Hantuologi Pedro Paramo

Oleh: Tia Setiadi

 

Sumber asali dan purba bukanlah rahim, tapi kuburan

(Octavio Paz)

/1/

Saat muda, Juan Rulfo lebih banyak menghabiskan waktunya mengurung diri di rumah membaca buku-buku dan sangat jarang berkeliaran ke luar rumah lantaran dia takut tertembak. Dia hidup sebagai yatim sebab ayahnya (dan juga pamannya) mati dibunuh setelah Perang Cristeros (1926-1929). Kebiasaan mengurung diri bersama buku-bukunya terbawa sampai Rulfo tua, sehingga dia pernah berkata: “Aku bepergian bersama buku-buku.”

Seumur hidupnya Rulfo hanya menerbitkan dua buah buku: kumpulan cerpen The Burning Plain and Other Stories (1953) dan novel Pedro Paramo (1955), sehingga jika Nabokov pernah mengatakan bahwa seseorang harus membaca seluruh buku yang ditulis oleh seorang pengarang sebelum memberikan pendapat terhadapnya maka kita cukup membaca dua buah buku itu saja untuk menilai Rulfo. Buku pertama Rulfo ditulis saat usianya menjelang empat puluh tahun, suatu kasus yang langka bahkan dalam sejarah sastra dunia, seperti disinyalir Susan Sontag.

Tapi yang lebih langka lagi adalah kenyataan bahwa hanya dengan dua buku itu saja Rulfo tampil menjulang sebagai salah satu penulis terbesar Amerika Latin. Pedro Paramo, novel kecil yang edisi indonesianya hanya 183 halaman ini disebut-sebut sebagai salah satu karya puncak Amerika Latin dan diakui sangat memengaruhi para pengarang besar yang datang sesudahnya seperti Mario Vargas Llosa, Gabriel Garcia Marquez, Fuentes, Paz, dan lain-lain.

/2/

Pedro Paramo mula-mula mengilaskan sebuah kisah sederhana; seorang ibu menjelang kematiannya mengamanatkan kepada anak lelakinya (Juan Preciado) agar mencari ayahnya (Pedro Paramo) di sebuah tempat jauh bernama Comala. Perjalanan Juan Preciado ini adalah perjalanan mencari asal-usul, sumber asali, sesuatu yang biasa kita dapati dalam sebuah epos. Tapi itu keliru. Pedro Paramo bukanlah epos, melainkan parodi terhadapnya, antipodanya, di tiap-tiap seginya.

Epos biasanya menghadirkan hero yang—setelah bergulat-gumul dengan monster-monster jahat dan raksasa dan roh jahat—kembali ke masyarakatnya membawa obor pencerahan dan kemenangan yang gilang-gemilang. Kisahnya bersitumpu pada kaki-kaki narasi yang logis, linier, kronologis, dengan struktur yang formulaik, dengan penemuan kembali masa lalu yang agung.

Epos memang bertujuan menautkan kembali hubungan antara manusia dengan alam semesta, sehingga absurditas dan ambiguitas yang murup dari mitologi-mitologinya tetap tak merusak fokus sentralnya. Epos memang diciptakan sebagai cahaya inspirasi bagi masyarakat senyampang mereka bergerak dalam galur-galur sejarah, untuk dituturkan kepada generasi demi generasi sesudahnya.

Pedro Paramo sebaliknya dari itu. Tak ada hero di sini, dalam arti hero seperti yang kita dapati dalam karya-karya Homer misalnya, atau seperti dalam Sang Alkemis karya Paulo Coelho. Juan Preciado, yang menginisiasi kisah ini, bukan hanya gagal menemukan Pedro Paramo tapi ternyata dia sendiri sebetulnya sudah mati, bahkan sejak kisah dimulai. Awal novel dibuka dengan kematian ibunya dan akhir novel ditutup dengan kematian ayahnya.

Di tengah-tengahnya, tak ada perspektif tunggal, melainkan sarat dengan teater suara-suara dan galeri-galeri gema dari arwah-arwah yang mengambang dan gentayangan, sebagaimana terwedar dalam percikan permenungan Juan Preciado: di sini di mana udara terasa begitu ganjil, suara-suara itu kudengar jauh lebih jelas. Suara-suara itu ada dalam diriku, begitu nyaring dan bising (hal 9). Dengan kata lain, bukan hanya anti-hero, novel ini pun “anti-tokoh”: jika dikatakan bahwa karakter dalam sebuah novel yang bagus haruslah berdarah daging maka novel ini menampiknya: di sini tak ada raut karakter-karakter seperti itu, yang ada hanya hantu-hantu.

Karibnya novel Rulfo dengan kematian, hanya bisa dipahami dalam konteks budaya Meksiko. Seturut Paz: “Orang-orang Meksiko…karib dengan kematian, bercanda tentangnya, memeluknya, tidur bersamanya, merayakannya; kematian adalah permainan kesayangan dan cintanya yang paling keras kepala.”

Novel ini juga anti-struktur: tiap-tiap kali rancangan struktur itu akan terbentuk, ia merobohkan serta mendistorsi dirinya sendiri dengan terlalu banyaknya lanskap kesunyian yang akut, celah dan retakan-retakan, adegan yang bergonta-ganti dengan cepat, citraan-citraan yang retak, benang-benang cerita yang berpilinan atau berjejeran atau bahkan terputus sama sekali di tengah jalan, pemandangan yang muncul lalu meluputkan diri begitu saja, tanpa pernah kembali lagi.

Arus waktu pun tak linier: ada waktu kini yang ditempati Juan Preciado di Comala yang ditujunya, dan waktu lampau, yakni desa Comala yang dihuni ingatan-ingatan ibunya. Keduanya, waktu kini dan waktu lampau itu, tak selamanya melaju beriringan, melainkan kadang berlabrakan, atau bersilangan, atau bergantian, sedemikian rupa sehingga kita tak bisa membedakan lagi keduanya. Alhasil, pengertian waktu pun hilang, kita merasa berada di sini dan di sana, kadang secara simultan.

/3/

Banyak yang bertanya-tanya, juga kepada Juan Rulfo sendiri, mengapa dia hanya menulis dua buah buku selama hidupnya, padahal dia berusia panjang (1917/1918-1986). Saya tak tahu jawaban Rulfo. Namun dalam tulisan ringkas tentang Pedro Paramo di buku esai Where the Stress Falls, Sontag menyatakan bahwa tujuan hidup seorang penulis bukan untuk menulis dan memublikasikannya akan tetapi untuk menghasilkan karya besar—yakni buku yang akan tak lekang oleh waktu—dan Rulfo sudah melakukan itu.

Saya sendiri berpendapat pernyataan Sontag tak sepenuhnya benar. Saya cenderung setuju pada spekulasi Tony McKibbin. Begini: Pedro Paramo bisa dibaca sebagai alegori dari lanskap Meksiko itu sendiri, kematian, korupsi, kekejaman dan kesewenangan di dalam novel Pedro Paramo terjadi juga di dalam kenyataan negeri Meksiko setelah meletusnya Revolusi.

Jadi sementara Pedro Paramo menunjukkan perfeksinya sebagai novel, perfeksi itu sendiri berpijak kepada kecacatan umat manusia itu sendiri. Dengan demikian, kita menduga bahwa Rulfo memang tak bisa lagi menulis novel karena seluruh tokohnya sudah mati di dalam Pedro Paramo. Jika Rulfo memaksa menulis, kemungkinan besar dia akan menulis novel pamflet.

Rulfo sadar itu. Maka alih-alih menulis novel lagi, dia memilih mendedikasikan hidupnya untuk membantu mereka yang tertindas: dari 1954 sampai 1957 dia aktif di  La comission del rio Papaloapan, sebuah organisasi pemerintah yang membantu masyarakat miskin di sepanjang Sungai Papaloapan, dari 1962 sampai 1986 dia bekerja sebagai editor untuk National Institute for Indigenous People.

Rulfo rupa-rupanya menyadari bahwa tugas sebuah karya sastra bukan untuk mengubah dunia tapi menyingkap dan memperluas kesadaran tentangnya, menyibak suara-suara yang tak terkatakan, yang tertekan, yang terhempas dan yang putus, sedangkan urusan mengubah dunia ada dalam kerja nyata dalam hidupnya sehari-hari, sebagaimana sudah ditunjukkannya sendiri.

 

Sumber: basabasi.co

 

Tia Setiadi 
lahir di Subang, 7 November 1980. Menulis sajak dan esai-esai bertema budaya, sastra dan filsafat pada pelbagai media di antaranya; Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Jurnas, Suara Merdeka, Suara Karya, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Horison, Mata Baca, Jurnal Cipta, Jurnal Diskursus, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Puisi Rumah Lebah, Ruang Puisi, Jurnal Sastra Digital, Jurnal Sajak, Jurnal Poetika, Jurnal Kritik. Ia juga telah memperoleh sejumlah penghargaan, di antaranya; pemenang dalam lomba kritik sastra Dewan Kesenian Jakarta (2007), Pemenang terbaik dalam lomba esai Majalah Horison (2008), Pemenang kedua lomba kritik sastra Dewan Kesenian Jakarta (2009), Pemenang terbaik dalam lomba kritik seni yang diselenggarakan Dirjen Kesenian RI (2011), Pemenang Utama Sayembara Esai Pena Kencana Awards (2012), Pemenang Hadiah Sastra MASTERA (Majelis Sastra Asia Tenggara) 2013, untuk kumpulan puisi Tangan Yang Lain. Buku ini terpilih juga untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diikutkan dalam Frankfurt Book Fair 2015. Kini tinggal di Yogyakarta. Email: tiasetiadi@yahoo.com
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *