SEPANJANG jalan, ia mencatat sebuah kalimat. Kemudian memungut diksi, mencium aroma kematian dan menjadikannya bait-bait ingatan. Itulah hakikat seorang pejalan yang digambarkan Yopi Setia Umbara dalam kumpulan puisi Mengukur Jalan, Mengulur Waktu (2015). Bisa dipastikan keseluruhan puisinya bertaut antara diri (aku), perjalanan, dan ingatan tentang perjumpaan.
Untung saja, Yopi memaknai itu semua dengan mata seorang penyair. Ia bergerak dari ruang material hingga ke ruang batin paling intim. Seperti sebuah renungan ikhwal perjalanan mencari diri. Menariknya, seorang penyair ketika merumuskan, memaknai dan mengingat waktu akan berbeda dengan seorang fisikawan dan pebisnis. Misalnya, dalam teori relativitas ala Eintens bahwa “duduk di tungku api lebih lama dari duduk di dekat seorang perempuan cantik”. Seorang pebisnis (entreprener) akan merumuskan “waktu adalah uang”. Apakah Yopi mirip pemain sepakbola (Indonesia) yang melulu mengulur waktu ketika berada dalam sebuah pertandingan?
Namun, saya teringat sebuah sajak terkenal berjudul “Sajadah Panjang” karangan Taufiq Ismail. Puisi ini cukup populer, sebab dinyanyikan Bimbo. Dari sejumlah puisi Taufiq Ismail, Sajadah Panjang terbilang berhasil untuk menyajikan ruang kontemplatif di tengah sebuah perjalanan. “Ada sajadah panjang terbentang/dari kaki buaian. Sampai ke tepi kuburan hamba/kuburan hamba bila mati. Ada sajadah panjang terbentang/ hamba tunduk dan sujud/ di atas sajadah yang panjang ini/ diseling sekadar interupsi/mencari rezeki, mencari ilmu/mengukur jalanan seharian/begitu terdengar suara adzan,/kembali tersungkur hamba, mengingat dikau sepenuhnya.”
Nampaknya pengarang puisi ini terinspirasi dari sebuah ucapan Rasul Muhammad Saw bahwa bumi adalah masjid. Setiap Muslim bisa bersujud untuk salat (beribadah) di mana saja. Tidak harus masjid yang megah sekalipun. Petani salat di saung ketika istirahat mencangkul sawah, karyawan salat di kantor, penyair solat di kereta. Sangat jelas, relasi aku (subjek) dalam puisi adalah hamba dan dikau berada di atas (yang disembah) untuk tersungkur.
Oleh karena itu mencari ilmu, mencari rezeki dan mengukur jalanan seharian adalah sebuah interupsi. Nilai emotif dalam puisi ini sama halnya ketika membaca puisi terkenal dari Acep Zamzam Noor berjudul Cipasung. Tapi, berbeda Acep menggunakan metafora, “Cangkulku iman/sajadahku lumpur yang kental,” kemudian memaknai kesabaran dengan ketam sampai juga tersungkur sekaligus menikmati harum pandan kematian.
Saya memaknai subjek dalam puisi Taufiq Ismail dan Acep Zamzam Noor sebagai pekerjaan khidmat. Betapa tidak, mencari rezeki, mencari ilmu, mengukur jalanan (mencangkul) adalah cara terbaik subjek untuk berbakti.
Namun, puisi Yopi Setiap Umbara malah melakukan “perjalanan hanya mengulur waktu”. Dalam puisinya, ia menulis,
“denganmu mengukur jalan
di antara gedung-gedung besar
di kota yang tercipta dari gairah
celah sempit dilalui banyak orang
dan kendaraan semua bergerak
beradu cepat entah ke mana
seperti kita yang masih tak jelas
bergegas hendak pulang
tak tahu kemana
perjalanan hanya mengulur waktu
mencipta kesedihan demi kesedihan
sempurna sebagai nisan ingatan
petualangan belum usai
namun di sepanjang jalan
aku mencium aroma kematian
Membaca nukilan puisi di atas, terlihat mereka tidak tahu arah dalam perjalan, entah ke mana hendak pulang. Bisa jadi karena saking sibuknya melihat lalu lalang kendaraan di kota dan gedung yang menjulang tinggi. Dari perjalanan itu, lapisan kesedihan menumpuk dengan sempurna sebagai nisan ingatan. Puisi ini mengatakan, petualangan belum usai, namun aroma kematian semerbak tecium. Apakah kematian waktu? Tidak mudah menjawab itu.
Selain itu pula, apakah Yopi gagap untuk menemukan kompas waktu? Bisa jadi. Ia dengan sadar memasukan diksi waktu sekitar lima belas. Tafsir multiplisitas waktu tidak mudah ditebak dalam repetisi itu. Benar saja, saya membaca puisi Yopi kian terasa bahwa repetisi waktu dalam puisinya adalah repetisi dinamis (dynamic repetion). Seperti dikatakan Gilles Deleuze (dalam Yasraf Amir Pilliang, 2014) membedakan dua bentuk repetisi. Pertama, “repetisi statis” (static repetition), yaitu repetisi tertutup: sesuatu yang mengulang tak menambahkan atau menghasilkan perbedaan apa pun. Kedua, “repetisi dinamis” (dynamic repetition): pengulangan menghasilkan perbedaan dinamis, yang disebut dengan multiplisitas.
Oleh karena itu, multiplisitas merupakan keadaan keterbukaan bagi ruang-ruang kemungkinan perbedaan. Dengan tarekat repetitif, ia membuka perjalanan sebagai sesuatu yang beragam sekaligus luas. Dapat terasa pokok multiplisitas—repetisi dinamis itu dalam nukilan puisi berjudul Venus. Ia menulis,
“Atas nama cinta
Kukorbankan kesetiaan pada dunia
Yang ramai oleh aroma wewangian
Juga warna kemuliaan
Dan akan kutemui kau
Di kota matahari
Sebelum semuanya menjadi gelap”
Dari itu pula, sebelum semua menjadi gelap, cinta dan kesetiaan (khidmat) akan membawa cahaya terang. Saya pikir waktu yang digelisahkan penyair ini mirip cinta dan kesetiaan. Boleh dikatakan, waktu dalam puisi Yopi menjadi relativ, tidak mudah ditebak, ditafsir dan dimaknai. Ia adalah jalan itu sendiri.
PUNGKIT WIJAYA
Esais, bermukim di Bandung
Judul: Mengukur Jalan, Mengulur Waktu
Penerbit: Gambang Buku Budaya
Perancang Sampul: Damar N Sosodoro
Perancang isi: Mawaidi D Mas
Tebal: viii + 61 hlm.
ISBN: 978-602-72761-6-1
Sumber: alineatv.com