Kucing dalam “Kepala-kepala di Pekarangan”

Oleh Fasya Nur Fauzan

Di hadapan istriku. Sesosok tubuh menelungkup bersimbah darah. Hey, itu bajuku! Celanaku juga dipakai oleh tubuh itu. (“Kucing”, hlm. 23)

Kutipan di atas merupakan sebuah pernyataan pada cerita pendek (cerpen)Kucingyang terdaftar dalam kumpulan cerpen (kumcer) Kepala-kepala di Pekarangan karya Toni Lesmana yang diterbitkan oleh Penerbit Gambang pada Mei 2015 lalu.

Saat membaca daftar isi pada kumcer, saya langsung tertarik untuk membaca cerpen yang berjudul “Kucing”.Secara pribadi, saya sendiri adalah sosok penyuka kucing. Maka, saya pun penasaran kucing seperti apa yang akan muncul atau ditampilkan pada cerpen tersebut.

Pada cerpen tersebut, kucing tidak digambarkan sebagai binatang yang lucu, usil dan terkadang suka mencuri seperti yang ada pada benak kita. Kucing dalam cerpen tersebut adalah misteri dan hal yang menjadi penyebab sosok seorang istri dapat membunuh suaminya sendiri.

Cerpen berjudul “Kucing” tersebut berhasil menjadi pintu masuk saya ke cerpen-cerpen lain dalam kumcer ini. Saya selalu tertarik dengan cara Toni membawa saya seolah-olah menjadi saksi pada adegan-adegan dalam cerpennya.

Setelah mengendap-endap masuk ke sekitar tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen karya Toni, saya menemukan banyak kegelisahan juga kematian. Bahkan, saya diajak melakukan perjalanan spiritual oleh sebagian tokoh pada kumcer ini.

Rupanya, horor tak hanya nampak pada cerpen “Kucing”. Hal-hal tersebut dominan terlihat pada cerpen-cerpen lain dalam buku ini. Dan, menurut saya menjadi identitas kuat buku ini.

Tak hanya horor, cara penggambaran setiap adegan pun menjadi identitas bagi buku ini. Lewat diksi-diksi yang cukup puitis dan tidak terlalu lugas, semua cerita dibuat menjadi lebih menarik. Juga, Toni berhasil membangun ruang fantasi saya dengan ceritanya, yang menyebabkan saya menjadi trance dan hanyut dalam alir-alur cerita yang dibangunnya.

Tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen karya Toni terasa hadir di sekitar saya, dan saya turut merasakan kegelisahan mereka.  Setiap cerita terasa nyata. Meskipun saya sadar, bahwa hal-hal di sebagian cerita akan menjadi sangat absurd dan menyeramkan bila benar-benar terjadi di dunia nyata.

Akhirnya saya menyadari, bahwa saya melihat ada Edgar Allan Poe yang hidup kembali di sekitar Kepala-kepala di Pekarangan.[]

Sumber: buruan.co

Menimbang Puisi Menimbang Bahasa

Anugerah Harian Indopos 2015 beberapa minggu lalu telah disiarkan. Nama Nissa Rengganis muncul sebagai salah satu pemenang dengan bukunya Manuskrip Sepi (Gambang Buku Budaya, 2015). Di antara para pemenang, yang paling menarik ialah Nissa Rengganis, ia merupakan satu-satunya penyair perempuan. Baiklah, frasa penyair perempuan ini bagi beberapa pemikir feminis bisa saja dirasa kurang adil karena tidak ada istilah penyair laki-laki. Penggunaan ini setara dengan pandangan Raman Selden yang pada suatu saat dia menuliskannya, “Dalam lembaga-lembaga akademik “teori” sering bersifat laki-laki, bahkan bersifat gagah-gagahan, studi sastra yang sukar, bersifat intelek, dan avant-garde”.

Sikap para juri, Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, dan Maman S. Mahayana, perlu diselidiki dan diberi pertanyaan; tak adakah penyair perempuan lagi yang memiliki nilai sama dengan Manuskrip Sepi? Dengan kata lain, Manuskrip Sepi merupakan buku puisi terbaik penyair perempuan dari sejumlah peserta lomba. Tetapi, dalam pandangan lain terjadi sebuah pertimbangan, tak ada pengategorian antara penyair (laki-laki) dan penyair perempuan. Dengan asumsi Manuskrip Sepi  baik kualitas diksi, kesegaran bahasa, pilihan tema yang dibawa Nissa Rengganis mampu menjawab persoalan-persoalan perpuisian Indonesia saat ini.

Misalkan saja, perpuisian kita saat ini telah jauh melampaui batas-batas realitas para pembacanya. Puisi kita membicarakan “sesuatu yang lain” yang jauh dari persoalan manusianya. Dalam sebuah pasase penyair An. Ismanto berujar, sastra Indonesia kita tidak lagi yang kamal, sastra Indonesia kita hanya yang indah dan berfaedah. Maka, sastra Indonesia kita cenderung liberal. Pernyataan An. Ismanto adalah suatu masalah juga bagi prosa Indonesia. Dalam sejarah sastra Melayu itulah Vladimir I. berhadap karya sastra Melayu dari abad 7–19 dengan judul Yang Indah, Yang Berfaedah dan Kamal (1998).

Seorang kritikus sastra, Ignas Kleden (2004) pernah berkata, sajak sekurang-kurangnya ditulis karena dua alasan. Pertama karena dorongan hati penyair untuk merealisasikan bakatnya—semacam capaian kepuasan sebab memberikan isi dan makna kepada suatu tindakan; dan kedua, sajak dimanfaatkan sebab kemungkinan puitis yang ada padanya—sebagai medium untuk menyampaikan sesuatu yang lain.

Kita masuk pada suatu kemungkinan-kemungkinan tersebut; apakah dua tawaran Ignas Kleden ada pada Manuskrip Sepi? Lalu bisakah Manuskrip Sepi menjadi sebuah kemungkinan untuk menjawab persoalan perpuisian kita?

I/
Pertama, kita harus memahami konteks, di mana puisi-puisi Nissa Rengganis dilahirkan? Sebagai seorang sarjana Ilmu Politik, kemudian melanjutkan pascasarjana Hubungan Internasional, adalah fakta untuk mengantarkan kita pada sikapnya yang unik. Terhadap subyek pengkajiannya, sikap Nissa Rengganis menunjukkan dirinya sebagai seorang feminis.

Perempuan menangis
Di malam pengantinnya tak ada bercak darah
Ia mematung. Mengingat malam sebelumnya
Pernah basah di ranjang

(Ketakutan Suatu Malam)

Sebuah penggambaran yang gamblang—tanpa tutup para metafor. Sebagai sebuah pengakuan si penyair, bait sajak ini mengingatkan kita pada politik rumah tangga, sebuah upaya menghendaki kebenaran sepihak pada sebuah tubuh, sebuah kepentingan yang mengonstruksi paham-paham idealistis. Terhadap bait sajak ini, bisa dianggap sebagai sebuah impresi, kehendak untuk menekankan efek kesan, suatu pengaruh yang dalam terhadap pikiran dan perasaan (Indriyana, 2015: 93).

Pulanglah, pulanglah, anak-anakku
Air mata sudah tak mempan memadamkan segala cemas
Dan keputusasaan
Apakah penantian yang panjang
Tak juga membuatmu kembali hidup
Pada esok hari?

(Perempuan-perempuan Plaza De Mayo)

Sajak di atas berjudul “Perempuan-perempuan Plaza De Mayo”, ini di luar konteks peristiwa merupakan suara lantang seorang penyair untuk menjadi kuat, gagah, dan logis berhadapan dengan hidup. Bait sajak ini terdapat sebuah analogi filosofis: air mata sudah tak mempan memadamkan segala cemas dan keputusasaan. Lalu: apakah penantian yang panjang tak juga membuatmu kembali hidup pada esok hari?

Sajak lainnya berjudul “Hikayat Dewi Rengganis” dengan daya pikat model-model puisi alusi.

Itukah kau Repatmaja?
Lelaki yang dikutuk setia menjaga taman istirah
Atas penebusan dosa memetik kemolekanku
Matamu yang membangkitkan gairah perempuanku
Mata yang lebih risau dari nyala api pembakaran Shinta
….

Bait sajak ini cukup “nakal” dan “mengecam”. Khas subjektivitas penyair dengan alasan-alasan subtil. Ia adalah bait yang mendekonstruksi wacana tentang perempuan modern. Tetapi, betapa pun besar pembelaan tersebut disuarakan, ia hanya majas yang merujuk sebuah peristiwa, ketimbang eskpresi seorang Nissa Rengganis sendiri. Alangkah lebih baik, kita pindah pada bagian kemungkinan-kemungkinan selanjutnya.

II/
Alasan kedua, kita taruh di bagian akhir tinjauan. Dalam diskursus antropologis, tiba pada wilayah tafsir pada sajak “Nelayan Pantai Utara”. Penyair yang dilahirbesarkan di Cirebon, memotret sosio-historis masyarakat nelayan pantai Utara. Hal tersebut dapat juga, lebih-lebih, mengantarkan pada sebuah riwayat masa lampau tentang masa kolonial.

Wajah tirus para nelayan lebih muram dari bangkai kapal
Matanya risau merenungi langit. Dadanya bergemuruh
Membawa kecemasan pada langit dan bumi
Di masa silam kapal-kapal berlayar
Berkibarlah ulam jilu bergambar tiga ekor ikan satu kepala
Pertanda kapal saudagar kaya

Laut dalam perspektif kebudayaan adalah bagian dari kerja luhur masyarakat maritim. Telah dijanjikan di dalam dalil-dalil Tuhan, laut dan segala isinya telah diberkahi bagi orang-orang yang tidak melakukan pencemaran. Melalui puisi Nissa Rengganis di atas, terdapat ketimpangan wacana di wilayah kebudayaan tersebut. Kata kunci tirus, muram, bangkai, risau, bergemuruh, kecemasan, mencitrakan alienasi kaum nelayan di pantai Utara.

Begitu besarkah pengaruh sejarah manusia Cirebon? Pada frasa “ulam jilu bergambar tiga ekor ikan satu kepala” itu adalah lambang bendera pelabuhan Cirebon. Simbol yang berangkat dari akulturasi tiga budaya tersebut datang dari persebaran wilayah antara lain Mesir dengan membawa Islamnya, China mengusung Budhanya, dan Campa dengan Hindunya. Perpaduan budaya ini mengalami divergensi bahasa, dan barangkali secara kultur, baik penduduk yang bekerja di daratan maupun di lautan mengalami divergensi yang sama.

Dalam perspektif yang lain, “ulam jilu bergambar tiga ekor ikan satu kepala” memiliki makna filosofis. Ikan-ikan di dalam tasawuf Cirebon merupakan gambaran manusia yang di dalam dirinya terdapat nurullah, nur Muhammad, dan nurul ’alam. Ikan dalam tasawuf Cirebon membuat sebuah analogi bahwa, sejatinya, di kedalaman laut yang asin, ikan tidak pernah terkontaminasi oleh keadaannya.

Kincir angin letih memutar musim
Menyimpan perjalanan para nelayan
Menimbun rindu dan kenangan
Dalam ingatannya, aroma anyir sepanjang pantai tinggal sisa
Air garam merobek tubuhnya
Air mata dan luka menyatu di udara

Persoalan sosial ini sadar atau tidak, merupakan wacana yang urgen dibincangkan sejauh menyangkut sejarah dan ekonomi. Puisi yang satu ini selain membaca dampak, juga menafsirkan fenomena sosial masyarakat pantai utara. Terdapat gagasan intelektual berpadu dengan gagasan kontemplasi. Penafsiran Nissa Rengganis sangat implisit terhadap totalitas budaya Cirebon dengan segala transformasi sosialnya. Namun, kesegaran itu terlihat dalam satu judul puisinya tersebut.

III/
Dalam Manuskrip Sepi, kesegaran bahasa bisa diandalkan, tema boleh saja padu antardisiplin ilmu pengetahuan. Setiap puisinya, ini terjadi pada sajak-sajak yang dikutip di atas, tetapi tidak pada “Nelayan Pantai Utara”, tidak didapatkannya kefokusan dalam satu tubuh sajak. Dalam pembacaan ini, kalau demikian, puisikah yang gagal atau pembacanya yang gagal. Dan hal itu bisa dua-duanya terjadi dalam waktu yang bersamaan pula.[]

Mawaidi D. Mas, mahasiswa Sastra Indonesia FBS UNY.

Sumber: lppmkreativa.com

“Galodo: Antara Dua Sungai” Syarifuddin Arifin

RUPA-rupa yang mengemuka usai saya membaca antologi puisi “GALODO: Antara Dua Sungai” Syarifuddin Arifin. Pertama, saya bak mendapat bisikan: “Lama berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak termaknai.” Saya tahu SyarifuddinArifin memang tak remaja lagi, sudah lama hidup –ia 3 tahun lebih kemudian dari saya hadir di dunia fana ciptaan Tuhan ini. Saya juga tahu sudah berpuluh tahun ia menulis puisi –tersebar di berbagai media cetak dalam dan luar negeri, di berbagai antologi bersama serta kumpulan puisi dia sendiri.

Nah. “Lama berjalan banyak dilihat lama hidup banyak termaknai” itu mewujud di dalam puisi-puisinya di kumpulan ini. Terlihat misalnya di puisi “Gelisah Ombak”, “Gerimis Mengajakku Pulang”, “Setangkai Bunga di Musim Kemarau”, “Padamu; Aku”, “Mengikuti Arus”, “Jika Jadi, Janganlah Jadi”, “Air Menggerus”, “Membuka Jendela” serta sejumlah puisi lain. Dan karena wujudnya puisi, isi yang dipetik dari pemaknaan hidup atau “lama berjalan banyak dilihat lama hidup banyak termaknai” itu tentu ia selaraskan dengan gaya/bentuk ucap atau penyampaian –di sini pulalah “sudah berpuluh tahun menulis puisi” yang ia jalani memainkan perannya.

Alhasil, berikut contoh puisi terkait pemaknaan hidup itu:

TENTANG CINTA

cinta itu adalah nafas kita
yang menyengak bila lupa menghirupnya

cinta itu adalah makan dan minum
yang kita keluh-rindukan kala lapar dan haus

cinta itu adalah istri atau ibu
yang ingat bila sengsara dan bermasalah
dan melupakannya ketika senang
atau berbahagia di luar rumah

cinta itu adalah siang yang menyengat
yang kita tunggu bila usai subuh dan siap merenanginya

cinta itu adalah intan berduri dalam genggaman
tak akan dilepas meski darah berceceran

(Padang, 2013)

Lainnya yang mengemuka ke saya, atau agaknya tetap terkait dengan yang pertama itu yaitu: lebih banyak/intensnya puisi bernuansa religius di antologi ini –dibanding kumpulan puisi dia terdahulu, yakni “Ngarai” (KolaseKliq, 1980) dan “Maling Kondang” (TerasBudaya, 2012). Puisi-puisi yang demikian itu misalnya kelihatan di “Menanti Janji”, “Selamat UlangTahun”, “Magrib Bersitegang”, “Kembali dari Sekejap Pergi”, “Merayap Dalam”, “Menjelang Kurban”, “Malam Kelam”, “Memburu Babi”, “Kembali pada Fitrah”, “ Antara Dua Sungai”, “Mencurah Darah” dan sejumlah puisi lainnya pula.

Berikutnya lagi yang mengemuka ke saya, idiom-idiomnya –terkesan pula berakar jauh ke belakang, ke hal-hal yang akrab dengan nenek-moyang kita, masyarakat agraris itu. Contoh: “punggung belut”, “dasar lunau”, “menguak lukah”, “pematang sawah” (puisi “Di Lincinnya Punggung Belut”); “tanah gembur”, “tanah berbatu”, “dengung kumbang” (puisi “Tentang Bunga”); “gunung menjulang”, “limbubu”, “putingbeliung” (puisi “Langit yang Hilang”); “selajang kuda berlari”, “meradang petang”, “putri malu” (puisi “Selajang Kuda Berlari”) dan di sejumlah puisi lainnya lagi.

Nenek-moyang kita yang masyarakat agraris itu, kita tahu, adalah pencipta pantun–yang idiomnya mereka angkat dari segala sesuatu yang dilihat serta pelajari dari alam. Misalnya ini: Berakit-rakit ke hulu/ Berenang-renang ke tepian/ Bersakit-sakit dahulu/ Bersenang-senang kemudian//. Satu lagi: Anak nyamuk dalam padi/ Cupak dalam perberasan/ Walau remuk dalam hati/ Di muka tiada kelihatan//.

Pada etnik Minangkabau, asal-muasal Syarifuddin Arifin, nenek-moyang yang agraris itu pulalah yang menciptakan sastra lisan/tutur yang disebut “kaba”. Nah, dua warisan nenek-moyang itu saya cium aromanya di puisi-puisi Syarifuddin Arifin –paling tidak ritmenya, di samping idiom-idiomnya tadi. Berikut contohnya:

BAGAIKAN EMBUN

Di ujung daun kau teteskan dendam
racun pun menari mengatur langkah
menyelimuti embun diam-diam
meninggalkan dingin terkapar pasrah

lalu mengering
sebelum fajar menyingsing

kau menjelma bagaikan embun
ulat meninggalkan bisa pada jejaknya
dendam itu berapi-api
menguapkan embun

(Padang, 240115)

Atau, tambahlah satu puisi lagi. Begini:

AIR MENGGERUS

menahan air pematang runtuh
arus menderas mengubah seluruh

airmata tak mampu menghanyutkan resahku
tepian menangis membujuk rindu ibu

tak ada yang mampu menahan arus
yang menggerus jejak terus menerus

angin barat bertiup di kala malam
memupuk gabak yang kian melebam

bulan mengalahkan mentari
seterik siang melingkari pelangi

(Depok, 2015)

Ada beberapa hal lagi yang mengemuka ke saya, tetapi catatan ini saya cukupkan hingga di sini. Sebab dengan semua yang telah disampaikan di atas, beberapa perkara telah dapat pula saya catat. Satu, karena kumpulan puisi ini tak tematis dalam arti tidak satu tema saja, sehingga ada pula beberapa puisi bernada kritik sosial, namun tampilan puisi bernada kritik sosial itu tak menjadi luapan emosi semata. Kehadiran puisi-puisi itu di tangan Syarifuddin Arifin tetap lewat seleksi pemaknaan hidup jua, atau “lama berjalan banyak dilihat lama hidup banyak dimaknai” –hasilnya tampil lebih arif, serta menyentuh, sehingga pesannya sampai/menggugah.

Dua, kiranya tak keliru menulis puisi jadi pilihan Syarifuddin Arifin, menjalaninya dengan intens berpuluh-puluh tahun, sebab dengan puisi ia mengenali diri, mengenali/memaknai hidup ini.

Tiga, hidup yang berpuluh tahun itu tentu telah membawanya pula ke mana-mana, baik fisik mau pun lewat bacaan, namun menakjubkan akar tradisi dalam berpuisi tetap membayang di puisi-puisinya.

Empat, selaku orang yang mengenal dia, mengikuti perjalanan kepenyairannya sejak lama, sudah barang tentu saya ikut diciprati rasa gembira menyaksikan semua itu.

Akhirnya ingin pula saya katakan bahwa karya sastra termasuk puisi tentulah bersifat terbuka, dalam arti lumrah saja jika ada pemaknaan atas puisi-puisi dalam antologi ini berbeda dengan yang saya maknai.

LA, 21 Maret 2015

*) Adek Alwi, sastrawan dan wartawan, pengamat sastra, staf pengajar pada IISIP

Narasi Melayu dalam Puisi Syarifuddin Arifin

Oleh Tengsoe Tjahjono* 

Melayu mengingatkan saya akan dendang dan pantun, mengingatkan saya pada irama dan kata-kata bijak. Sebuah pesan selalu didendangkan serta disampaikan secara lisan pada pelbagai kesempatan dan kepada pelbagai kalangan. Nah, ketika saya membaca puisi-puisi Syarifuddin Arifin, seorang penyair Padang, saya seakan dibawa dalam suasana Melayu tersebut.

Suasana Melayu, baik dalam puisi dan lagu, dibangun oleh dua hal penting, yaitu isi dan ekspresi. Isi teks Melayu itu selalu berupa pengejewantahan hidup sehari-hari dan mengandung pesan moral yang berupa tunjuk ajar. Kita tentu ingat Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji dan puisi-puisi Amir Hamzah. Sedangkan dari segi ekspresi teks Melayu kuat pada irama, repetisi, diksi yang mengangkat fenomena alam dan budaya Melayu. Akibatnya, teks Melayu terkesan rancak dan penuh gerak.

Mari kita perhatikan Gurindam Pasal Kelima karya Raja Ali Haji berikut ini.

Jika hendak mengenal orang berbangsa,
lihat kepada budi dan bahasa,
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia,
sangat memeliharakan yang sia-sia./
Jika hendak mengenal orang mulia,
lihatlah kepada kelakuan dia.
Jika hendak mengenal orang yang berilmu,
bertanya dan belajar tiadalah jemu.
Jika hendak mengenal orang yang berakal,
di dalam dunia mengambil bekal.
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai,
lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.

Gurindam selalu berisi petuah atau nasihat kepada setiap orang agar menjalani hidup sesuai dengan yang diridhoi oleh Allah. Sangat bersifat didaktis. Sedangkan dari segi ekspresi gurindam selalu mengedepankan irama. Perhatikan bentuk rima yang terdapat dalam gurindam. Selalu berpola a-a-a-a. Repetisi kata dan frase sering dilakukan. Akibatnya, membaca gurindam seperti mendendangkan syair yang penuh irama. Bagaikan menyanyi, atau memang sungguh-sungguh bernyanyi. Itulah karakter Melayu dalam gurindam.

Karakter Melayu juga terdapat dalam puisi Amir Hamzah. Perhatikan puisi Amir Hamzah berikut ini.

TURUN KEMBALI 

 Kalau aku dalam engkau
 dan kau dalam aku
adakah begini jadinya
daku hamba engkau penghulu ?

Aku dan engkau berlainan
engkau raja, maha raya
cahaya halus tinggi mengawang
pohon rindang menaung dunia. 

 Di bawah teduh engkau kembangkan
 taku berdiri memati hari
 pada bayang engkau mainkan
 aku melipur meriang hati 

Diterangi cahaya engkau sinarkan
aku menaiki tangga, mengawan
 kecapi firdausi melena telinga
menyentuh gambuh dalam hatiku

Terlihat ke bawah
kandil kemerlap
melambai cempaka ramai tertawa
hati duniawi melambung tinggi
berpaling aku turun kembali.

Jika Raja Ali Haji tadi sangat kuat pada pesan, Amir Hamzah berusaha mewadahi pesan itu dalam bingkai teks yang indah. Lagi-lagi repetisi dan rima masih menjadi pilihan untuk membuat puisi ini menjadi sebuah dendang riang yang rancak. Perbedaannya dengan gurindam Raja Ali Haji adalah upaya Amir Hamzah untuk memilih diksi yang tidak lazim, misalnya mengawang, menaung, memati, meriang, melipur, kecapi, melena, gambuh, kandil, kemerlap, cempaka, dan lain-lain. Kata secara morfologis dibangun oleh Amir Hamzah demi kepentingan irama. Kata menaung, memati, melena  dan sebagainya sebenarnya kurang gramatikal, namun sengaja dikonstruksi demi kepentingan irama. Dan, hal itu menjadi warna pribadi Amir Hamzah. Kemelayuan Amir Hamzah diperbaharui dengan menghadirkan diksi yang demikian.

Sebagai penyair Padang, walaupun Syarifuddin Arifin dilahirkan di Jakarta, warna Melayu terasa sangat kuat. Tentu, saya tidak dalam pretensi untuk mengait-ngaitkan antara Raja Ali Haji, Amir Hamzah, dan Syarifuddin Arifin. Mereka berada pada ruang dan saat yang jauh berbeda. Hanya, sebagai pribadi yang tak bisa dilepaskan dari Andalas, kemelayuan penyair ini tak bisa ditolak begitu saja.

Coba perhatikan puisi Syarifuddin Arifin berikut ini.

MENANTI  JANJI 

rindu ini,  menikam jantungku
lalu bagai agar-agar, hatiku diremas
rintihan yang tak tuntas membuku
lailatulqadar semakin di batas 

terbanglah ruh menuju langit
zarah aku bagai debu mengubur sajadah ini
mengiang di telinga, mendayu dan mendayu
lalu angin pun bertiup, mengurai pelangi 

suara itu makin merdu, berdentang-dentang
memalu gendrang telinga ini
kusantap juga semuanya, tanpa baris penanda
mengalirkan bah dari hulu
menyesak buku-buku persendian ini 

aku kan tetap menanam rindu
menggunggung seluruh
membenamkan semua 

di sini aku menanti
kunanti dan selalu kunanti
pada menit dan detik lailatulqadar
yang Kau janjikan
sejak meringkuk dalam rahim
sampai mati! 

(Padang, 13 Ramadan 1433/ 3Agustus 2012)

Dalam bait pertama puisi Menanti Janji tersebut gaya pantun jelas terpancar. Puisi ini sudah dibuka dengan idiom teks Melayu. Perhatikan pula bentuk morfologi membuku, mendayu, menyesak, menggunggung, dan sebagainya mengingatkan saya akan puisi Amir Hamzah. Perbedaannya terletak pada diksi. Syarifuddin Arifin justru memilih kata-kata sehari-hari. Nah, ini merupakan kekuatan yang membedakannya dengan karakter teks Melayu sebelumnya.

Membaca puisi Menanti Janji tersebut saya diajak mengikuti tapak alur peziarahan rohani si aku lirik. Aku lirik sedang menanti janji. Janji itu melahirkan rindu. Rindu apa? Rindu pada Lailatul Qadar. Mengapa Lailatul Qadar dirindukan? Karena Lailatul Qadar merupakan malam pelimpahan keutamaan yang dijanjikan oleh Allah kepada umat Islam untuk ikut mendapatkan bagian dari pelimpahan keutamaan itu. Keutamaan tersebut didasarkan pada nilai Lailatul Qadar sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Janji itulah yang akhirnya menggerakkan alur perjalanan rohani si aku lirik. Rentetan peristiwa itu adalah rindu menikam jantung — ruh yang rindu terbang menuju langit — semakin dekat semakin terasa kemerduan suara yang dirindukan — kerinduan semakin memuncak — dan ternyata masih harus lebih lama menanti. Rentetan peristiwa itu merupakan bagian dari sebuah narasi.

Kesukaan terhadap kisah atau narasi sebenarnya tak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Mengapa demikian? Sebab manusia itu sendiri bergerak dalam sebuah ruang narasi. Setiap manusia memiliki narasinya yang tak akan berkesudahan. Narasi menurut Marcel Danesi (2011) merupakan teks yang telah dikonstruksikan dengan cara tertentu sehingga merepresentasikan rangkaian peristiwa atau tindakan yang dirasa saling berhubungan satu sama lain secara logis. Esensi narasi adalah alur, karakter, dan latar. Ketiga hal itu merupakan unsur-unsur pembangun narasi. Puisi-puisi Syarifuddin Arifin sangat terlihat format narasinya. Dalam puisi Menanti Janji penampakan alur sudah sangat jelas seperti yang saya gambarkan di atas. Lalu siapa karakter dalam puisi tersebut. Karakternya adalah si aku lirik, pribadi yang sangat merindukan pemenuhan janji Lailatul Qadar. Latar apa yang tergambar dalam puisi itu? Tampaknya aku lirik berada dalam sebuah ruang doa: zarah aku bagai debu mengubur sajadah ini. Kata sajadah membawa kita terhadap pemahaman mengenai ruang tertentu, yaitu ruang tempat manusia bertemu dengan Allah. Dengan mengikuti seluruh unsur yang membangun narasi tersebut, kita bisa sampai kepada makna yang hendak diusung oleh sang penyair bahwa kerinduan akan Lailatul  Qadar akan terpuasi jika seseorang sungguh-sungguh berjalan dalam garis yang telah diamanahkan oleh Allah. Jika tidak, manusia memerlukan waktu lebih lama lagi untuk menanti saat yang indah itu. Jelas sudah bagaimana bingkai puisi Syariffudin Arifin, yaitu: narasi Melayu. Dan, inilah yang membedakannya dengan para penyair pendahulu, seperti Raja Ali Haji dan Amir Hamzah. Kemelayuan Syarifuddin Arifin dikuatkan dengan konsep narasi yang tergambar jelas dalam puisi-puisinya.

Yang menarik lagi ialah betapa tajam Syarifuddin Arifin mengais peristiwa atau fenomena sederhana yang terjadi di sekitarnya. Kemudian peristiwa tersebut diberi makna baru sesuai dengan persoalan yang sedang marak dewasa ini. Apa yang terjadi di kesadaran penyair saat melihat semut berbaris di dinding? Tentu jangan dibayangkan menjadi semut merah dalam lagu Obbie Mesakh. Perhatikan puisi berikut ini.

TAK SEMUT BERMANIS-MANIS

ia berbaris, melengkung di dinding
menggaris mendengung melengking
bersalaman cipika-cipiki jua
ludahnya menyatukan gula
bertelur di reranting kayu
liurnya manis membeking madu

menari bulan di kedipan bintang
semut api memerah meradang

semut berbaris berderap maju
mendaki puncak demi sang ratu

tak semut bermanis-manis
menghisap madu menahan tangis
gula menumpuk mendekam empedu

(Padang, 2015)

Judul Tak Semut Bermanis-manis merupakan judul yang medorong orang bertanya-tanya, baik dari segi sintaksis maupun secara semantis. Ada yang ganjil dalam judul itu. Biasanya kata “tak” dirangkai dengan verba, bukan nomina, misalnya tak tidur, tak berjalan, tak bertempur, dan lain-lain. Sedangkan pernyataan ingkar untuk nomina biasanya memakai kata “bukan”, misalnya bukan semut, bukan saya, bukan batu, dan lain-lain. Nah, oleh karena itu menurut pemikiran saya yang dimaksud oleh penyair memang bukan “tak semut”nya, tetapi “tak ada semut” bermanis-manis. Artinya, apa yang dikerjakan semut dengan berbondong-bondong menggotong makanan sebenarnya bukan karya yang menggembirakan hati mereka. Mereka bekerja dengan amat terpaksa demi sang ratu mereka, demi pemimpin mereka. Kejutan terjadi pada akhir baris ” gula menumpuk mendekam empedu”. Tumpukan gula yang semestinya menggembirakan mereka, justru membuat nasib buruk pada empedunya. Sekali lagi hanya karena demi sang ratu.

Puisi tersebut sebenarnya hanya merupakan deskripsi atas perilaku para semut. Jamak diketahui oleh kita. Namun, dengan gaya rancak narasi Melayunya, Syarifuddin Arifin justru mengangkat fenomena semut sebagai metafora atas segala hal yang terjadi saat ini, terutama masalah yang berkaitan dengan relasi pemimpin dan rakyatnya. Bukan relasi personal dan sosial yang indah yang mengemuka, tetapi justru relasi hierarki kekuasaan antara penguasa dan yang dikuasai, antara pemerintah dan yang diperintah, antara yang berdaya dan yang diperdayai.

Syarifuddin Arifin yang wartawan itu kepekaan jurnalisme patut diapresiasi. Mungkin dia tak hendak berpolitik, tetapi karya-karyanya justru banyak bersinggungan dengan politik, dengan penyelenggaraan negara dan keadilan sosial. Perhatikan puisinya berikut ini.

TENTANG BUNGA

sebaris bunga berharap, bakal ada angin
dan angin akan memilih tanah gembur
bagi persemaiannya

bunga-bunga itu menunduk
melirik ke tanah berbatu
ada kumbang menggamit
mentari jadi pucat tiba-tiba
lalu mengintip di selembar daun

‘bagaimana mungkin bisa hidup di batu
sedang sari anjlok harganya?’

terdengar dengung kumbang
mematahkan ranting tak berdaun
sebaris bunga masih berharap bersama aroma
yang tersemai dari airmata

(Padang, 2013 )

Puisi Tentang Bunga di atas juga sebuah narasi. Siapa karakternya? Tentu sekuntum bunga. Di mana latarnya? Bisa jadi di taman, di halaman, atau di pot bunga. Di tempat yang ranting-ranting pohonnya tak berdaun.  Bagaimana pula alurnya? Bunga berharap angin datang menggemburkan tanah, namun angin justru membawanya ke tanah berbatu. Jadilah semua ragu, mungkinkah bisa hidup? Akhir alur si bunga berharap aroma yang tersemai bersama air mata. Sebuah kisah yang lagi-lagi amat sederhana. Mungkin prinsip Syarifuddin Arifin jika dengan sederhana saja sudah sampai kepada makna, mengapa harus memilih jalan yang rumit.

Pernyataan kunci yang terdapat dalam puisi ini adalah: ‘bagaimana mungkin bisa hidup di batu/ sedang sari anjlok harganya?’. Kejutan puisi ini tidak terletak pada akhir puisi, namun justru pada bait ke-3 dari 4 bait yang ada. Ketika penyair menyebut “anjlok harganya” kita diajak untuk berkelana ke ranah sosio-ekonomi. Dan, memang itulah yang sedang dihadapi bangsa ini. Bunga, entah saya atau Anda, berada dalam situasi ekonomi yang serba sulit dan berdampak pada lahirnya berbagai macam persoalan sosial.

Ada dua kesulitan yang dihadapi bunga yaitu hidup di batu dan sari anjlok harganya. Batu sebagai tempat, lingkung sosial tempat bunga hidup, tentu bukanlah tempat yang ideal. Tempat seperti itu tidak akan pernah membawa kesuburan, kecuali kita dengan sabar melakukan rekayasa terhadapnya. Batu juga melukiskan “kekerasan”, “kecongkakan”, “ketulian”, dan sebagainya dari para pemangku pemerintahan terhadap kebijakan yang dilahirkannya. Lebih-lebih kebijakan di sektor ekonomi. Sifat “batu yang keras kepala itu” berdampak pada lahirnya kebijakan harga yang tak bertoleransi terhadap kondisi masyarakat. Itulah yang menyebabkan bunga hanya menunduk dan berharap belas kasih dari mereka yang terpanggil untuk peduli. Tapi, mungkinkah?

Dengan narasi Melayunya Syarifuddin Arifin tampaknya memang tak mengajak orang bernyanyi atau menari begitu saja. Sebab sebenarnya puisi-puisinya merupakan puisi geram dan marah. Tentu, marah dan geram model penyair. Bukan kejumawaan yang dihadirkan, namun kesederhanaan dan kerendahhatian, bahkan mungkin melalui pendekatan komedi yang mengundang gelak tawa. Perhatikan puisi satire yang sangat halus berikut ini.

MENYAKSIKAN IJAB KABUL

dia mengucapkan ijab yang dikabulkan calon menantu
para saksi berucap, mengesahkan pernikahan itu
hati siapa yang berbunga?

dia menebarkan senyum pada setiap konstituen
orang-orang berucap, perampok tujuh turunan
rahim siapa yang tersiksa?

Kisah ijab kabul merupakan kisah para calon wakil rakyat atau para pemimpin bangsa yang dilantik secara resmi menduduki jabatannya. Kisah yang sering kita tonton di televisi. Namun, di tangan seorang Syarifuddin Arifin lahirlah sebuah puisi yang satire yang sangat paradoksal. Ijab kabul yang sakral ditutup dengan baris: rahim siapa yang tersiksa? Karena baris terakhir itu sebuah pertanyaan, silakan Anda mencoba menjawabnya sendiri.

Kiranya saya tak harus tuntas membicarakan puisi-puisi Syarifuddin Arifin dalam tulisan singkat ini. Sebab, semakin panjang saya menulis, Anda semakin terganggu untuk secara dekat-akrab berbincang dengan puisi-puisi ini. Puisi-puisi ini mempunyai ketahanan terus-menerus andaikan diajak berbincang empat-mata. Lebih-lebih jika ditemani segelas kopi. Sebab puisi-puisi Syarifuddin Arifin ini daya pesonanya luar biasa. Saya menamai puisi Syarifuddin Arifin sebagai sebuah narasi Melayu. Silahkan Anda memberi nama lain. Sebab itu akan semakin memperkaya dan memperluas cakrawala makna yang ditebarkan oleh sang penyair. Siapkan kopi Anda.

Seoul, 19 Maret 2015

*)Tengsoe Tjahjono, sastrawan, staf pengajar Unesa Surabaya dan dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies Seoul,  Korea Selatan.

 

Sebelum Telepon Berdering: Cerpen Kita dan Ihwal Korupsi Itu

“Tidak ada buku yang sempurna, bahkan sejak dalam rancangan, namun ada banyak karya yang menggembirakan pembaca, meningkatkan pengetahuan dan membesarkan hatinya.’’ (Robert Luis Stevenson, esais Skotlandia)

DI tengah kecamuk dunia politik masyarakat Indonesia, kita perlu membicarakan hal-hal yang dapat menghibur diri. Kejenuhan kehidupan, serta jejalan bualan-bualan calon pemimpin di sepanjang jalan, membuat pekak rasa telinga kita. Atau, boleh saja orang-orang bergembira dengan sepak bola idamannya di Piala Dunia kali ini.

Tetapi, hidup tanpa fiksi akan menderita pada suatu hari nanti.

Kenapa harus fiksi? Fiksi adalah karya kreatif seorang pengarang. Sebagai karya kreatif, fiksi juga didasari oleh kehidupan nyata. Terkadang kita tidak bisa membedakan mana karya fiksi dan nyata. Tidak bisa dihindari, tulisan

sejarah pun kelak pada waktunya akan diketahui sebagai karya yang fiktif, atau dengan ungkapan lainnya, ada banyak tulisan sejarah mengalami penyensoran. Bergantung atas siapa yang menulisnya, maka dialah penunjuk sejarah saat itu.

Terutama dalam karya fiksi, banyak kontroversi terkait dengan penulisan novel sejarah atau biografi. Mau tidak mau, selain harus melakukan eufemisme-eufemisme, seorang pengarang novel sejarah atau biografi juga membuat kisah tambahan. Selain itu akan ada juga kisah nyata yang dilompati. Upaya ini tidak bisa diampuni sebagai bagian dari kekhilafan seorang pengarang. Sebab, pengarang saat ini telah berdiri di bawah bayang-bayang kaum kapitalis. Tentu tidak semuanya.

Dengan begitu, baiknya kita bicara fiksi saja. Sebelum Telepon Berdering (2014) terbitan Gambangbook tiba di tangan saya. Buku kumpulan cerpen ini ditulis oleh Kun Andyan Anindito, seorang sarjana sastra lulusan Universitas Negeri Yogyakarta. Nama cerpenis asal Klaten, Jateng ini tidak terlalu banyak menghiasi media massa. Tetapi, sekali karyanya nyantol di sebuah media massa, daya tawarnya tinggi. Saya membayangkan, sirkulasi koran yang memuat karya Dito, sapaan akrabnya, saat itu sedang sibuksibuknya melayani para loper. Saya juga  membayangkan, bagaimana kalau semua pengarang ide ceritanya seperti cerpen-cerpen yang ditulis oleh Dito?

Saya menaruh optimisme kepada cerpen berjudul ‘’Kamera Poladodo’’. Cerpen ini idenya unik, melampaui batas-batas kehidupan sehari-hari. Seorang profesor bernama Dodo Karedo memiliki karya berupa kamera yang mampu mendeteksi para pelaku korupsi setelah dilakukan pemotretan. Ide cerpen ini pun tidak serta merta menjadi absurd ketika didasari oleh logika bahwa pembuatan kamera poladodo merupakan pengembangan dari polaroidnya Edwin Land.

Disadari atau tidak, usaha Dito dalam cerpen ‘’Kamera Poladodo’’ merupakan sebentuk katarsis, sebuah upaya penyadaran yang harus ditanam di kepala para koruptor dan siapa saja. Bahwa benar suatu saat nanti peristiwa ini akan terjadi. Lewat tokoh Prof Dodo Karedo gagasan sosial berupa kritik muncul. Dalam cerpen jenis ini gagasan tidak terlalu tampak kelihatan karena sudah menyatu dengan tokoh-tokohnya.

Gagasan sebagai Tokoh
Selanjutnya, lewat cerpen dengan judul ‘’Kata Busuk’’ yang memunculkan gagasan sebagai tokoh. Pak Kades, tokoh utama cerpen ini, adalah tokoh yang sebenarnya bertindak sebagai gagasan pengarang tentang profil seorang koruptor dalam masyarakat. Tokoh Pak Kades mencerminkan sosok pemimpin tidak wajar di kalangan rekan kerjanya, keluarga dan tetangga. Disebabkan oleh bau busuk itulah kemudian membuat posisi Pak Kades semakin nyata bahwa pengarang cerpen ini, Dito, tengah membuat analogi kreatif penciptaan karya.

Perincian tentang cara-cara gagasan ini dilakukan oleh Raymond Williams dalam tulisannya mengenai novel-novel Charles Dickens. Diungkapkan terdapat tujuh cara memasukkan gagasan sosial ke dalam novel itu didasarkan pada pembacaan Williams atas karya sastra Barat. Sementara itu, Sapardi Djoko Damono juga mengakui bahwa contoh- contoh yang disebutkannya itu (baca di bab Sastra, Politik dan Ideologi, 2013: 51-61) mungkin saja tidak sejajar. Di sini saya harus mengatakan pula, upaya penyejajaran dari cara gagasan sosial yang disampaikan Williams lebih tepatnya sebagai sebuah dugaan ‘’sementara’’ atas karya-karya Dito dalam Sebelum Telepon Berdering. Syukur-syukur, apa yang ditulis oleh Dito dalam kumpulan cerpen ini senada dengan ungkapan Edgar Allan Poe bahwa, ‘’Sastra itu menghibur, sekaligus mengajarkan sesuatu.’’

Pernyataan Poe ini perlu kita ambil. Bahkan, signifikan untuk dibicarakan lebih jauh. Apalagi jika ada hubungannya dengan krisis moral yang melanda bangsa kita. Sesungguhnya benar, sastra besar adalah yang mengangkat fenomena besar di negara yang memilikinya. Pembelaan atas orang-orang yang telah menjadi korban orang-orang korup dan mau ambil menang sendiri.

Saya harus menyebut sebuah buku kumpulan cerpen Kakek dan Cerita-cerita Lainnya (2013) karya Eko Triono yang lebih dulu terbit. Saya curiga, dalam Sebelum Telepon Berdering terdapat keterpengaruhan Dito dari cerpen-cerpen Eko Triono, terutama dalam buku itu. Ini tidak banyak terjadi dalam cerpen-cerpennya yang individualitas-romantis. Tetapi pada ide cerita soal korupsi, Dito belum bisa sepenuhnya melepaskan itu. Juga, gaya yang dimiliki Dito dalam cerpennya berjudul ‘’Mestinya Dia Tak Mengidam Tikus”, “Narator, Perempuan, dan Lelaki di Sampingnya’’ masih berasa bukan miliknya. Tetapi, ini tidak jadi persoalan bagi seorang pengarang genre apapun. Sebab, keterpengaruhan pasti terjadi. Apalagi dalam sastra. Bagi saya, itu tak mengganggu gagasan-gagasan cerita Dito dalam bukunya yang pas dibaca dalam situasi kondisi politik masa kini.

Irving Howe berpendapat (lihat Damono, 2013: 53) bahwa, ‘’Novelis politik harus melibatkan diri sebaik-baiknya dalam pergolakan politik; tanpa hal itu, karyanya akan mentah.’’ Pernyataan Howe ini mengandung keberatan sekaligus tantangan. Baik pengarang novel ataupun cerpen, yang keduanya merupakan karya prosa, sama-sama punya tuntutan lebih ketika sedang melaksanakan tugasnya menuliskan kondisi sosial politik di suatu masa tertentu. Bagaimanapun pengarang semacam Dito perlu diapresiasi yang menaruh perhatian kepada budaya korupsi negeri ini. Dito telah menjadikan karyanya sebagai pamflet perdamaian.

Perilaku korupsi merupakan masalah moral yang harus ditangani dengan segera. Barangkali inilah yang menggerakkan tangan pengarang semacam Dito untuk menuliskan gagasannya sebagai anggota masyarakat. Berdasarkan pandangan ini, Damono mengatakan bahwa, ‘’Kegiatan kreatif seorang pengarang, sebagai anggota masyarakat, ada hubungannya dengan kehidupannya sebagai manusia tindakan (man of action).’’ (62) []

Sumber: Suara Merdeka 6 Juli 2014

Cerita-cerita yang Berdering

Esai: Hasta Indriyana*

(Catatan atas Kumpulan Cerpen “Sebelum Telepon Berdering”)

Ulasan atau kritik sastra, sesederhana apapun diperlukan. Tujuannya untuk mengapresiasi sekaligus mendedah hal-hal yang terkandung di dalam karya. Buku kumpulan cerpen “Sebelum Telepon Berdering” (STB) karya Kun Andyan Anindito penting untuk dikaji karena keunikannya, ciri khas gaya yang disampaikannya. Dalam sebelas cerpen, penataan alur beragam; sudut pandang beragam; tema beragam; dan disajikan dalam kesegaran bahasa.

Sebagian besar cerpen yang ada dihabiskan dengan narasi. Gaya ini banyak muncul di tahun-tahun 2005 ketika Puthut EA, Eka Kurniawan, Gunawan Maryanto (ketiga penulis aktif di Akademi Kebudayaan Yogyakarta), dan cerpenis seangkatan itu beramai-ramai mengharu biru media massa. Salah satu cirinya adalah keruntutan dan kedetilan bercerita. Sederhananya, menceritakan kejadian kecil dengan teliti dan menghabiskan larik-larik kalimat.

Cerpen memiliki ruang terbatas tetapi bagi Anindito, cerpen bisa dipenuhi deskripsi dan narasi yang “sepertinya” tidak mendukung inti cerita. Orang akan mengatakannya sebagai “akrobat” atau “kembang kalimat” atau “berbusa-busa”. Tampak kentara jika kita membandingkannya dengan cerpen-cerpen karya Ahmad Tohari, Umar Kayam, Hamsad Rangkuti, Joni Ariadinata, dll. yang padat karena kuatnya perwatakan tokoh, pola pengaluran, dan bahasa yang cenderung ringkas (sebagian orang menyebutnya sebagai cerpen konvensional).

Akan tetapi, ada hal yang tidak disadari pembaca bahwa dengan narasi detil dan berhati-hati, saat itulah tak terasa bahwa pencerita telah menciptakan “alur bahasa”. Apakah alur bahasa itu? Pembaca dengan patuh dan hati-hati mengikuti irama kata-kata, warna kata yang dipilih, dan semua itu adalah bangunan rasa ingin tahu (suspense). Salah satu ciri cerita yang demikian adalah menulis cerita dengan kalimat-kalimat panjang.

Di dalamnya sering ditemui gaya bahasa interupsi, yang menyela dan menerangkan satu hal agar lebih jelas dan rinci. Ciri lain kalimat ini adalah penggunaan kata sambung (konjungsi) yang melimpah dalam satu kalimat. Misalnya cuplikan berikut, Salah seorang mahasiswanya, yang saat itu diberi tugas menulis cerita pendek, menulis tentang seorang laki-laki yang tidak bisa melupakan cerita cinta pertamanya dan rela menunggu selama 51 tahun, 9 bulan, dan 4 hari untuk mendapatkannya lagi. (hlm. 23)

Kalimat-kalimat yang dipakai dalam cerpen-cerpen STB mengacu novelis Gabriel Garcia Marquez. Marilah kita cermati kalimat berikut. Ia menjelajah dari rumah ke rumah sambil menyeret dua batang besi, dan tiap orang tampak terheran-heran melihat pot-pot, panci-panci, dan kompor-kompor berhembalang dari tempatnya, dan percikan cahaya yang terpancar dari paku-paku yang terus bergesekan dan sekrup-sekrup yang terus bermunculan; bahkan benda-benda yang telah hilang untuk jangka waktu lama, yang sudah dicari tempat semula tapi tidak ditemukan, kini tampak ikut terseret dalam suasana hiruk-pikuk di belakang besi-besi ajaib yang dibawa Melquiadez. (“Seratus Tahun Kesunyian”, Bentang, 2003)

Gaya kalimat seperti itu sangat berbeda jika kita membandingkannya dengan cerpen-cerpen karya Joni Ariadinata. Misalnya, nukilan cerpen “Prabu” berikut ini. Aspal. Sedikit lembar sampah terserak di tepi. Sirine, raungan polisi, memandang asap knalpot pagi tadi membentuk sejumlah partikel dan lama lenyap. Menunggu. Tak ada kendaraan. Jam Sembilan. Mestinya lalu-lintas macet. Ada tragedi nampaknya. (“Kastil Angin Menderu”, Indonesia Tera, 2000)

Cerpen-cerpen Anindito adalah produk bahasa tuturan rinci dengan kalimat panjang sebagaimana Marquez, sementara Joni adalah pengguna bahasa padat, yang terkadang menabrak gramatika: mampat dan ringkas.

Hal menarik buku STB adalah sudut pandang tuturan yang sebagian besar dengan kaca mata perempuan. Di antara 11 cerpen, tiga saja cerpen yang memakai sudut pandang laki-laki, yaitu “Kamera Poladodo”, “Kata Busuk”, dan “Pensiun dan Rencana yang Lain”. Membaca kecemasan-kecemasan tokoh perempuan dalam STB, menunjukkan pengarangnya memiliki empati pada permasalahan perempuan. Kekalahan demi kekalahan yang dialami kaum perempuan miskin dideskripsikan dalam sebuah konflik batin yang alami. Simak nukilan “Kue-kue Ampunan” berikut.

Lagi-lagi, perasaan aneh menyergap tubuhnya. Ia senang karena menjadi perempuan sutuhnya, namun ia juga sedih. Kehamilan ini diluar kemauannya, sedangkan majikannya tidak mau bertanggung jawab. (“Kue-kue Ampunan”, hlm. 32). Atau dalam cerpen “Sebelum dan Sesudah Aku Mati”, Setelah kuputuskan untuk menunda kuliah, aku bekerja sebagai pegawai di salah satu toko Swalayan. Ini semata-mata kulakukan karena aku tak tega melihat ibu yang susah payah mencari uang, dan tentu saja agar aku bisa menabung untuk persiapan kuliah nantinya. (hlm. 72)

Kesegaran STB ditunjukkan pemilihan tema sosial yang beragam. Tema korupsi dan busuknya perilaku pejabat dimunculkan dalam “Mestinya Dia Tak Menyidam Tikus” dan “Kamera Poladodo”. Dua cerpen pembuka ini memiliki peluang menjadi cerpen mengagumkan jika Anindito mampu menjaga kehati-hatian dalam menata alur dan suspense. Karena kurang hati-hati, dua cerpen ini tampak klise, ending dan arah pembicaraan bisa ditebak.

Dalam cerpen “Kue-kue Ampunan”, Anindito berhasil menciptakan cerita utuh yang berkesan, yaitu tema duka tenaga kerja wanita dalam balutan tradisi nyebar apem di Klaten, Jawa Tengah. Tema etnis Cina dalam tragedi 1998 digarap dalam cerpen “Sebelum Telepon Berdering”. Meskipun isi cerpen adalah tempelan, namun tidak merusak keutuhan cerita. Alur dalam cerpen “Sebelum Telepon Berdering” digarap dengan apik dengan menampilkannya menjadi sketsa-sketsa per tema atau per tokoh seperti dalam pengaluran cerpen “Kamera Poladodo”, dan “Narator, Perempuan, dan Lelaki di Sampingnya”.

Tema tentang mitos digarap dalam dua cerpen, yaitu “Kata Busuk” dan “Sebelum dan Sesudah Aku Mati”. Tema korban tragedi 1965 digarap dalam cerpen “Narator, Perempuan, dan Lelaki di Sampingnya”. Sementara, dua cerpen pamungkas bercerita tentang kehidupan keluarga, yaitu “Perempuan yang Menunggu” dan “Pensiun dan Rencana yang Lain”.

Anindito adalah cerpenis muda yang belum banyak mempublikasikan karya-karyanya. Tercatat dalam biodata, cerpen-cerpen yang ada di dalam STB adalah cerpen pemenang sayembara menulis cerpen, dan beberapa dimuat di media massa. Meskipun demikian, ada kelebihan yang dimilikinya, selain yang saya sebutkan di atas, yaitu penggarapan suspense yang kuat; surprise yang baik (hlm. 26, 35, 55, 75, 83, 91, 97); dan pengaluran yang kaya (narator, cerita berbingkai, sketsa-sketsa).

Modal baca cerpenis STB adalah gaya kelas menengah ke atas. Referen yang dijumputnya material yang melingkupi kelas tersebut. Misalnya, ia mengutip nama-nama tokoh musik klasik Eropa seperti Mozart, Beethoven; tokoh sastra dunia seperti Murakami, Kawabata, Neruda; pemain bola seperti Conte, Zidan, Del Piero. Penulis belum menemukan referen persoalan sosial kelas bawah, misalnya mengutip lirik lagu dangdut koplo, nama-nama bandar judi di Klaten, pisuhan, dan lain-lain.

Anindito adalah pencerita yang baik. Salah satu kelebihan pencerita, dalam hal ini Anindito, adalah kesadaran dirinya bahwa ia menguasai teknik bercerita. Harapan penulis, Anindito bisa mengembangkan kemampuannya, paling tidak memperbanyak publikasi di media massa, karena cerpenis muda ini adalah aset bagi perkembangan sastra Indonesia.

*Penulis, pekerja seni tinggal di Sleman

Sumber: Koran Merapi, 22 Februari 2015