Dalam Memorabilia & Melankolia ini Agus Noor terobsesi oleh berbagai persoalan yang menyedihkan, antara lain kebobrokan politik, kebobrokan keluarga, dan kebobrokan individu-individu, yang mungkin karena masalah internal atau eksternal, mempunyai perilaku menyimpang, di mana keadilan dan kebenaran dinafikan demi kepentingan individu-individu tertentu. Dalam Harkatnya sebagai pengarang, Agus Noor fokus pada korban dan individu-individu dengan perilaku menyimpang pun disamarkan dalam dunia yang kelam.
arkat sebagai pengarang menuntut konsekuensi lain, yaitu, kemampuan berbahasa. Siapa pun boleh mengungkap keprihatinan, dan siapa pun boleh menggambarkan dunia yang kelam, tapi, tanpa kemampuan mengolah bahasa dengan tepat, sukar bagi siapa pun untuk menjadi pengarang. Karena itulah, Agus Noor berjuang untuk mengatasi dominasi kekuatan bahasa, dan Agus Noor keluar sebagai pemenang, dan karena itulah, Agus Noor tidak tampak sebagai penggugat terhadap kebobrokan, tetapi sebagai pengarang yang prihatin terhadap kebobrokan.
(Budi Darma)
Memperhatikan cerita-cerita dalam buku ini, kerja kepengarangan itu seperti pura-pura menjadi Tuhan, tetapi jika Tuhan bisa mulai dari nol, maka pengarang tidak mungkin memutihkan dunia dahulu sebelum mengarang. Tidak seperti Tuhan, pengarang terkodratkan bekerja dari segala sesuatu yang sudah diadakan oleh Tuhan. Jika Tuhan bisa menciptakan dunia dan kehidupannya dari titik nol, maka pengarang hanya mungkin “mengarang” berdasarkan dunia dan kehidupan yang sudah ada.
Cerita-cerita dalam buku ini menunjukkan, yang disebut mengarang kemudian mempuyai arti apakah pengarang akan menerima, menolak, atau bernegosiasi dengan dunia itu. Berdasarkan sikap yang manapun, salah satu maupun ketiganya sekaligus, terbuka peluang bagi pengarang untuk membongkar dunia tersebut dan menyusunnya kembali dengan peralatan yang disebut imajinasi. Dalam penyusunan kembali itulah kreativitas bekerja. Dengan cara membaca seperti ini, Pembaca dapat menyaksikan bagaimana pengarang bernama Agus Noor ini berjuang untuk mengarang, semengarang-mengarangnya, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih ngarang :).
(Seno Gumira Ajidarma)
Dunia urban dan kontemporer dalam cerpen-cerpen Agus Noor, menjelma menjadi sejenis dongeng. Dan dongeng menjadi perkakas yang unik untuk mengomentari situasi urban dan kontemporer ini, baik moral maupun politik, seringkali dengan humor yang melimpah.
(Eka Kurniawan)