Ada seni menulis, ada seni membaca. Adalah seni membaca yang menentukan makna tulisan. Menghadapi cerita-cerita Ayu Weda, saya menerima cerita-ceritanya sebagai cerita berdasarkan pengalaman, penghayatan, dan pengamatan seorang perempuan Indonesia dalam perjuangan eksistensialnya—yakni mengada dengan cara menyatakannya.
Cerita-cerita ini menunjukkan bagaimana subjek keluar-masuk dunia objektif yang diungkapnya, antara dingin dan emosional, terharu dan bingung, kritis dan lebur silih berganti, dalam pergulatan untuk mendapatkan kejernihan dan pencerahan di dunia yang amburadul.
Subjek beredar di antara para menteri, kiai, pengusaha, intelektual, dan seniman, semuanya dari kelas atas, yang memberi janji tersingkapnya berbagai dunia yang selama ini hanya terpandang dari kejauhan. Pada saat yang sama, kepedulian kepada mereka yang tidak mendapat tempat dan tidak tercatat, memberikan keseimbangan yang membuatnya patut dipercaya: bahwa buku ini layak dibaca.
(Seno Gumira Ajidarma)
30 tahun yang lalu saya mengenal Ayu Wedayanti (Ayu Weda) sebagai penyanyi rock yang andal. Selain itu ia sangat senang sastra dan pemerhati sosial yang andal. Ia teman bicara untuk hal-hal yang bukan hanya menarik, tetapi juga penting untuk dibicarakan. Sebagai sahabat saya tahu, kalau menggeluti sesuatu ia bersungguh-sungguh.
Setelah 30 tahun lebih ia meninggalkan Surabaya, kami tak saling berkabar. Tiba-tiba ia menelepon saya lalu mengirimkan cerpennya untuk saya baca. Saya terkejut sekaligus senang, karena sahabat saya yang lama tak berkabar itu telah menulis cerpen. Cerpennya cukup menarik, Ayu Weda bisa bertutur dengan baik, ia punya bahasa.
Tema dari cerpen-cerpennya ada tentang kemanusiaan dengan masalah-masalah sosial yang menarik, misalnya tentang poligami dari sisinya yang lain, ada tentang tokoh preman yang punya kepeduliaan kepada orang-orang yang hidupnya susah lengkap dengan ironi- ironi yang diceritakan dengan cermat. Bahkan tentang pelaku tasawuf lengkap dengan misteri-misteri spiritual. Semua itu ditulis Weda dengan sungguh-sungguh. Ia tak hanya sekedar menulis.
Dengan terbitnya buku kumpulan cerpen ini, sahabat saya Ayu Weda yang lama hilang kini telah saya temukan kembali. Saya bahagia.
(D. Zawawi Imron)
Malam itu Ayu Weda duduk di hadapan saya membawakan sejumput cerita. Saya menyimak bagaimana sang juru cerita ini bertutur dalam dua trajektori yang memikat. Di satu sisi dia mengajak saya memperbincangkan We Mundri dalam sebuah sikap empatik yang halus; di sisi yang lain dia merefleksikan figur perempuan yang penuh harga diri dan tegas dalam berhadapan dengan dunia sosial yang menekan. Jika Geertz menyatakan bahwa etnografi adalah “Membaca dari balik punggung sang empunya kebudayaan”, maka dengan trajektori tersebut Ayu Weda telah berhasil menuliskan kisah-kisah etnografisnya.
(Kris Budiman)