Shop

Showing 61–72 of 77 results


  • Pada tingkat yang paling dasar, yaitu tingkat dunia pengalaman dan penghayatan, manusia bersentuhan dengan dunia, lingkungan alamiah dan kultural-manusiawinya secara langsung melalui kontak indrawi. Hubungan antarmanusia, misalnya, bersifat tatap muka. Begitu juga persentuhan antara manusia dengan alam. Pada masa berburu, manusia tinggal di hutan, bersentuhan langsung dengan binatang buruannya, mempertaruhkan keselamatan fisik dan nyawanya. Konsep romantik tentang cinta adalah semacam kerinduan akan kelangsungan itu, yaitu yang biasa dikenal sebagai “cinta pada pandangan pertama” yang di dalamnya tidak ada mediasi apa pun sebagai syaratnya, baik mediasi status sosial, kelas, ras, nasionalitas, geografis, usia, bahkan gender, ataupun apa yang disebut orang Jawa sebagai “bibit, bebet, bobot”.

    Namun, manusia cenderung juga merekam, menyimpan, dan mentransmisikan pengalaman langsung itu untuk pegangan dalam mengarungi dunia pengalaman berikutnya, baik bagi dirinya sendiri maupun generasi yang lebih kemudian, sehingga mereka dapat “belajar dari pengalaman”, tidak belajar sambil atau sesudah mengalami sendiri secara langsung. Untuk mengetahui bahwa ular itu beracun dan bisa mematikan, misalnya, manusia tidak perlu harus mengalami gigitan ular itu terlebih dahulu, melainkan cukup mempelajari dan mengetahuinya dari pengalaman manusia-manusia yang ada sebelumnya. Masyarakat, dengan keluasan apa pun, pada dasarnya terbentuk dari rekaman dan penyebaran terhadap akumulasi dari ruang ke ruang, waktu ke waktu, pengalaman yang demikian.

    Peter Berger dan Thomas Luckman, dalam buku mereka yang berjudul The Social Construction of Reality, memahami masyarakat secara fenomenologis dengan menggabungkan teori Weber dan Durkheim. Sesuai dengan filsafat fenomenologi, mereka beranggapan bahwa realitas, termasuk yang sosial, merupakan objek yang intensional. Atas dasar pengertian itu, mereka memulai pemahamannya dari sebuah pandangan mengenai kodrat manusia sebagai makhluk yang menjadi, bukan makhluk yang sudah atau langsung jadi begitu dilahirkan. Karena makhluk yang menjadi, manusia membentuk dirinya sendiri dan lingkungan yang sesuai dengan diri mereka atau sebaliknya. Dari interaksi dengan sesamanya dan dengan lingkungan alamiahnya, manusia melakukan tipifikasi terhadap diri dan lingkungannya untuk dijadikan pedoman dalam interaksi berikutnya, menjadikan endapan pengalaman subjektif dan bersituasi itu sebagai sesuatu yang berada di luar dan melampaui diri mereka, suatu tindakan eksternalisasi sehingga dipahami sebagai sesuatu yang objektif, yang berada di luar diri manusia, sehingga tidak bisa diubah oleh kehendak subjektif. Endapan pengalaman yang sudah dieksternalisasikan itu kemudian secara dialektik diinternalisasikan kembali kepada diri sehingga realitas yang semula sudah objektif menjadi realitas yang juga subjektif.

  • Ada ruang alternatif bagi subjek sebagai wilayah pemenuhan atas rasa kekurangan (lack) manusia. Begitu juga dalam sastra dan seni, pengarang atau seniman mengarahkan kita pada kenikmatan spiritual untuk memenuhi segala kekurangan (kasat mata) yang kita rasakan sebagai manusia. Perihal ini kita dapat menelisik lebih jauh dalam artikel kelima mengenai kenikmatan spiritualitas dalam pakeliran padat lakon Dewa Ruci Ki Mantep Soedarsono.

    Saya pernah menyinggung persoalan politik spiritualitas dalam tulisan saya di salah satu koran lokal di Yogyakarta, bahwa pada tataran subjek/per-orangan, spiritualitas menjadi ruang alternatif (cadangan) yang dapat dipakai ataupun tidak. Hal ini tentu bergantung pada tuntutan lingkungan sosial terdekat yang dialami sehari-hari. Spiritualitas dapat menjadi kontestasi persahabatan dan persaudaraan suatu komunitas, baik sebagai ajang persaingan internal, baik untuk tujuan-tujuan tertentu (negatif/positif).

    Merujuk perspektif Lacanian bahwa subjek pada dasarnya adalah subjek terbelah, serba kekurangan, dan tidak utuh. Tanpa sadar subjek terus mereproduksi fantasi-fantasi untuk memenuhi hasrat, untuk mencapai kesatuan eksistensial. Usaha pencarian ‘diri’ ini seringkali dipenuhi atau diaktualisasikan salah satunya dengan laku spiritual. Dalam Jawa ada upaya penyatuan diri subjek dengan ‘Yang Riil’ untuk menuju pada kesempurnaan atau kemanunggalan. Gagasan itu termanifestasikan dalam tradisi masyarakat Jawa sehingga mereka punya konsep laku spiritual yang disebut Manunggaling Kawula Gusti. Laku spiritual manusia Jawa tentu sebagai laku memenuhi keselarasan dan keharmonian hidup.

    Dunia manusia adalah dunia yang dikonstruksi atau dibentuk oleh aktivitasnya sendiri. Artinya, ia harus membentuk dunianya sendiri dalam hubungannya dengan dunia. Yang dibentuk adalah kebudayaannya. Tujuannya memberikan struktur-struktur kokoh yang sebelumnya tidak dimiliki secara biologis. Sebagai bentukan manusia, struktur-struktur memiliki kemungkinan berubah karena sifatnya yang tidak stabil (Berger, 1990: 6-8). Karena sifatnya yang tidak stabil, pandangan-pandangan mahasiswa dalam buku ini cukup representatif merespons kenyataan-kenyataan sosial dalam karya sastra beragam.

    Mengapa saya katakan ‘asimetri’? Hal penting asimetri adalah sifatnya yang tersebar luas di berbagai tingkat dan lapisan, memungkinkan perubahan terjadi berkali-kali. Begitu dengan sastra hal yang terlihat di permukaan teks (main text) belum tentu secara tersirat mengatakan hal yang sama. Bentuk teks sastra bukanlah sekadar hiasan melainkan sebagai perwujudan ideologis yang kuat (Jameson, 1971). Maka upaya pembacaan totalitas dibutuhkan untuk mengetahui yang tersembunyi dari struktur bawah teks. Kesadaran historis membantu mengungkap makna-makna yang termanifestasikan dalam karya sastra. Sejarah adalah struktur dasar memang menjadi sangat penting.

  • Sedikit Pembuka

    Sinta Ridwan

     

    Untuk Senja Hatiku: Kutunggu kau/ di rumah mungil itu// Aku akan siapkan kayu untuk perapian nanti malam// Dan secangkir bintang/ untuk kita berdua// Dari Embun Pagimu – Ujungberung II, 26 Mei 2009

    Setiap malam tiba, hal pertama yang aku cari adalah keberadaan bintang-bintang. Kami seolah saling menyapa: Bagaimana kabarmu hari ini? Indah? Ya, aku dan bintang seperti memiliki keterikatan yang dalam. Selain bintang, sahabatku yang lain adalah senja, Manglayang, awan putih, langit biru, pelangi, hujan, mentari, angin, naskah kuna, tanah, laut, camar, elang, dan naga. Aku juga punya seorang kekasih, Embun Pagi namanya. Namun, sebenarnya hanya satu pelindung hati dan semangat jiwa, bintang itulah.

    Lalu mengapa harus secangkir? Bukan seember, segelas, semangkuk, atau selangit. Alasannya, karena hidup ini sebentar. Seperti ukuran cangkir kecil yang dalam dan melengkung. Waktu ini sempit. Ibaratnya, duniaku hanya sebesar cangkir. Dan mimpi-mimpi yang ada dalam hidupku seperti sedang memenuhi cangkir dengan bintang-bintang penuh warna. Sedih, suka, senang, bahagia, masa lalu, masa kini, dan amarah. Sengaja aku beri warna-warna pada si hidup agar menambah cita rasa bintang dalam cangkirku.

    Ya, secangkir bintang. Dua kata inilah yang mewakili perasaanku dalam judul naskah yang berisikan kumpulan tulisan pendek dan ringan selama perjalanan empat tahun dari 2006 hingga 2009. Dan ini adalah naskah pertamaku. Anakku sendiri, yang lahir dari seluruh tubuhku, berbaur dengan apa yang ada di dekatku.

    Inspirasi untuk menulis “katakanlah” puisi, selalu datang tanpa terdeteksi sebelumnya. Ketika muncul, aku hanya sanggup mempersilakan mereka masuk ke dalam ruang imajinasiku. Entah, menarik atau tidak bagi orang lain. Setidaknya aku bersikap jujur untuk mengungkapkan apa yang aku lihat, apa yang aku dengar, apa yang aku rasa, apa yang aku sentuh, apa yang aku pikir, dan apa yang aku mimpikan pada saat itu juga. Langsung kutuang ke dalam cangkir. Entah berasa pahit, manis, luka, atau ceria.

    Kuyakini, jika imajinasi, mimpi, khayalan, dan ambisi merupakan anugerah yang dimiliki setiap makhluk hidup. Bila dikolaborasi suasana hati akan menjadi lebih berwarna. Hidup semakin lebih hidup.

    Coretan tulisan ini berasal dari apa saja yang aku rasa dan merupakan hal-hal sederhana di kehidupanku sehari-hari. Aku sedang belajar dan mencoba menuangkan isi tentang hal-ihwal di hadapan juga di belakang, mulai dari mata lalu ke otak, ke hati kemudian membentuk kata-kata. Bagiku, si pengidap ill communication stadium tinggi, menulis adalah bentuk ekspresi dari pelampiasan kata-kata yang tertahan, tak terucap, terpendam, lama mengendap, lalu menggunung dalam tubuh.

    Melalui tulisan yang sedikit malu-malu kucing ini, aku mengakui bahwa anak-anakku yang didokumentasikan dalam secangkir bintang dianggap sebagai bentuk puisi sederhana, yang akhirnya mampu kutuang semuanya. Dan aku merasa plong. Lega rasanya.

    Teramat bahagia, ketika melihat ada makhluk-makhluk hidup lainnya mau menyisakan waktu membaca coretan ini. Bagiku, itu adalah bentuk dari perhatian yang tak dapat dibalas dengan apapun. Mungkin, hanya bisa memberikan senyuman paling manis yang dimiliki dan bisikan terima kasih atas semua yang telah membantu dan menemani selama proses pembuatan dan kelahirannya anak kecil ini.

    Kepada semua yang sudah pernah main ke duniaku, membaca tulisan-tulisannya, menggenggam secangkir bintang, menyeruput dan turut menambah rasa warna-warni bintang dalam cangkir ini, kuucapkan: Hatur nuhun pisan.

     

    Ujungberung II, 23 April 2009

  • Desa Sapit merupakan salah satu desa tertua yang terletak di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Desa ini kaya akan sejarah, budaya, dan sumber daya alam yang melimpah. Salah satu sumber daya alam yang menjadi komoditas utama di Desa Sapit adalah kopi dan beragam sayur-sayuran. Salah satu keunikan kegiatan pertanan di desa ini adalah bahwa mayoritas warga penggerak kegiatan pertanian adalah para pemuda berumur 18 hingga 28 tahun. Para pemuda ini bersatu membentuk sebuah kelompok Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang dinamakan Sapit Farm Mandiri yang didirikan pada tahun 2017. Saat ini, UMKM tersebut akan membuka kedai kopi perdana mereka. Namun, mereka masih sering menemukan kendala dalam kegiatan pengembangan produk kopi ini. Aliran listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) seringkali tidak stabil dan padam tanpa pemberitahuan. Hal tersebut membuat kegiatan pengembangan produk terhambat. Sementara itu, Desa Sapit memiliki intensitas sinar matahari yang tinggi dan ketinggian yang cocok untuk implementasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Maka dari itu, kami merencanakan untuk melakukan kegiatan pelatihan implementasi teknologi tepat guna dan ramah lingkungan “Gerobak Surya” sebagai sarana kegiatan ekonomi kelompok UMKM Desa Sapit. Gerobak Surya yang diimplementasikan di Desa Sapit ini terbuat dari galvalum. Selain lebih kuat, tipe Gerobak Surya ini juga terlihat lebih modern. Dalam jangka waktu 3 bulan, dengan penggunaan teknologi pencipta sumber energi alternatif seperti Gerobak Surya ini, pendapatan UMKM Sapit Farm Mandiri diharapkan dapat meningkat sebanyak 25% dari pendapatan sebelumnya.

  • Merespons fenomena narrative turn, buku ini menyajikan artikel-artikel yang menggunakan pendekatan naratologi dari beberapa ahli yang berbeda. Konsep-konsep naratologi dari Todorov, Genette, Barthes, digabungkan dengan beberapa analisis diskursif tentang memori kolektif, mimetic desire, dan ideologi, terhadap berbagai genre karya sastra dan film Indonesia. Buku ini diharapkan bisa menjadi salah satu ruang diskusi naratologi dalam konteks Indonesia, yang bisa diperbandingkan dengan perkembangan naratologi di berbagai belahan dunia berbeda.

  • Puisi terdiri dari tubuh dan ruh. Di dalam buku ini mengulik keduanya, yaitu bagaimana mengenalinya dan menguraikan langkah-langkah menulisnya. Kelebihan buku ini adalah, pembaca mengenal berbagai jenis puisi, cara menikmati puisi/analisis, dan teknik menuliskannya.

    Buku ini terdiri dari teori apresiasi dan langkah-langkah terapan. Masing-masing penulis sertakan contoh puisi untuk mempermudah pemahaman. Ada beberapa langkah-langkah yang memamng tidak penulis sertakan langkah-langkahnya, sebab dengan contoh yang ada sudah cukup untuk mengerti ke arah cara menulis puisi yang dimaksud.

    Tidak banyak yang tahu jenis-jenis puisi dan istilah yang melingkupinya, mislanya alusi, impresi, dramatik, antropomorfisme, pararima, kolase. Di dalam buku ini juga dipaparkan juga kiat menangkap ide; menciptakan kesegaran daya ungkap; menghilangkang konjungsi; menulis kata pertama; menulis judul; merecvisi; dan lain sebagainya.

    Buku ini deperuntukkan bagi masyarakat yang ingin mengenal puis; bagi orang-orang yang ingin bisa menikmati puisi; bagi guru yang mengajarkan puisi; bagi pembina sanggar; bagi penyair yang selama ini kesulitan mengajarkan penulisan puisi; dan bagi siapa pun yang menjadi pemateri penulisan puisi.

  • Esti memotret hidup dengan bahasa dan ia memakaikan gambarnya lewat katanya—bukan lewat warnanya. Tapi toh titik itu kembali lagi: lewat kata kita menghidupi warna yang diambil Esti dari dalam, katanya, tengahnya hidup dan itulah Mijil yang lagi menurunkan dirinya, dari tembang kesunyian hidup manusia, manusia siapa saja dan manusia mana saja, kita beroleh kabar agak terang bahwa, kata Esti, tengahnya dunia adalah laku atau diri atau, apa saja hendak kita isikan, dunia nasihat yang keluar dari gaibnya dunia Mijil juga. Esti mengatakan potretnya ini lewat nada dari warna gambar hidupnya dan keluarlah sesuatu pernyataan normatif atas hidup yang berlaku untuk siapa saja, tapi sukar itu. Esti: tengahnya laku//terhormat dan bermartabat. Tapi lihatlah “sampai juga gairah asmaradhana” di sana. sampai dan tiba ke “hingga senja megatruh”. (Hudan Hidayat – Sastrawan)

    Kembalinya penyair ke akar tradisi sebagai pilihan pantas dihargai, sebab realitas menunjukkan bahwa akar tradisi memberikan tumpuan yang kuat bagi tumbuhkembangnya karya sastra monumental. Bagi kita yang hidup di dalam tata nilai Timur, sastra yang unggul adalah sastra yang berjalin-berkelindan pada Realitas Hakiki yang metafisis sifatnya. Karya sastra yang dihasilkan oleh tata nilai Timur ini menunjukkan karya yang memiliki keharmonisan di dalam dan sarat makna. Penyair pada akhirnya harus tanggap pada apa yang disebut oleh Romo Dick hartoko sebagai ”Tanda-tanda Zaman”. Perubahan memerlukan penyesuaian. Penyesuaian memerlukan pemahaman. Pemahaman memerlukan kerja keras. Kerja keras akan menghasilkan karya berkualitas. Penyair yang gemilang adalah mereka yang mau bekerja keras saat orang-orang lain tidur, berani mengambil risiko ketika yang lain mundur. Demikianlah, lanskap suasana yang tertangkap saat Esti Ismawati menyanyi megetruh di saat senja. (Dimas Arika Mihardja – Direktur Eksekutif Bengkel Puisi Swadaya Mandiri)

  • Seorang legenda pendaki gunung dan pencinta alamIndonesia Soe Hok Gie pernah menyatakan dalamsebuah tulisannya, bahwa rasa nasionalisme tidak dapat tumbuh dari slogan atau indoktrinasi melainkan cinta tanah air hanya dapat tumbuh dari melihat langsung alam dan masyarakatnya.

    Pernyataan Soe Hok Gie tersebut, betul-betul penulis rasakan ketika bergabung menjadi anggota Perkumpulan Pendaki Gunung dan Penjelajah Alam MERMOUNC. Melakukan perjalanan dan kegiatan alam bebas menelusuri pelosok negeri, menerobos hutan belantara,menyusuri lembah dan mendaki tingginya Gunung di semesta alam Nusantara serta melihat langsung denyut nadi kehidupan masyarakat yang berada jauh dari hiruk pikuk kota metropolitan. Sebuah pengalaman inderawi yang banyak memberikan pengetahuan bagi penulis dalam memahami makna kehidupan.

    Mungkin bagi sebagian orang, apa yang dilakukan oleh penulis dengan berkegiatan petualangan di alam bebas, bisa jadi dipersepsikan sebagai sebuah aktivitas yang tidak ada manfaatnya alias buang-buang waktu. Bahkan penulis sendiripun pernah mengalami perlakuan sinis dan cibiran dari sebagian orang yang menganggap para petualang alam bebas adalah orang-orang kurang kerjaan dan hanya sekedar mencari eksistensi agar dianggap “macho”.

    Boleh saja sebagian orang berpendapat begitu, namun bagi penulis melalui kegiatan petualangan di alam bebas, kita dapat melihat dan merasakan langsung keindahan bumi Nusantara dan juga keaneka ragaman budaya yang merupakan ekspresi dari keragaman masyarakat Nusantara tercinta ini. Sesuatu hal yang jauh melampaui dari hanya sekedar mencari pengakuan akan eksistensi diri agar dianggap “macho”, tapi sesuatu hal yang memberikan makna yang lebih dalam untuk mengenal lebih dekat alam dan masyarakat bumi Nusantara ini, dengan melihat dan merasakan secara langsung melalui pengalaman inderawi baik sebagai sebuah pengalaman material maupun spiritual.

    Apalagi berbicara tentang sebuah gunung, gunung bagi penulis penuh dengan beribu makna yang terekam dalam bentuk kisah-kisah baik yang bersifat personal maupun kisah yang bercerita tentang aspek pengetahuan baik secara ilmiah maupun aspek pengetahuan lokal masyarakat yang hidup di lingkaran sebuah gunung. Secara personal penulis memandang gunung sebagai sebuah realitas empirik yang berdimensi ruang dan waktu. Ketika kita mendaki sebuah gunung yang sama namun dengan dimensi ruang dan waktu yang berbeda pasti kita mendapatkan pengalaman dan pengetahuan yang berbeda pula.

    Sementara dalam konteks aspek pengetahuan ilmiah, gunung adalah sesuatu fenomena alam yang harus kita ketahui bersama, karena kita tinggal di bumi Nusantara yang dikelilingi oleh beribu-ribu gunung api atau disebut sebagai wilayah ring of fie. Di mana keberadaan gunung dapat merupakan ancaman bencana bagi sebuah wilayah yang dihuni oleh penduduk, sehingga pengetahuan tentang kegunungapian atau vulkanologi sudah semestinya menjadi pengetahuan dasar bagi kita semua yang hidup di wilayah
    “cinci api” termasuk di dalamnya memahami pengetahuan lokal yang bersumber dari cara pandang masyarakat lokal
    sebagai cara kita untuk memahami “bahasa” gunung dan sekaligus upaya kita dalam konteks pengurangan resiko
    bencana yang disebabkan oleh erupsi gunung api.

    Bagi sebagian masyarakat Jawa, keberadaan sebuah gunung adalah sebuah keniscayaan, karena gunung api paling banyak terdapat di pulau Jawa dibandingkan dengan pulau lainnya di wilayah nusantara. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat Jawa terutama mereka yang hidup di sekitar gunung memiliki cara pandang sendiri dalam memaknai keberadaan sebuah gunung. Gunung dapat
    dipandang dari sisi material maupun dari sisi spritualitas.

    Dari sisi material sebagian masyarakat Jawa memahami bahwa gunung merupakan ancaman bencana ketika gunung tersebut tengah mengalami erupsi, tapi di balik ancaman bencana tersebut gunung juga mendatangkan keuntungan ekonomi berupa tanah yang subur bagi lahan pertanian dan pasir yang melimpah yang dapat menghasilkan manfaat secara ekonomi.

    Sementara dari sisi spritualitas gunung bagi masyarakat Jawa bukanlah sekedar benda mati, namun diyakini bahwa gunung melambangkan hubungan diantara dunia manusia atau jagad manusia dan kayangan atau jagad para dewa-dewa. Kepercayaan tersebut memang mempengaruhi kepercayaan masyarakat Jawa terhadap gunung, mulai dari jaman dahulu hingga saat ini. Mencoba memahami “bahasa” gunung barangkali adalah sebuah ungkapan yang tepat bagi penulis untuk menuliskan pengalaman-pengalaman penulis dalam melakukan kegiatan pengembaraan dan melihat secara langsung kehidupan yang ada di sekitar gunung serta mendengar langsung cara pandang masyarakat yang hidup di kaki gunung atau meminjam istilah antropologi adalah dengan menggunakan pendekatan emic sehingga kita menjadi tahu persepsi mereka dari sudut pandang mereka sendiri bukan dari sudut pandang kita.

    Buku yang hadir ditangan pembaca ini bukanlah sebuah hasil penelitian ilmiah yang lengkap dengan kerangka teori dan metodologinya. Buku ini hanya berdasarkan pengalaman inderawi ketika penulis melakukan perjalanan yang penulis rekam dalam catatan perjalanan ditambah dengan beberapa data sekunder yang penulis peroleh dari berbagai sumber referensi. Beberapa penggalan kisah yang berangkat dari pengalaman pribadi penulis dalam melakukan pengembaraan di wilayah pegunungan dan melihat langsung denyut nadi kehidupan masyarakat di beberapa daerah. Penulis mencoba mengulasnya dalam beberapa penggalan kisah yang didasarkan pada hasil observasi, wawancara dan terekam dalam catatan perjalanan

  • Buku ini memuat fragmen-fragmen teoretik “perjalanan hidup subjek” ketika subjek mulai memasuki (struktur) kehidupan hingga berbagai upaya pencarian subjek terhadap dirinya. Sebagai fragmen, setiap tulisan berdiri secara sendiri-sendiri, tetapi menjadi rangkaian dari keseluruhan isi buku. Secara umum, buku ini mengapresiasi berbagai teori dan pendekatan, tetapi terutama sosiologi struktural, postruktural, dan posmarxis. Buku yang dikemas secara esai ini lebih dalam rangka mencari dan membuka masalah daripada menjawab masalah.

  • Suites adalah korpus berisi puisi-puisi pendek yang dikerjakan Federico García Lorca dalam rentang 1920-1923, dan baru diterbitkan 60 tahun kemudian, 47 tahun setelah kematiannya. Suites berisi sekuens-sekuens puitik, serangkaian fragmen lirik yang dikelompokkan secara bebas ke dalam tema tunggal, melalui analogi, dengan apa yang telah dikerjakan oleh para komponis musik favoritnya. Sejumlah puisi dalam Suites cenderung menunjukkan narasi yang rusak atau diinterupsi dengan aku-lirik sebagai protagonis sementara, sedangkan puisi-puisi lain begitu dekat dengan bentuk ideal haiku, terutama puisi-puisi pendek yang menangkap momen-momen pengalaman tanpa kehadiran aku-lirik menyela di antara penyair dan pembacanya.

  • SULUK PENGANTAR

    Aku merasa sudah memasuki umur cukup tua. Entah kapan aku akan meninggalkan dunia ini. Tentu aku berharap usiaku panjang. Panjang usia dan dalam keadaan sehat sejahtera. Tentu aku juga berharap dosa-dosaku, dosa-dosa kita diampuni.

    Dalam kecemasan entah kapan kita kembali pada-Nya, aku merasa tidak ada persiapan yang cukup. Aku sadar, nanti kalau meninggal aku tidak membawa apa-apa. Untuk itulah, aku berpikir aku perlu meninggalkan sesuatu, yang kelak bisa aku bawa. Salah satu pilihan itu adalah dengan menulis puisi.

    Berbeda ketika aku menulis Mantra Bumi (2016). Waktu itu, aku bisa menulis dengan cepat, dan tidak berpikir panjang, karena kuniati menulis mantra atau doa. Munulis puisi dalam Suluk Bagimu Negeri, aku harus bekerja keras.

    Berdasarkan pengalamanku kali ini, tidak ada pekerjaan lain yang lebih melelahkan daripada membuat puisi. Tidak ada pekerjaan lain yang lebih menuntut konsentrasi tinggi daripada membuat puisi.

    Biasanya, setelah aku berhasil membuat dua atau tiga puisi, aku tertidur kelelahan, dengan perasaan tidak puas. Dalam tidur yang penuh kecemasan, terbersit pertanyaan apakah aku dibangunkan dan bisa membuat puisi lagi.

    Begitulah, segalanya harus kita lewati menuju hari-hari yang kita tak tahu ke mana arah hidup berjalan. Dalam kesempatan ini, tidak ada kata-kata yang lebih pantas untuk mengatakan terimakasih. Terimakasih kepada Tuhan, serta shawalat dan salam kepada junjungan Kanjeng Muhammad.

    Terimakasih kepada buah hatiku, kecintaanku, Ainina Zahra, kepada istriku yang indah, Pristi Salam. Terimakasih kepada sahabat-sahabat di Pusat Studi Kebudayaan UGM, kepada seniman dan sastrawan Yogyakarta, dan kepada para mahasiswaku yang hebat-hebat. Juga kepada sahabat-sahabat yang telah menemani diskusi-diskusi yang panjang di malam-malam yang larut.

    Hormat saya kepada Anda semua.

    Aprinus Salam


Showing 61–72 of 77 results

logo-gambang-footer

Jika Anda Merasa Kesusahan dalam Berbelanja Buku dari Website Kami Silakan Order Melalui Nomor WhatsApp Berikut : 0856-4303-9249

Top