Availability: In Stock

Sastra dalam Perspektif Poshumanisme

Rp 140.000

Poshumanisme, sebagai aliran pemikiran yang meruntuhkan batas-batas antara manusia, teknologi, dan lingkungan, semakin relevan dalam memahami perubahan dunia kontemporer. Sastra, sebagai medium ekspresi dan refleksi sosial, turut berperan dalam mencerminkan hubungan yang semakin kompleks antara manusia dan lingkungan di sekitarnya. Buku ini mencoba memotret fenomena tersebut dari berbagai sudut pandang, dengan fokus pada cara-cara baru dalam memahami keberadaan manusia dan kontribusinya terhadap alam, teknologi, dan budaya.

Tulisan-tulisan dalam buku ini menawarkan pendekatan multidisipliner, yang tidak hanya melihat sastra dari sisi estetik semata, tetapi juga menggali hubungan antara bahasa, identitas budaya, dan interaksi manusia dengan teknologi. Setiap esai memberikan wawasan kritis yang membuka ruang dialog antara filsafat, teori sastra, dan kajian budaya, sehingga diharapkan dapat menjadi rujukan bagi pembaca yang ingin memperdalam pemahaman tentang dinamika antara sastra dan poshumanisme.

Categories: , Tag:

Description

Berdasar istilah yang digunakan, posthumanisme, yang terbentuk dari partikel ‘post’ dan ‘humanisme’, merupakan konsep yang mengacu pada cara pandang yang, sebagaimana istilah yang muncul sebelumnya, yaitu poststrukturalisme atau postmodernisme, “muncul setelah”, “merekonstruksi”, atau “mendekonstruksi”,  humanisme. Bahwa posthumanisme merupakan cara pandang yang “muncul setelah” humanisme memang benar adanya. Namun, pada kenyataannya, hubungan keduanya tidaklah semata bersifat kronologis, ada hubungan yang bersifat konsekuensialitas di antara keduanya. Hubungan itu berkenaan dengan apakah posthumanisme itu “mendekonstruksi” atau “merekonstruksi” seperti yang telah disinggung di awal tulisan ini.

Menurut Ihab Hassan (Mohamad, 2023), istilah posthumanisme pertama kali muncul pada tahun 1946. Istilah itu makin menguat pada 1960-an dan meluas menjadi diskusi publik pada pertengahan tahun 1990-an (Wolfe, 2010). Istilah yang menjadi lebih intens digunakan itu, di satu sisi, mengacu pada pemikiran kritis yang berfokus pada efek yang ditimbulkan oleh berbagai penemuan ilmu pengetahuan seperti kurang teperhatikannya aspek nonhuman atau hal lainnya yang dianggap irasional; di sisi lain, mengacu pada berbagai penemuan teknologi seperti cyborg dan artificial intelligence (ke­cer­dasan buatan) yang menghasilkan semacam manusia baru atau kecerdasan baru yang dipandang “melampaui” kecerdasan manusia. Hubungan di antara cara pandang dekonstruktif dan rekonstruktif terus berlangsung hingga sekarang dalam pola hubungan seperti dalam ungkapan “biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.”

Perkembangan di atas terjadi sebagai konsekuensi dari berkembangnya humanisme, cara pandang yang menempatkan manusia sebagai pusat kebenaran. Humanisme itu sendiri secara etimologis erat berkaitan dengan kata latin klasik, yaitu humus, yang berarti tanah atau bumi, dan dari istilah tersebut muncul kata homo yang berarti manusia (makhluk bumi) dan humanus yang lebih menunjukkan sifat “membumi” dan “manusiawi”, yang biasa diantonimkan dengan makhluk nonmanusia (binatang, tumbuhan, makhluk luar angkasa, dan dewa-dewa) (Samho, 2008: 2–3). Karena mampu mendorong praktik pengetahuan dalam mengeksplorasi berbagai fenomena, baik fenomena alam maupun kultural, dan menghasilkan penemuan dalam ilmu pengetahuan dan mendorong pada kemajuan kebudayaan dan peradaban manusia, humanisme berkembang dengan cepat dan menyebar ke berbagai penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia.

Humanisme masuk ke Indonesia sejalan dengan proses kolonialisasi Belanda yang berlangsung selama tiga setengah abad. Dengan waktu selama itu, bisalah dibayangkan bagaimana cara pandang tersebut kemudian mengalami proses internalisasi, enkulturasi, dan kemudian bahkan naturalisasi. Proses naturalisasi tersebut berlangsung begitu jauh dan masuk ke dalam bawah sadar bangsa Indonesia hingga selanjutnya berubah menjadi energi penggerak dan memunculkan kesadaran pada bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri hingga kemudian mendasari perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya. Puncaknya adalah dikumandangkannya Proklamasi Kemerde­kaan  Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Additional information

Judul

Sastra dalam Perspektif Poshumanisme

penulis

Dr. Pujiharto, M. Hum.

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Sastra dalam Perspektif Poshumanisme”

Your email address will not be published. Required fields are marked *