Oleh: Wahjudi Djaja*
Yogyakarta merupakan entitas budaya yang melegenda. Pengaruhnya melintasi batas-batas geografis. Keberadaannya senantiasa diperbincangkan beragam kalangan dalam skala yang luas dari waktu ke waktu. Energi kreatifnya seolah tiada pernah hilang dari lembaran sejarah, selalu menginspirasi orang dari generasi ke generasi hingga melahirkan karya yang fenomenal dan monumental. Sebagai ruh, Yogyakarta tak pernah runtuh. Ia masuk dan menjelma dalam diri siapa saja terutama yang mengedepankan rasa, baik yang kesejarahan maupun kenangan. Peran kota ini bisa dilihat dari predikat yang melekat, mulai kota budaya sampai kota wisata, dari kota perjuangan sampai kota pendidikan.
Yogyakarta tentu bukan hanya tentang masa lalu dengan peran sejarah yang mengharu biru. Yogyakarta juga masa kini dan masa depan yang bergerak mengikuti irama dan semangat zaman. Perubahan dan dinamikanya tak mungkin terelakkan sebagaimana diteliti secara mendetail oleh Selo Sumarjan, Abdurrachman Surjomohardjo, Kahin, dan Anderson yang merekam dinamika kehidupan Yogyakarta pada masa silam. Bagaimana perubahan lanskap budaya kota ini apabila ditatap dari beragam sisi?
mBongkar Yogya
Pusat Studi Kebudayaan (PSK) UGM memfasilitasi penerbitan serial buku sebagai tanggung jawab moral dan intelektual dalam koridor pengabdian masyarakat. Buku “mBongkar Yogya” ini merupakan kumpulan tulisan 17 orang yang selama ini konsern melakukan kerja budaya. Selain pengamat, mereka yang juga pelaku sekaligus saksi hidup atas detak kehidupan kebudayaan kota ini antara lain Iman Budi Santosa, Hamdy Salad, Achmad Charis Zubair, Mustofa W Hasyim, Budhi Wirjawan, Kris Budiman, Otto Sukatno CR, Ons Untoro, Tia Pamungkas, Wening Udasmoro, Budi Sardjono, Aprinus Salam, dll. Ada tiga tema besar yang disodorkan: aspek kesejarahan, narasi kebudayaan, dan Yogyakarta dalam ruang-ruang.
Aspek kesejarahan membentuk identitas sebuah kota, melahirkan narasi-narasi budaya, sekaligus menciptakan ruang-ruang kepentingan. Identitas Yogyakarta dengan segala predikat yang melekat, lahir dan terbentuk dari dinamika sejarah. Sebagai sebuah kerajaan, Yogyakarta lahir dan berkembang diantara himpitan liberalisme Barat dan primordialisme Mataram, yang dengan cerdas diramu oleh Pangeran Mangkubumi (HB I). Sebagai sebuah entitas budaya dan sejarah yang ideal dan inspiratif, Yogyakarta dibumikan secara demokratis oleh HB IX dalam konteks keindonesiaan. Ngarsa Dalem IX berhasil mendesain Yogyakarta sebagai tamansari keanekaragaman Indonesia. Kesediaan dan tanggung jawab beliau yang menawarkan Yogyakarta sebagai ibukota negara meneguhkan visi nasionalisme seorang pemimpin sejati untuk memberi. Itulah kenapa Yogyakarta istimewa.
Oleh karena identitas itu penting, maka konsekuensi logisnya adalah nama, penanda, dan peran kesejarahan yang menyertainya harus mencerminkan keyogyakartaan. Dibalik identitas itu terkandung watak demokratis dan karakter egaliter yang—mestinya—mempribadi pada setiap warga dan ruang-ruang yang tercipta. Mungkinkah identitas itu berubah? Yogyakarta kini seolah hanya memiliki gambar tunggal, tulis Aprinus Salam dalam catatan pengantarnya. Kota ini dipenuhsesaki dengan himpitan beton dan kuda besi yang bersiap menghadang manusia. Kemacetan jadi teman, banjir meluap dari hulu sampai hilir, dan panas kian mengganas.
Membangun dan Membongkar Yogyakarta
Pembangunan didesain untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Itu amanat UUD 1945 dan UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Teramat disayangkan bahwa pembangunan hanya dimaknai sebagai sesuatu yang fisik berupa bangunan semata. Kota penuh dengan mal, hotel, kondominium, apartemen, supermarket, dan beragam bentuk simbol modernitas. Sedang ruang-ruang budaya tempat reriungan beragam kalangan lintas kelas penuh kamardikan tanpa diintai ketakutan untuk membayar, nyaris tak ada. Hiruk pikuk menghimpit, meneror kedamaian dan kebersamaan.
Filosofi pembangunan kota dengan tata ruang yang matang buah karya Pangeran Mangkubumi—dengan sumbu imajiner—seolah tak lagi menemukan konteks historisnya. Kota menjadi sedemikian gegap gempita, gemerlap, dan digdaya. Dibalik itu semua, ada fenomena sosial yang mencemaskan. Semua menjadi seperti terburu-buru. Beragam kasus yang menelan korban jiwa bermunculan, mulai konflik antarsuporter sampai yang berbau SARA. Cukup mencengangkan pula bahwa kota ini sempat berpredikat kota dengan intoleransi yang tinggi.
Itulah sebagian ironi kebudayaan yang terjadi di sebuah kota yang berjuluk kota budaya. Fenomena itu bisa terjadi karena pembangunan berjalan tanpa strategi yang jelas dan visioner. Perda Keistimewaan yang menjadi induk pembangunan kebudayaan juga belum juga sempurna. Wajar apabila Sri Sultan HB X heran dengan rendahnya usulan danais di Kota Yogyakarta tahun 2017 (Kedaulatan Rakyat, 3/8/2016). Perlu dicari titik temu antara pemkot/pemkab, pelaku budaya, dan akademisi agar pemanfaatan danais tepat sasaran. Maka, mari ingat kembali pesan Bung Karno, ”Yogyakarta termasyhur karena jiwa-jiwa kemerdekaannya, hidupkanlah terus jiwa-jiwa kemerdekaan itu”.
*Wahjudi Djaja, Dosen Sekolah Vokasi UGM
(Sumber: Harian Kedaulatan Rakyat, Minggu, 7 Agustus 2016)