).
Akan tetapi, ada hal yang tidak disadari pembaca bahwa dengan narasi detil dan berhati-hati, saat itulah tak terasa bahwa pencerita telah menciptakan “alur bahasa”. Apakah alur bahasa itu? Pembaca dengan patuh dan hati-hati mengikuti irama kata-kata, warna kata yang dipilih, dan semua itu adalah bangunan rasa ingin tahu (suspense). Salah satu ciri cerita yang demikian adalah menulis cerita dengan kalimat-kalimat panjang.
Di dalamnya sering ditemui gaya bahasa interupsi, yang menyela dan menerangkan satu hal agar lebih jelas dan rinci. Ciri lain kalimat ini adalah penggunaan kata sambung (konjungsi) yang melimpah dalam satu kalimat. Misalnya cuplikan berikut, Salah seorang mahasiswanya, yang saat itu diberi tugas menulis cerita pendek, menulis tentang seorang laki-laki yang tidak bisa melupakan cerita cinta pertamanya dan rela menunggu selama 51 tahun, 9 bulan, dan 4 hari untuk mendapatkannya lagi. (hlm. 23)
Kalimat-kalimat yang dipakai dalam cerpen-cerpen STB mengacu novelis Gabriel Garcia Marquez. Marilah kita cermati kalimat berikut. Ia menjelajah dari rumah ke rumah sambil menyeret dua batang besi, dan tiap orang tampak terheran-heran melihat pot-pot, panci-panci, dan kompor-kompor berhembalang dari tempatnya, dan percikan cahaya yang terpancar dari paku-paku yang terus bergesekan dan sekrup-sekrup yang terus bermunculan; bahkan benda-benda yang telah hilang untuk jangka waktu lama, yang sudah dicari tempat semula tapi tidak ditemukan, kini tampak ikut terseret dalam suasana hiruk-pikuk di belakang besi-besi ajaib yang dibawa Melquiadez. (“Seratus Tahun Kesunyian”, Bentang, 2003)
Gaya kalimat seperti itu sangat berbeda jika kita membandingkannya dengan cerpen-cerpen karya Joni Ariadinata. Misalnya, nukilan cerpen “Prabu” berikut ini. Aspal. Sedikit lembar sampah terserak di tepi. Sirine, raungan polisi, memandang asap knalpot pagi tadi membentuk sejumlah partikel dan lama lenyap. Menunggu. Tak ada kendaraan. Jam Sembilan. Mestinya lalu-lintas macet. Ada tragedi nampaknya. (“Kastil Angin Menderu”, Indonesia Tera, 2000)
Cerpen-cerpen Anindito adalah produk bahasa tuturan rinci dengan kalimat panjang sebagaimana Marquez, sementara Joni adalah pengguna bahasa padat, yang terkadang menabrak gramatika: mampat dan ringkas.
Hal menarik buku STB adalah sudut pandang tuturan yang sebagian besar dengan kaca mata perempuan. Di antara 11 cerpen, tiga saja cerpen yang memakai sudut pandang laki-laki, yaitu “Kamera Poladodo”, “Kata Busuk”, dan “Pensiun dan Rencana yang Lain”. Membaca kecemasan-kecemasan tokoh perempuan dalam STB, menunjukkan pengarangnya memiliki empati pada permasalahan perempuan. Kekalahan demi kekalahan yang dialami kaum perempuan miskin dideskripsikan dalam sebuah konflik batin yang alami. Simak nukilan “Kue-kue Ampunan” berikut.
Lagi-lagi, perasaan aneh menyergap tubuhnya. Ia senang karena menjadi perempuan sutuhnya, namun ia juga sedih. Kehamilan ini diluar kemauannya, sedangkan majikannya tidak mau bertanggung jawab. (“Kue-kue Ampunan”, hlm. 32). Atau dalam cerpen “Sebelum dan Sesudah Aku Mati”, Setelah kuputuskan untuk menunda kuliah, aku bekerja sebagai pegawai di salah satu toko Swalayan. Ini semata-mata kulakukan karena aku tak tega melihat ibu yang susah payah mencari uang, dan tentu saja agar aku bisa menabung untuk persiapan kuliah nantinya. (hlm. 72)
Kesegaran STB ditunjukkan pemilihan tema sosial yang beragam. Tema korupsi dan busuknya perilaku pejabat dimunculkan dalam “Mestinya Dia Tak Menyidam Tikus” dan “Kamera Poladodo”. Dua cerpen pembuka ini memiliki peluang menjadi cerpen mengagumkan jika Anindito mampu menjaga kehati-hatian dalam menata alur dan suspense. Karena kurang hati-hati, dua cerpen ini tampak klise, ending dan arah pembicaraan bisa ditebak.
Dalam cerpen “Kue-kue Ampunan”, Anindito berhasil menciptakan cerita utuh yang berkesan, yaitu tema duka tenaga kerja wanita dalam balutan tradisi nyebar apem di Klaten, Jawa Tengah. Tema etnis Cina dalam tragedi 1998 digarap dalam cerpen “Sebelum Telepon Berdering”. Meskipun isi cerpen adalah tempelan, namun tidak merusak keutuhan cerita. Alur dalam cerpen “Sebelum Telepon Berdering” digarap dengan apik dengan menampilkannya menjadi sketsa-sketsa per tema atau per tokoh seperti dalam pengaluran cerpen “Kamera Poladodo”, dan “Narator, Perempuan, dan Lelaki di Sampingnya”.
Tema tentang mitos digarap dalam dua cerpen, yaitu “Kata Busuk” dan “Sebelum dan Sesudah Aku Mati”. Tema korban tragedi 1965 digarap dalam cerpen “Narator, Perempuan, dan Lelaki di Sampingnya”. Sementara, dua cerpen pamungkas bercerita tentang kehidupan keluarga, yaitu “Perempuan yang Menunggu” dan “Pensiun dan Rencana yang Lain”.
Anindito adalah cerpenis muda yang belum banyak mempublikasikan karya-karyanya. Tercatat dalam biodata, cerpen-cerpen yang ada di dalam STB adalah cerpen pemenang sayembara menulis cerpen, dan beberapa dimuat di media massa. Meskipun demikian, ada kelebihan yang dimilikinya, selain yang saya sebutkan di atas, yaitu penggarapan suspense yang kuat; surprise yang baik (hlm. 26, 35, 55, 75, 83, 91, 97); dan pengaluran yang kaya (narator, cerita berbingkai, sketsa-sketsa).
Modal baca cerpenis STB adalah gaya kelas menengah ke atas. Referen yang dijumputnya material yang melingkupi kelas tersebut. Misalnya, ia mengutip nama-nama tokoh musik klasik Eropa seperti Mozart, Beethoven; tokoh sastra dunia seperti Murakami, Kawabata, Neruda; pemain bola seperti Conte, Zidan, Del Piero. Penulis belum menemukan referen persoalan sosial kelas bawah, misalnya mengutip lirik lagu dangdut koplo, nama-nama bandar judi di Klaten, pisuhan, dan lain-lain.
Anindito adalah pencerita yang baik. Salah satu kelebihan pencerita, dalam hal ini Anindito, adalah kesadaran dirinya bahwa ia menguasai teknik bercerita. Harapan penulis, Anindito bisa mengembangkan kemampuannya, paling tidak memperbanyak publikasi di media massa, karena cerpenis muda ini adalah aset bagi perkembangan sastra Indonesia.
*Penulis, pekerja seni tinggal di Sleman
Sumber: Koran Merapi, 22 Februari 2015