Banyak cara orang ketika membaca puisi. Cara-cara itu tidak lain untuk mengetahui isi puisi yang ditulis oleh seorang penyair. Semisal saya, membaca kumpulan puisi Pinara Pitu karya Mira MM Astra ini di dalam kereta, travel, bus Trans Jakarta, hingga di kamar tidur. Pembacaan yang saya lakukan hanya ingin bertemu dengan puisi-puisi Mira.
Namun semuanya sia-sia. Saya tidak tidak bisa bertemu dengan puisi-puisi Mira. Mungkin saya terlalu naïf dalam memandang puisi, atau saya mempunyai perspektif sendiri terhadap puisi, atau bahkan puisi Mira ini terlalu tertutup. Sehingga saya susah untuk masuk dan merasakan pengalaman yang penyair tuliskan. Semua anggapan saya sangat memungkinkan.
Mira MM Astra memiliki latar belakang pendidikan filsafat juga sosial politik. Mira menyelesaikan studinya di Eropa. Kita tahu bahwa Eropa kiblat pendidikan modern. Namun yang menjadi unik, Mira tidak membawa salju, sunset, atau lain-lainnya yang berbau Eropa. Mira lebih memilih budaya ibu, budaya tanah kelahirannya.
Budaya Ibu Pada Puisi Mira
Budaya ibu yang saya maksudkan adalah budaya pertama Mira. Budaya yang ditumbuhkan dari mulai kecil, yaitu budaya Bali.
Saya tidak paham dengan budaya Bali, mungkin ini yang menyebabkan saya susah bertemu dengan puisi-puisi Mira. Akhirnya saya hanya dapat meraba serta menerka apa yang ingin disampaikan buku kumpulan puisi Pinara Pitu ini.
Puisi dalam hemat saya dapat menyampaikan suatu gagasan, curahan hati, hingga gambaran fenomena yang ditemui oleh aku lirik. Mira melakukan itu semua.
Mira menulis dengan dasar kebudayaan ibu, kebudayaan yang ia rasakan, kebudayaan yang menyatu dengan darah. Ditambah Mira banyak bersentuhan dengan para penulis Bali. Baik secara langsung maupun lewat karya. Oleh karena itu, Mira semakin mantap untuk mengolah kebudayaan ibu.
Bali sebagai realitas sosial dan magis digali serta dipahami olehnya untuk kemudian ditulis ulang dalam perspektif aku lirik. Sehingga muncul autokritik pada puisi-puisinya.
Autokritik seringkali muncul dalam puisi-puisi Mira yang kelam. Penyair berkerja menyampaikan gagasan dengan cara yang susah dipahami. Atau barangkali Mira sangat memperhatikan estetika pada puisi-puisinya. Sehingga yang muncul pada puisi-puisinya adalah permainan bahasa serta bunyi yang indah. Gagasan yang semula ingin mira sampaikan pada pembaca menjadi obscure bahkan mengarah pada utopia. Sebab yang penyair kritik adalah tatanan budaya yang mapan.
Gagasan-gagasan dari makna yang terselubung ini, hanya akan dipahami oleh sebagian kecil masyarakat semata. Terlebih autokritik yang disampaikan oleh Mira lewat puisi, dan kita semua tahu berapa gelintir orang yang membaca puisi.
Namun karena Mira telah memilih jalan puisi, maka saya sangat mengapresiasi terhadap karya-karyanya.
Puisi “Batu Mimpi” bagi saya puisi yang cukup kuat mewakili kebudayaan ibu yang tadi saya sampaikan di atas. Penyair menjelaskan bagaimana prosesi beribadah. Penyampaian yang dilakukan oleh penyair tidak secara langsung, lebih memilih jalan yang meliuk serta memutar. Hal ini dilakukan oleh penyair karena selain ingin menyampaikan gagasan, penyair juga ingin memberikan citra keindahan lewat bahasa yang digunakannya (estetika).
Mira tidak ingin kekhusyukan dalam mencapai nilai rasa terganggau, oleh karena itu sebagai penyair ia memiliki ketaatan terhadap diksi-diksi lokal. Dan memang beberapa diksi-diksi lokal pada puisi-puisi Mira memperkuat puisinya.
Mira Menjaga Puisinya Begitu Ketat
Dari berbagai segi saya memandang puisi-puisi Mira, akhirnya saya dapat bertemu juga dengan puisinya. Namun hanya sebentar, puisinya kembali lagi pada keakuan penyairnya.
Mira MM Astra yang saya tidak tahu-menahu tentang riwayat dan asal usulnya, tiba-tiba muncul serta dibukukan oleh Penerbit Gambang. Mengejutkan, sangat mengejutkan bagi saya. Perjalanan penyair yang saya baca lewat epilog yang ditulis oleh Komang Ira Puspitaningsih memberi sedikit penerangan.
Ira sangat cermat memilih puisi-puisi dalam kumpulan puisi Pinara Pitu ini. Yang pertama, mungkin sama-sama berasal dari Bali serta yang kedua sama-sama perempuan. Saya sedikit menuduh bahwa Ira sebenarnya lebih paham terhadap puisi-puisi Mira, tinimbang penulisnya sendiri.
Tuduhan saya dilandasi dari bagaimana cara Mira memperlakukan puisinya. Mira menuntun puisinya sampai ke tempat yang ia inginkan. Puisi-puisinya dijaga begitu ketat, sehingga tidak diberikan keleluasaan pada puisinya untuk berkembang sendiri. Memilih jalannya sendiri. Sehingga teks puisi yang dihasilkan tidak otonom.
Berbeda dengan Ira yang berangkat dari luar tubuh puisi, Ia bijak dalam memperlakukan puisi. Ira memperhatikan napas demi napas setiap puisi yang dibacanya. Sehingga tersusun Pinara Pitu dengan napas puisi seorang Bali.
Posisi saya di sini sama dengan Ira, saya berangkat dari luar tubuh puisi. Bahkan dari luar budaya. Namun saya tidak sebijak Ira dalam memperlakukan puisi Mira.
Pada puisi pertama yang berjudul “Bermula Tanpa Nama”, aku lirik sekan terasing dan mencari sandaran dalam pelukan teguh. Ia mengembara ke dalam, mencari jati diri. Sehingga semua yang ia hadapi menjadi cerminan untuk introspeksi serta kontemplasi. Aku lirik seakan kehilangan tubuh, ia hampir tidak mengetahui siapa dirinya.
Kontemplasi seperti ini begitu lazim dilakukan oleh para penyair. Namun yang menjadi lain adalah komposisi penempatan puisi dalam Pinara Pitu seakan memberi alur petualangan seorang penyairnya. Buku ini diawali dengan puisi yang berjudul “Bermula Tanpa Nama” dengan diakhiri oleh puisi “Ketika Aku Memilih Namaku”.
Oleh karena itu, puisi Mira memiliki spirit napas yang saling berkaitan satu dan yang lainnya. Membaca puisi Mira harus keseluruhan, sehingga dapat menemukan apa yang disampaikan oleh aku lirik tentang realitas budaya, realitas sosial, serta realitas keakuan.
Buku kumpulan puisi Pinara Pitu yang saya tangkap adalah perjalanan menemukan ego keakuan seorang penyair dalam realitas yang besar. Seperti pada puisinya “Bermula Tanpa Nama” hingga “Ketika Aku Memilih Namaku”.
Salam.[]
HERI MAJA KELANA
Sumber: buruan.co