Description
Berdasar istilah yang digunakan, posthumanisme, yang terbentuk dari partikel ‘post’ dan ‘humanisme’, merupakan konsep yang mengacu pada cara pandang yang, sebagaimana istilah yang muncul sebelumnya, yaitu poststrukturalisme atau postmodernisme, “muncul setelah”, “merekonstruksi”, atau “mendekonstruksi”, humanisme. Bahwa posthumanisme merupakan cara pandang yang “muncul setelah” humanisme memang benar adanya. Namun, pada kenyataannya, hubungan keduanya tidaklah semata bersifat kronologis, ada hubungan yang bersifat konsekuensialitas di antara keduanya. Hubungan itu berkenaan dengan apakah posthumanisme itu “mendekonstruksi” atau “merekonstruksi” seperti yang telah disinggung di awal tulisan ini.
Menurut Ihab Hassan (Mohamad, 2023), istilah posthumanisme pertama kali muncul pada tahun 1946. Istilah itu makin menguat pada 1960-an dan meluas menjadi diskusi publik pada pertengahan tahun 1990-an (Wolfe, 2010). Istilah yang menjadi lebih intens digunakan itu, di satu sisi, mengacu pada pemikiran kritis yang berfokus pada efek yang ditimbulkan oleh berbagai penemuan ilmu pengetahuan seperti kurang teperhatikannya aspek nonhuman atau hal lainnya yang dianggap irasional; di sisi lain, mengacu pada berbagai penemuan teknologi seperti cyborg dan artificial intelligence (kecerdasan buatan) yang menghasilkan semacam manusia baru atau kecerdasan baru yang dipandang “melampaui” kecerdasan manusia. Hubungan di antara cara pandang dekonstruktif dan rekonstruktif terus berlangsung hingga sekarang dalam pola hubungan seperti dalam ungkapan “biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.”
Perkembangan di atas terjadi sebagai konsekuensi dari berkembangnya humanisme, cara pandang yang menempatkan manusia sebagai pusat kebenaran. Humanisme itu sendiri secara etimologis erat berkaitan dengan kata latin klasik, yaitu humus, yang berarti tanah atau bumi, dan dari istilah tersebut muncul kata homo yang berarti manusia (makhluk bumi) dan humanus yang lebih menunjukkan sifat “membumi” dan “manusiawi”, yang biasa diantonimkan dengan makhluk nonmanusia (binatang, tumbuhan, makhluk luar angkasa, dan dewa-dewa) (Samho, 2008: 2–3). Karena mampu mendorong praktik pengetahuan dalam mengeksplorasi berbagai fenomena, baik fenomena alam maupun kultural, dan menghasilkan penemuan dalam ilmu pengetahuan dan mendorong pada kemajuan kebudayaan dan peradaban manusia, humanisme berkembang dengan cepat dan menyebar ke berbagai penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia.
Humanisme masuk ke Indonesia sejalan dengan proses kolonialisasi Belanda yang berlangsung selama tiga setengah abad. Dengan waktu selama itu, bisalah dibayangkan bagaimana cara pandang tersebut kemudian mengalami proses internalisasi, enkulturasi, dan kemudian bahkan naturalisasi. Proses naturalisasi tersebut berlangsung begitu jauh dan masuk ke dalam bawah sadar bangsa Indonesia hingga selanjutnya berubah menjadi energi penggerak dan memunculkan kesadaran pada bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri hingga kemudian mendasari perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya. Puncaknya adalah dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Reviews
There are no reviews yet.