Memaknai Ingatan Perempuan dalam Puisi Perempuan-Perempuan Plaza de Mayo dan Puisi Ketakutan Suatu Malam: Jugun Ianfu karya Nissa Rengganis[1]
Oleh: Khairiyah Eka Januaristi[2]
So I write in order to keep. —Derrida, “Dialanguages”
Trauma yang ditimbulkan akibat kejahatan kemanusiaan dimunculkan Nissa Rengganis dalam puisi-puisinya yang berjudul Perempuan-Perempuan Plaza de Mayo dan Ketakutan Suatu Malam: Jugun Ianfu. Pengarang mencoba mengimajinasikan dan mengembalikan ingatan mengenai kekejaman yang telah terjadi kepada dua persona perempuan. Persona dalam puisi Perempuan-Perempuan Plaza de Mayo kehilangan putranya, sedangkan persona dalam puisi Ketakutan Suatu Malam: Jugun Ianfu dirampas hak atas penguasaan terhadap tubuhnya sendiri. Tidak hanya sampai di situ, mereka terbelenggu oleh peristiwa-peristiwa tersebut sehingga mereka pun menjadi jejak-jejak masa lalu, apa yang disebut oleh Derrida sebagai “nostalgia for origins”. Masa lalu begitu adiktif dan enggan lepas dari pikiran.
Kedua puisi tersebut mengandung tiga emosi utama: ketakutan/kecemasan, amarah, dan kekecewaan yang dipicu oleh ingatan-ingatan tidak menyenangkan dan disebabkan oleh trauma yang dialami persona. Dalam bahasa Yunani, trauma berarti ‘luka’. Trauma, luka dari pikiran tidak bisa disembuhkan sesederhana menyembuhkan luka badaniah. Selama ingatan akan kenangan membekas, luka-luka tersebut tidak akan sembuh.[3]
Puisi Perempuan-Perempuan Plaza de Mayo mungkin terinspirasi dari kisah para perempuan yang kehilangan anak-anak mereka selama periode penyiksaan rezim Pinochet. Naomi Klein dalam bukunya yang berjudul The Shock Doctrine mengungkapkan fakta mengenai anak-anak korban Torture Camp (Pusat Penyiksaaan) yang dipisahkan dari orang tua mereka dengan tujuan membersihkan Argentina dari sosialisme. Kekejian ini sebetulnya termasuk bentuk genosida. Konvensi PBB tentang genosida mendefinisikan genosida sebagai mencegah kelahiran dari kelompok masyarakat tertentu, atau memindahkan anak-anak kelompok tertentu ke kelompok lain. Dalam kasus ini, genosida dilakukan bukan atas dasar ras atau suku melainkan paham politik, budaya, dan kelas dari orangtua mereka.[4]
Metafora yang berkaitan dengan api seperti ‘bakar’, ‘nyala api’, ‘hanguskan’, ‘arang’, dan ‘abu’ pada bait pertama menyiratkan kehancuran yang diharapkan terhadap ingatan yang terus menghantui persona. Ia ingin eksistensinya hilang, sehingga ingatannya juga ikut menghilang, sebab ia sudah tidak lagi memiliki harapan. Siapa yang diharapkan membunuhnya? Bisa jadi yang dimaksud adalah pemerintahan junta militer dan pada mereka pula kemarahannya ditujukan.
Anak-anak kesayangan mereka entah ada di mana dan harapan mereka akan kembali pun sangat kecil. Bahkan setelah bertahun-tahun menunggu, mereka tidak pulang ke rumah mereka. Persona dalam puisi ini adalah sosok ibu yang kehilangan anak lelakinya yang sudah tidak mungkin kembali lagi.
Kehilangan dalam bentuk lain diceritakan dalam puisi Ketakutan Suatu Malam: Jugun Ianfu. Puisi ini mendeskripsikan kejaman di era penjajahan Jepang yang menorehkan luka yang dalam bagi banyak perempuan Indonesia yang dijebak dalam pelacuran paksa. Mereka yang dijadikan jugun ianfu dipaksa melayani nafsu para serdadu Jepang selama mereka berada di Indonesia.
Para perempuan yang menjadi jugun ianfu kehilangan hak atas tubuh mereka. Bait pertama puisi ini menjabarkan tentang persona yang menangis karena tiadanya darah dari selaput hymen pada malam pengantinnya. Ketiadaan ini membongkar kembali ingatannya akan yang terjadi di masa lalu saat keperawanannya direnggut paksa saat ia berada jauh dari kampung halaman, yang berarti tidak seorang pun dapat menolong mereka saat hal buruk tersebut terjadi pada mereka. Ketidakberdayaan untuk mencegah tubuh mereka dijamah paksa menimbulkan kengerian yang tidak bisa hilang dalam benaknya.
Repetisi dalam puisi mengenai kenangan-kenangan tersebut terus menghantui dan seakan-akan tidak akan berakhir. Lantas, bagaimana memaknai ingatan? Bagaimana proses ini bisa terjadi?
Menurut Jonathan Boulter dalam bukunya yang berjudul Melancholy and the Archive Trauma, Memory, and History in the Contemporary Novel, semua kenangan dibekukan oleh archive. Secara tradisional archive diartikan sebagai respons material ataupun afektif terhadap masa lalu sebagai cara untuk “mengawetkan” yang pernah terjadi. Ia juga mengutip Derrida yang menekankan bahwa archive bekerja secara otoritatif untuk menandai ruang permulaan dan futuritas.[5] Kehilangan putra tercinta menjadi awal mula puisi Perempuan-Perempuan Plaza de Mayo dan peristiwa pengambilan paksa sang perawan dari rumah mereka oleh tentara Jepang dalam Ketakutan Suatu Malam: Jugun Ianfu mengawali trauma sang persona. Kenangan-kenangan buruk yang ditimbulkan oleh trauma tersebut melintasi batas masa lalu dan menjelajah sampai ke kehidupan para persona di masa depan.
Trauma tersebut berada di ruang, situs, archive, dalam entitas temporal dan spektral.[6] Bentuk material archive merupakan entitas temporalnya. Puisi Ketakutan Suatu Malam, misalnya, diimajinasikan dalam ruang yang luas, ‘kota yang jauh’, kemudian menyempit ke ‘rumah-rumah tinggi bercat pudar’, dan semakin spesifik ke ‘ranjang besi berkarat’. Detail ini turut membangun imajinasi pembaca terhadap kengerian yang dialami persona. Tempat-tempat imajinasi tersebut menjadi situs di mana ingatan berasal. Hujan dalam puisi Ketakutan Suatu Malam: Jugun Ianfu membangkitkan ingatan dan mengulang peristiwa dalam kepala persona bahwa ia pernah diambil paksa oleh para tentara Jepang. Ia merasa tidak berdaya dan tangisannya yang lebih kencang dari hujan menunjukkan emosi yang begitu meluap yang menyiratkan ketakutan. Repetisi bait mengenai luka bakar di pipi kanan adalah bentuk dari luka fisik yang bekasnya tidak hilang, sekaligus menjadi penanda luka di jiwa yang tidak bisa sembuh. Luka bakar di pipi kanan juga menjadi ruang untuk ingatan-ingatan traumatik. Entitas temporal archive dalam puisi Perempuan-Perempuan Plaza de Mayo adalah meja makan siang, bumi, sudut taman kota, langit kota, buket-buket bunga yang mengering dan kelopaknya. Rumah yang dahulu pernah ada seorang anak laki-laki di dalamnya, yang duduk bersama persona di meja makan, menyimpan kenangan sekaligus pengingat akan kehilangan.
Archive juga menandai ruang kecemasan akan kemungkinan atas kehilangan, yakni antisipasi hilangnya sejarah.[7] Puisi Perempuan-Perempuan Plaza de Mayo dan puisi Ketakutan Suatu Malam: Jugun Ianfu adalah archive yang mempunyai fungsi yang terakhir. Kedua puisi ini pun menjadi phenomenal archive, situs berkumpulnya ingatan, shared knowledge, yang pernah mempengaruhi dua era yang berbeda. Pada saat inilah archive dibutuhkan karena suatu saat ingatan akan kejadian-kejadian itu bisa hilang.
Derrida menempatkan subjek sebagai situs dari kehilangan atau disebut sebagai entitas spektral archieve. Para persona dari kedua puisi tersebut membawa kembali kenangan-kenangan buruk yang terjadi pada para perempuan di era yang tidak terlampau jauh, pertengahan abad ke-20, walaupun berada di belahan bumi yang berbeda. Ketiadaberdayaan, rasa frustasi, ketakutan tiada akhir, suara-suara yang berasal dari korban dalam kedua puisi menjadi pengingat, walaupun menyakitkan bahwa hal yang sangat buruk pernah terjadi pada sejarah kaum perempuan.
Menurut Freud, ketidakmampuan untuk memutus hubungan masa kini dengan trauma dan kehilangan di masa lalu merupakan sebuah keabnormalan yang disebut melankolia. Kesedihan mendalam hanya bisa hilang dengan melepaskan diri dari objek yang hilang.[8] Hal itu tentu tidaklah mudah. Ingatan akan kehilangan diproduksi berulang kali.
Kapankah melankolia ini akan berakhir?
Melankolia menjadi mata yang lebih tajam untuk melihat kebenaran. Melepaskan diri dari masa lalu hampir tidak mungkin, karena masa lalu yang mengartikulasi subjek. Ingatan membentuk subjek di masa sekarang dan masa depan, jika ia masih ingin melekat dengan objek-objek yang hilang. Ingatanlah yang membuat sejarah tidak mudah dihapus, walaupun keberadaannya sangat menyakitkan.
Daftar Pustaka
Boulter Jonathan. Melancholy and the Archive: Trauma, Memory, and History in the
Contemporary Novel. London: Continuum International Publishing Group, 2011.
Horvits, Deborah M. Literary Trauma: Sadism, Memory, and Sexual Violence in American
Women’s Fiction. New York: New York University Press, 2000.
Klein, Naomi. The Shock Doctrine. New York: Henry and Holt, Inc., 2008.
Rengganis, Nissa. “Perempuan-Perempuan Plaza de Mayo.” Cirebon, 2013.
“Ketakutan Suatu Malam: Jugun Ianfu.” Banjarnegara, 2014.
[1] Didiskusikan dalam diskusi sastra bulanan PKKH UGM edisi Agustus 2015
[2] Mahasiswa S-2 Ilmu Sastra FIB UGM
[3] Deborah M. Horvits, Literary Trauma: Sadism, Memory, and Sexual Violence in American Women’s Fiction (New York: New York University Press, 2000), hlm.131.
[4] Naomi Klein, The Shock Doctrine (New York: Henry and Holt, Inc., 2008), hlm. 114.
[5] Jonathan Boulter, Melancholy and the Archive Trauma, Memory, and History in the Contemporary Novel (London: Continuum International Publishing Group, 2011), hlm. 3.
[6] Ibid, hlm. 4.
[7] Ibid, hlm. 4.
[8] Ibid, hlm. 22.