Oleh Arif Fitra Kurniawan
Mira MM Astra menulis apa yang intim bagi tubuh, pikiran, laku, dan pirasanya: Bali serta nilai-nilai spiritual Hindu. Baginya, puisi itu harus bunyi, harus mampu meyakinkan.
Bolehlah sementara kita menahan peribahasa lama, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, untuk menggambarkan lebih banyak jerih yang mesti ditanggung seorang pembaca. Yakni, ketika berhadapan, mencebur, tenggelam, sekuat tenaga tetap mengapung sampai garis pinggir, lantas mentas dari teks-teks puisi Pinara Pitu.
Sebanyak 33 judul puisi termaktub di dalamnya. Buku tersebut dianggit Mira MM Astra, nama pena dari dari Mira Novianti. Penyair kelahiran Denpasar, Bali, ini sempat bertahun-tahun melanglang ke berbagai daerah di Indonesia dan bahkan bermukim di Cekoslovakia demi menyelesaikan proses belajarnya.
Bertahun-tahun tangan tualang menyeret, Mira MM Astra keluar dari kampung kelahiran. Bertahun-tahun tempat-tempat “asing” mengajarinya banyak hal. Bertahun-tahun banyak hal tersebut pada akhirnya harus ia akui mengajarinya satu hal; bahwa hidup harus ditulis. Dan Mira memutuskan laku spiritual-literernya dengan menganggit puisi. Puisi bagi Mira tiada lain adalah kitab hidup.
Lewat kata pengantarnya, belum-belum penyair kita, dengan bayang gerak tangan mengepal ke atas, sudah mewanti-wanti para pemirsa sekaligus dirinya sendiri: “Puisi itu harus bunyi! Puisi harus dari dalam diri! Harus mampu meyakinkan.”
Ya. Jika penyair selalu bisa membuat kredonya sendiri, para pembaca sebaiknya jadi penguji setegak dan sekukuh apa kredo itu mampu muncul dalam teks-teks puisinya. Agar kredo tak sekadar omong kosong belaka.
Ada yang menarik dari kecenderungan beberapa penyair beberapa tahun terakhir ini. Yaitu, kepercayaan diri mereka dalam mengolah puisi menggunakan bahasa dari perkakas parole.
Mereka menggunakan ujaran lisan serta bahasa ibu mereka untuk menyusu bait-demi bait. Pun Mira. Simaklah: Majene, Majene di paras sasiq-mu/siapa bisa menduga bijak cuaca/ angin tanjung berliku menentang rahasia/tempaan terik bulan dan derai hujan (Majene, hal 58).
Bagi pengguna bahasa Indonesia sebagai lingu franca, bait tersebut tentunya tak akan habis sekali kunyah. Bait alot yang memaksa geraham kita dengan segala kehati-hatian ataupun sikap jengkel akan mengeram-eram dugaan, apa itu Majene, apa itu sasiq.
Belum lagi ketika kata-kata “asing” tersebut sudah lebur juga dalam susunan-susunan metafora antropomorfik yang dimiliki puisi. Meskipun dalam sikap cengengesan dan keisengan menduga, kita tak bisa begitu saja seenaknya mengubah kata Majene dengan kata Batagor. Atau dengan kata Mengamuk atau Kotoran Hidung. Sementara kata sasiq kita artikan sebagai Lapar atau Bola Pingpong atau Sumbu Kompor. Kredo penyair yang mengharuskan puisi harus dari dalam diri dan berhadapan dengan hasrat pembaca yang sepenuhnya ingin memiliki sesuatu yang asing pada akhirnya menciptakan ruang pertarungan bagi bahasa.
Situasi macam ini akan kita jumpai pula ketika melakukan pembacaan teks-teks puisi, misal ambil saja dari beberapa generasi penyair dari Madura setelah D. Zawawi imron.
Ada Mahwi Air Tawar dengan antologi puisinya Tanéyan (Komodo Books, 2015) atau Shohifur Ridho Ilahi dalam Masègit (Kendi Aksara, 2013). Pun puisi-puisi Mario F. Lawi yang liat dengan kisah-kisah biblikal serta kepercayaan adat yang salah satu baitnya begini: Aku menjumpai kau seusai Sabat, Sahabat/Kucucukkan tangan tempayanmu yang pasrah/Ke dalam lambungku sebagaimana Thomas/Senantiasa yakin pada kesedihannya sendiri (Kana; hal 26, Lelaki Bukan Malaikat).
Para penyair memutuskan memperluas area kreasi puisi mereka menggunakan metonimi yang akrab dengan keseharian mereka, semesta kalam mereka. Jika Mahwa dan Shohifur banyak mengolah kultur ke-Madura-an dan Islam, Mario lekat dengan tradisi masyarakat Sawu serta Kekatolikan.
Dalam hal ini, Mira memutuskan untuk teguh menulis apa yang intim bagi tubuh, pikiran, laku, dan pirasanya: Bali dan nilai-nilai spiritual Hindu. Mira seperti berkehendak, Pinara Pitu, yang bisa diartikan sebagai genta pemuat saptacakra dalam tubuh manusia-pengandung pancara energi murni ketuhanan ini-, suaranya tak semata hanya ia dengar sendiri. Melainkan gaungnya juga bisa kita cecap bersama.
Om suasti astu, Om.
Sumber: Jawa Pos, 25 Juli 2016