Anugerah Harian Indopos 2015 beberapa minggu lalu telah disiarkan. Nama Nissa Rengganis muncul sebagai salah satu pemenang dengan bukunya Manuskrip Sepi (Gambang Buku Budaya, 2015). Di antara para pemenang, yang paling menarik ialah Nissa Rengganis, ia merupakan satu-satunya penyair perempuan. Baiklah, frasa penyair perempuan ini bagi beberapa pemikir feminis bisa saja dirasa kurang adil karena tidak ada istilah penyair laki-laki. Penggunaan ini setara dengan pandangan Raman Selden yang pada suatu saat dia menuliskannya, “Dalam lembaga-lembaga akademik “teori” sering bersifat laki-laki, bahkan bersifat gagah-gagahan, studi sastra yang sukar, bersifat intelek, dan avant-garde”.
Sikap para juri, Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, dan Maman S. Mahayana, perlu diselidiki dan diberi pertanyaan; tak adakah penyair perempuan lagi yang memiliki nilai sama dengan Manuskrip Sepi? Dengan kata lain, Manuskrip Sepi merupakan buku puisi terbaik penyair perempuan dari sejumlah peserta lomba. Tetapi, dalam pandangan lain terjadi sebuah pertimbangan, tak ada pengategorian antara penyair (laki-laki) dan penyair perempuan. Dengan asumsi Manuskrip Sepi baik kualitas diksi, kesegaran bahasa, pilihan tema yang dibawa Nissa Rengganis mampu menjawab persoalan-persoalan perpuisian Indonesia saat ini.
Misalkan saja, perpuisian kita saat ini telah jauh melampaui batas-batas realitas para pembacanya. Puisi kita membicarakan “sesuatu yang lain” yang jauh dari persoalan manusianya. Dalam sebuah pasase penyair An. Ismanto berujar, sastra Indonesia kita tidak lagi yang kamal, sastra Indonesia kita hanya yang indah dan berfaedah. Maka, sastra Indonesia kita cenderung liberal. Pernyataan An. Ismanto adalah suatu masalah juga bagi prosa Indonesia. Dalam sejarah sastra Melayu itulah Vladimir I. berhadap karya sastra Melayu dari abad 7–19 dengan judul Yang Indah, Yang Berfaedah dan Kamal (1998).
Seorang kritikus sastra, Ignas Kleden (2004) pernah berkata, sajak sekurang-kurangnya ditulis karena dua alasan. Pertama karena dorongan hati penyair untuk merealisasikan bakatnya—semacam capaian kepuasan sebab memberikan isi dan makna kepada suatu tindakan; dan kedua, sajak dimanfaatkan sebab kemungkinan puitis yang ada padanya—sebagai medium untuk menyampaikan sesuatu yang lain.
Kita masuk pada suatu kemungkinan-kemungkinan tersebut; apakah dua tawaran Ignas Kleden ada pada Manuskrip Sepi? Lalu bisakah Manuskrip Sepi menjadi sebuah kemungkinan untuk menjawab persoalan perpuisian kita?
I/
Pertama, kita harus memahami konteks, di mana puisi-puisi Nissa Rengganis dilahirkan? Sebagai seorang sarjana Ilmu Politik, kemudian melanjutkan pascasarjana Hubungan Internasional, adalah fakta untuk mengantarkan kita pada sikapnya yang unik. Terhadap subyek pengkajiannya, sikap Nissa Rengganis menunjukkan dirinya sebagai seorang feminis.
Perempuan menangis
Di malam pengantinnya tak ada bercak darah
Ia mematung. Mengingat malam sebelumnya
Pernah basah di ranjang
…
(Ketakutan Suatu Malam)
Sebuah penggambaran yang gamblang—tanpa tutup para metafor. Sebagai sebuah pengakuan si penyair, bait sajak ini mengingatkan kita pada politik rumah tangga, sebuah upaya menghendaki kebenaran sepihak pada sebuah tubuh, sebuah kepentingan yang mengonstruksi paham-paham idealistis. Terhadap bait sajak ini, bisa dianggap sebagai sebuah impresi, kehendak untuk menekankan efek kesan, suatu pengaruh yang dalam terhadap pikiran dan perasaan (Indriyana, 2015: 93).
…
Pulanglah, pulanglah, anak-anakku
Air mata sudah tak mempan memadamkan segala cemas
Dan keputusasaan
Apakah penantian yang panjang
Tak juga membuatmu kembali hidup
Pada esok hari?
(Perempuan-perempuan Plaza De Mayo)
Sajak di atas berjudul “Perempuan-perempuan Plaza De Mayo”, ini di luar konteks peristiwa merupakan suara lantang seorang penyair untuk menjadi kuat, gagah, dan logis berhadapan dengan hidup. Bait sajak ini terdapat sebuah analogi filosofis: air mata sudah tak mempan memadamkan segala cemas dan keputusasaan. Lalu: apakah penantian yang panjang tak juga membuatmu kembali hidup pada esok hari?
Sajak lainnya berjudul “Hikayat Dewi Rengganis” dengan daya pikat model-model puisi alusi.
…
Itukah kau Repatmaja?
Lelaki yang dikutuk setia menjaga taman istirah
Atas penebusan dosa memetik kemolekanku
Matamu yang membangkitkan gairah perempuanku
Mata yang lebih risau dari nyala api pembakaran Shinta
….
Bait sajak ini cukup “nakal” dan “mengecam”. Khas subjektivitas penyair dengan alasan-alasan subtil. Ia adalah bait yang mendekonstruksi wacana tentang perempuan modern. Tetapi, betapa pun besar pembelaan tersebut disuarakan, ia hanya majas yang merujuk sebuah peristiwa, ketimbang eskpresi seorang Nissa Rengganis sendiri. Alangkah lebih baik, kita pindah pada bagian kemungkinan-kemungkinan selanjutnya.
II/
Alasan kedua, kita taruh di bagian akhir tinjauan. Dalam diskursus antropologis, tiba pada wilayah tafsir pada sajak “Nelayan Pantai Utara”. Penyair yang dilahirbesarkan di Cirebon, memotret sosio-historis masyarakat nelayan pantai Utara. Hal tersebut dapat juga, lebih-lebih, mengantarkan pada sebuah riwayat masa lampau tentang masa kolonial.
…
Wajah tirus para nelayan lebih muram dari bangkai kapal
Matanya risau merenungi langit. Dadanya bergemuruh
Membawa kecemasan pada langit dan bumi
Di masa silam kapal-kapal berlayar
Berkibarlah ulam jilu bergambar tiga ekor ikan satu kepala
Pertanda kapal saudagar kaya
Laut dalam perspektif kebudayaan adalah bagian dari kerja luhur masyarakat maritim. Telah dijanjikan di dalam dalil-dalil Tuhan, laut dan segala isinya telah diberkahi bagi orang-orang yang tidak melakukan pencemaran. Melalui puisi Nissa Rengganis di atas, terdapat ketimpangan wacana di wilayah kebudayaan tersebut. Kata kunci tirus, muram, bangkai, risau, bergemuruh, kecemasan, mencitrakan alienasi kaum nelayan di pantai Utara.
Begitu besarkah pengaruh sejarah manusia Cirebon? Pada frasa “ulam jilu bergambar tiga ekor ikan satu kepala” itu adalah lambang bendera pelabuhan Cirebon. Simbol yang berangkat dari akulturasi tiga budaya tersebut datang dari persebaran wilayah antara lain Mesir dengan membawa Islamnya, China mengusung Budhanya, dan Campa dengan Hindunya. Perpaduan budaya ini mengalami divergensi bahasa, dan barangkali secara kultur, baik penduduk yang bekerja di daratan maupun di lautan mengalami divergensi yang sama.
Dalam perspektif yang lain, “ulam jilu bergambar tiga ekor ikan satu kepala” memiliki makna filosofis. Ikan-ikan di dalam tasawuf Cirebon merupakan gambaran manusia yang di dalam dirinya terdapat nurullah, nur Muhammad, dan nurul ’alam. Ikan dalam tasawuf Cirebon membuat sebuah analogi bahwa, sejatinya, di kedalaman laut yang asin, ikan tidak pernah terkontaminasi oleh keadaannya.
…
Kincir angin letih memutar musim
Menyimpan perjalanan para nelayan
Menimbun rindu dan kenangan
Dalam ingatannya, aroma anyir sepanjang pantai tinggal sisa
Air garam merobek tubuhnya
Air mata dan luka menyatu di udara
…
Persoalan sosial ini sadar atau tidak, merupakan wacana yang urgen dibincangkan sejauh menyangkut sejarah dan ekonomi. Puisi yang satu ini selain membaca dampak, juga menafsirkan fenomena sosial masyarakat pantai utara. Terdapat gagasan intelektual berpadu dengan gagasan kontemplasi. Penafsiran Nissa Rengganis sangat implisit terhadap totalitas budaya Cirebon dengan segala transformasi sosialnya. Namun, kesegaran itu terlihat dalam satu judul puisinya tersebut.
III/
Dalam Manuskrip Sepi, kesegaran bahasa bisa diandalkan, tema boleh saja padu antardisiplin ilmu pengetahuan. Setiap puisinya, ini terjadi pada sajak-sajak yang dikutip di atas, tetapi tidak pada “Nelayan Pantai Utara”, tidak didapatkannya kefokusan dalam satu tubuh sajak. Dalam pembacaan ini, kalau demikian, puisikah yang gagal atau pembacanya yang gagal. Dan hal itu bisa dua-duanya terjadi dalam waktu yang bersamaan pula.[]
Mawaidi D. Mas, mahasiswa Sastra Indonesia FBS UNY.
Sumber: lppmkreativa.com